Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Jumat, April 03, 2015

1-3 April, Hari Sejarah Bangsa, Tuntutan Memorandum Tujuh Pasal Haji Sulong

Lawan Lupa, Menegakkan Keadilan, Mengingati Sejarah Pahlawan Bangsa. 1-3 April, Tuntutan Memorandum Tujuh Pasal Haji Sulong

Pada 1 April 1947, sudah 68 tahun dapat dilihat dari sudut konflik di Selatan masih terus berlanjut.Tuntutan ini masih hidup sampai ini hari .. Pada 1 April 1947, sejarah bangsa tercatat adanya pertemuan di antara pemimpin-pemimpin masyarakat Melayu wilayah Selatan di Patani. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan untuk menyerahkan sebuah memorandum – yang mengandung beberapa tuntutan dari masyarakat Melayu di Selatan – kepada wakil-wakil kerajaan Thai sewaktu mereka melakukan kunjungan ke Patani. Tepatnya pada tanggal 3 April 1947, Haji Sulong mengirimkan secara langsung memorandum tersebut kepada Perdana Mentri.

Memorandum ini berisi rencana tujuh perkara yang mengarah pada pemberian otonomi daerah di Empat wilayah Selatan. Tujuh tuntutan ini yang nantinya dikenal dengan nama "Tujuh Tuntutan Haji Sulong" (Al-Fathoni Ahmad Fathy, 1994, 83) meliputi:
1. Pengangkatan seorang komisaris tinggi untuk memerintah Daerah Patani Raya dengan wewenang penuh untuk memecat, menskors, atau mengganti semua pejabat pemerintah yang bekerja di daerah itu; orang itu harus putra daerah dan dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang diadakan khusus untuk tujuan itu.
2. Delapan puluh persen (80%) dari pejabat pemerintah di daerah itu harus Melayu Patani (untuk mencerminkan rasio penduduk).
3. Bahasa Melayu dan Bahasa Siam akan menjadi bahasa resmi.
4. Bahasa Melayu akan diajarkan di sekolah dasar.
5. Hukum Syariat akan diberlakukan di empat wilayah – Patani, Yala, Narathiwat, dan Setun – dengan pengadilan-pengadilan Islam yang terpisah dan bebas dari sistem peradilan pemerintah.
6. Semua hasil pajak di empat wilayah – Patani, Yala, Narathiwat, dan Setun – akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat selatan.
dan 7. Majlis Agama Islam propinsi akan diberi wewenang penuh atas perundang-undangan menurut hukum Syariat mengenai semua urusan Melayu dan kebudayaan Melayu, dibawah wewenang Komisaris Tinggi seperti yang disebut dalam No. 1. (Pitsuwan Surin, 1989, 117).

Haji Sulong tidak menginginkan pembentukan sebuah negara merdeka, yang diharapkan adalah otonomi daerah agar wilayah Selatan dapat mempertahankan identity serta sifat-sifat khasnya. Keinginan ini seolah menjadi syarat minimal yang harus terpenuhi karena golongan Melayu Patani akan tetap mengupayakan kelangsungan cara hidup tradisionalnya serta menjaga kemurnian cultural yang mereka anutinya.

Semula, ada keoptimisan dalam benak Haji Sulong mengenai tuntutan-tuntutan ini agar dapat dipertimbangkan oleh Bangkok, meski tidak seluruhnya. Perdana Menteri Pridi yang diketahui terpengaruh dengan bentuk ’Federalisme Switzerland’, diyakini bersedia memberikan otonomi kebudayaan bagi etnik Melayu dalam lingkungan bangsa Thai. "Pridi lah yang oleh Haji Sulong sebagai pemimpin de factor kepada Comunity Melayu, begitu diharapkan untuk memberikan dokongan politik kepada perjuangan untuk memperoleh otonomi politik".

Sayangnya harapan-harapan ini segera buyar dan sirna ketika Phibul kembali berkuasa pada tanggal 8 November 1947, tidak lama setelah memorandum diserahkan. Meski Pridi telah pergi, Haji Sulong yang sudah terlibat dalam perpolitikan, tidak dapat menghentikan langkahnya demi memperjuangkan otonomi politik yang sudah berjalan. Belakangan, setelah peristiwa ini, beliau banyak terlibat dengan YM Tengku Mahmud Muhyiddin, putera Raja Patani yang terakhir, di Kelantan, dan ini juga yang menjadi sebab bagi penangkapan kali pertama Haji Sulong pada hari Jum'at tanggal 16 Januari 1948.

Haji Sulong dibebaskan empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1952. Selama dalam tahanan di Ligor, beliau menulis ”Gugusan Chahaya Keselamatan” yang kemudian diterbitkan oleh anaknya, Haji Mohd Amin pada tahun 1958, tetapi segera dilarang – penerbitan dan peredaran buku tersebut – oleh kerajaan. Setelah dibebaskan, Haji Sulong kembali ke Patani dan meneruskan pekerjaan awalnya yaitu menjadi "Tok Guru". (Al-Fathoni Ahmad Fathy, 1994, 91).

Setelah dua tahun dibebaskan, pada tanggal 13 Agus 1954, Haji Sulong ke Songgora di jemput dari Gebenur Songgora untuk di intograsi oleh pihak kepolisian atas nama-nama yang tercantum dalam surat perintah dari pihak kepolisian di Songgora itu, yaitu Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas, dan Ahmad To,mina bin Haji Sulong anak kandung Haji Sulong sendiri. Menurut surat perintah Gebenur Songgora, Ahmad To,mina tidak tercantum dalam daftar pihak kepolisian di Songgora, keikutsertaan ayahnya ke Songgora dalam upaya menterjemah bahasa Thai ke dalam bahsa Melayu dan bahasa Melayu ke dalam bahasa Thai, dengan karena Haji Sulong tidak bisa mengerti dan berbicara dalam bahasa Thai.

Setelah di intograsi oleh pihak aparat keamanan mereka berempat telah di izinkan untuk pulang ke kampung halaman mereka masing-maising setelah ditandatangani oleh Gebenur Songgora. Ternyata Haji Sulong, serta dua rakan dan Ahmad To,mina anaknya Haji Sulong menghilangkan secara misterius. 

Sedangkan kepulangan mereka semua di tunggu-tunggu oleh masyarakat setempat. Dalam dugaan mesyarakat setempat bahwa mereka semua telah dihilangkan jejak dengan kelicikan yang di mainkan oleh pihak aparat pemerintah di Songgora (Ahmad Fathi Al-Fathoni, 2001, 151). Ini merupakan suatu pengakuan kegagalan di pihak pemerintah (Pitsuwan,Surin, Op.Cit.127). Ada teori yang mendugakan bahwa keempat-empat mereka “ditahan” di luar undang-undang setelah mereka berempat sudah ditandatangani izin pulang ke Patani.

Dengan bukti yang megatakan mereka berempat “dihilangkan”, terdapat seorang nelayan Songgora yang berasal dari Panarek (nama derah di Wilayah Narathiwat), yang bernama Hasin, katanya:

"datang seorang aparat kepolisian meminta bantuan supaya membuang lima bungkusan karung yang berisisi mayat kedalam pantai yang berdekatan Pulau Tikus" ujar Hasin.

Menurut Hasin, mereka tidak mengetahui apa jenis bukusan karung yang tersisi di dalam kelima-lima karung tersebut. Mereka dapat mendegar gosib kehilangan Tok Guru (Haji Sulong) setelah tiba mendarat, Hasin segera langsung “mencium” yang berhubungan diantara peristiwa kehilangan Tok Guru yang berkaitan dengan karung yang telah mereka campakan pada malam hari tersebut di pantai Senggora yang berdekatan dengan pulau Tikus dan pulau Kucing (Samila Beach) pada malam Sabtu 13 Agus 1954 (Ismail Che’Daud, 1988, 355-357). Terdapat empat karung yang diyakinkan empat mayat rombongan Tok Guru dan satu isi karung disebutkan aktivis komunis yang berbangsa Cina. 

Pada peristiwa ini, keluarga Haji Sulong mengundang Hasin dan memberi perlindungan untuk menjadikan sebagai saksi dalam kasus kematian Tok Guru yang akan mendakwa kepegadilan mahkamah. Akan tetapi, sebelum Hasin dan keluarganga Haji Sulong menutut kasus “dihilangkan” Tok Guru ke pengadilan, Hasin telah pun terbunuh oleh orang tanpa diketahui. Pembenuhan Hasin berlaku seketika mereka keluar dari rumah tempat berlindung untuk pulang ke rumah mereka dalam upaya ketemu isteri dan anaknya di Panarek.

Demikian kasus “dihilangkan” Haji Sulong, anaknya Ahmad To’mina dan dua orang rekannya tidak bisa membongkar ke pengadilan, dengan tanpa ada saksi dan tanpanya ada kerjasama pihak keamanan antar keluarga Tok Guru, lebih lagi kasus “dihilangkan” ini menakutkan penduduk masyarakat yang sedia ingin menjadikan saksi berikut. Akhirnya peristiwa “dihilangkan” Haji Sulong oleh aparat keamanan tidak bisa mengungkit ke mahkamah kepengadilan.

Sementara itu, tekanan internasional terhadap kerajaan Thai bertambah besar atas kehilangan Haji Suloang, anaknya Ahmad To’mina dan dua orang rekannya, sehingga peristiwa Haji Sulong menyebab masalah Patani mendapat perhatian Liga Arab dan PBB (Surin Pitsuwan, Op.Cit.,125).

Ahkirnya riwayat Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas, dan Ahmad To,mina (Anak Haji Sulong) semua mereka di bunuh dan jasad mereka juga tanpa perkubaran atau makom, hanya nama Tok Guru dan tempat pembuagan jasad mereka menjadi catatan sejarah hingga sekarang. Dengan terkenal nama tepat arwah Haji Sulong itu di pulau Tikus dan pulau Kucing (Samila Beach) almarhum pada malam Sabtu 13 Agus 1954.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar