Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Senin, Oktober 27, 2014

Aparat Tentera Melarang Mahasiswa Melawat Keluarga Korban


Pada hari minggu (26/10) terdiri dari Mahasiswa mengadakan kunjungan ke rumah korban (lihat di: http://dangerofpatani.blogspot.com/2014/10/tentera-lepas-tembakan-tiga-luka-satu.html,) bertujuan untuk mengunjungi keluarga dan ingin mengadakan do'a arwah pada korban yang meninggal dunia.Ternyata mengundang perdebatan emosional antara Mahasiswa dan aparat tentera. Sehingga berlaku bentrokan kekicuhan dengan aparat tentera. Ada pihak aparat tentera cuba mengatur mengenai larangan bagi pihak Mahasisiwa untuk masuk ke rumah mangsa yang terkorban, maka terjadi aksi yang berujung kericuhan dan pertengkaran antar mahasiswa dengan aparat tentera.

Bahwa fungsi aparat tentera adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 

Sekira berkaitan dengan aksi semacam demontrasi/unjuk rasa bentuk penyampaian pendapat di muka umum wajib diberitahukan secara tertulis kepada Pihak keamanan, dan diterima oleh Polis setempat. itu sudah jelas dalam undang-undang.

Namun, pemberitahuan secara tertulis ini tidak perlu terjadi untuk menyampaikan pada pihak aparat dalam kegiatan ilmiah, kunjungan korban (arwah) maupun dalam kegiatan semacam keagamaan. Maka ada hak untuk kebenaran bagi Mahasiswa untuk menyampaikan keinginan dan tujuan atas kunjungan mengunjungi korban di desa ini.




Minggu, Oktober 26, 2014

TRGEDI TAK BAI: Mancari Akar Konflik di Thailand Selatan

''Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan diproklamirkan oleh Resolusi Majlis Umum 217 A (111) 10 Desember 1948 menerangkan pasal 9: Tidak seseorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang. Mengikut Pasal 5: Tidak seorang pun boleh dianianya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan, ataupun jalan perlakuan atau hukum yang menghina''
Dalam reality kehidupan masyarakat muslim sebagai golongan minority, maupun majority baik di Barat maupun di Asia Tenggara selalu dipandang sebagai masalah.

Sekolompok majority akan selalu menindas minority. Tampaknya telah menjadi sebuah hukum alam. Walaupun asumsi di atas, masih harus dipertanyakan kebenaran. Tapi, pada kenyataannya kondisi tersebut sesuai dengan reality yang ada. Seperti yang dialami masyarakat Melayu Patani. Patani sebuah wilayah yang terletak di Thailand Selatan. Dengan majority penduduknya berbangsa Melayu mengalami tekanan-tekanan agar menerapkan beberapa kebijakan yang disodorkan pemerintah.

Dalam hal ini pemerintah yang ada di Thailand di dominasi oleh agama Buhda. Sehingga tidaklah menghiraukan apabila kebijakan-kebijakan yang ambil dilandasi dengan sentiment kebangsaan Thailand yang majority penduduk berbangsa Siam berusaha merubah system atau tataran kehidupan rakyat Melayu Patani dan menjauhkan mereka dari social cultural yang telah mereka aplikasi selama ini.

Di wilayah perbatasan Thailand Selatan sendiri tercatat pernah terjadi pemberontakan bersenjata, beragam faksi perlawanan Melayu Patani di Selatan negara gajah putih. Setelah sempat padam tahun 1990-an, aktivity perlawanan Patani mulai muncul kembali awal tahun 2004. Apa yang terjadi di Thailand Selatan jelas tidak lepas dari pergolakan di Indochina sejak pertengahan tahun 1950 hingga 1980-an. Termasuk perang Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sedangkan Myanmar hingga sekarang masih terus bergolak. 

Bahwa pada awal, Selatan Thailand merupakan Kerajaan Patani Merdeka, yang kemudian dicaplok Kerajaan Siam tahun 1902 dan diintegrasikan sebagai bagian dari Thailand.

Dalam perspektif demikian, lambannya pembangunan di wilayah selatan dilihat sebagai diskriminasi terhadap rakyat keturunan Melayu. Diskriminasi yang selalu melekat dalam struktur penjajahan. Termasuk dalam kesempatan kerja di pemerintahan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi. Situasi demikian jelas rawan dan eksplosif. Pemerintah Thailand meresponsnya seperti halnya penjajah terhadap rakyat jajahan. Bahwa wilayah Thailand selatan dulu merupakan kesultanan merdeka bernama Patani sebelum Bangkok menguasainya seabad lalu. Penduduk di perbatasan memiliki kebudayaan dan bahasa sama dengan Malaysia. Perang gerilya untuk memperoleh kemerdekaan di Thailand Selatan berlangusng tahun 1970-an dan 1980-an.

 Majority warga di tiga provinsi Patani, Yala, Narathiwat, dan sebagian daerah Songkla adalah warga etnis keturunan Melayu. Jumlahnya sekitar 80 persen dari sekitar 6 juta penduduk Melayu di Thailand. Penduduk negeri Gajah Putih ini berkisar 63 juta jiwa. Tidak mudah memang mengurai fakta-fakta tersebut. Di satu pihak rakyat di wilayah Selatan tidak pernah merasa bagian dari Thailand. Namun, di pihak lain, mereka ikut berkompetisi dalam politik nasional.

Di Thailand Selatan terdapat minority Melayu yang pada masa yang lalu kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Seperti halnya juga rakyat Thailand Selatan selalu merasa diabaikan pemerintah pusat dalam segala hal, termasuk dalam aktiviti pembangunan, tetapi saat pemimpin nasional Thailand berasal dari wilayah Selatan, hal ini tidak segera dibenahi. Thailand Selatan tetap seperti beberapa dekade silam. Dalam hal ini, persoalannya bukanlah siapa yang berkuasa di Thailand. Sebab terbukti persepsi pada Thailand Selatan sebagai daerah pembuangan tetap tidak berubah. Persepsi inilah yang menyebabkan daerah Selatan makin tidak terurus dan mirip daerah tidak bertuan. Situasi demikian menyebabkan rakyat teralienasi dan tidak merasa bagian dari Thailand. 

Kesan bahwa tidak banyak yang berubah diperkuat oleh kenyataan bahwa bangsa Siam-Thai di bagian-bagian selebihnya negeri itu masih menganggap bagian Selatan sebagai wilayah perbatasan terpencil. Dari perspektif Bangkok hingga saat ini wilayah itu tetap merupakan Thailand’s Deep South, provinsi terpecil di selatan, atau Far South, selatan yang jauh, semua istilah-istilah ini banyak digunakan dalam koran-koran dan media Thailand.

 Apa yang terjadi di Thailand Selatan merupakan suatu rasa benci dan kecurigaan yang sudah lama membubung kembali selama perang melawan terorisme yang diumumkan setelah tanggal 11 September 2001 dan penangkapan sejumlah Melayu Patani yang dicurigai sebagai anggota gerilyawan di Thailand Selatan. Kaum Melayu Patani yakin bahwa pemerintah dalam kenyataan sebenarnya melancarkan perang atas suku bangsa mereka dan sekolah-sekolah agama mereka atau yakin bahwa Bangkok mengorbankan mereka untuk menjaga hubungan baik dengan Washington.

Tak Bai adalah kota kecamatan di Provinsi Narathiwat, yang terletak sekitar 1.300 kilometer selatan Bangkok, tiba-tiba menjadi perhatian dunia internasional setelah terjadi pembantaian pengunjuk rasa pada 25 Oktober 2004. Jalan menuju Tak Bai hanya satu dan berakhir pula di sini, di sisi Sungai Nara, sungai yang penting bagi lalu lintas perahu motor yang menghubungkan Tak Bai dengan Negara Bagian Kelantan di Malaysia.

 Pascatragedi kemanusiaan di Tak Bai, Narathiwat, yang menelan korban nyawa sekitar 80-an demonstran, ada beragam pandangan terhadap kepemimpinan Pemerintahan Thailand, baik pandangan politik domestik setempat maupun kritikan internasional karena dianggap menempuh cara-cara represif dalam menghadapi demonstrasi warganya. 

Tindakan represif pemerintah Thailand terhadap demonstrasi Tak Bai di Narathiwat Selatan Thailand merupakan bentuk pengingkaran Pemerintah Thailand tersebut atas hak-hak masyarakat minority Muelayu di Thailand Selatan. Tindakan ini juga merupakan bentuk nyata dari upaya pemerintah untuk meminggirkan minority Melayu Patani, Selatan Thailand dari sistem produksi mereka. Sekaligus merupakan bentuk diskriminasi kepada comunity masyarakat etnis Melayu yang manority disini. Karena penduduk Mellayu setempat tersebut merupakan bagian dari masyarakat minority di Thailand, yang seharusnya mendapatkan jaminan hukum dan perlindungan keamanan dari tindak diskriminasi apalagi pemusnahan. 

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan diproklamirkan oleh Resolusi Majlis Umum 217 A (111) 10 Desember 1948 menerangkan pasal 9: Tidak seseorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang. Mengikut Pasal 5: Tidak seorang pun boleh dianianya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan, ataupun jalan perlakuan atau hukum yang menghina. 

Kebiadaban tentara Thailand terhadap umat Melayu di Patani sebenar telah mengakar sejak berdirinya negeri gajah putih itu. Ini tidak hanya menyangkut ketegangan budaya tetapi soal ketegangan berbangsa. Bangsa Thai yang majority berbangsa Siam kelihatannya belum menerima orang Melayu Patani sebagai masyarakat sebangsa. Secara giografis Patani di klaim sebagai wilayah kerajaan Thai, tetapi sebaliknya secara demografis dan cultural Patani selalu dilihat sebagai bangsa lain yang kehadiran di anggap mengangu keutuhan bangsa itu, akibatnya mareka didiskriminasi karena berbeda ras dan berebeda kultural dengan demikian juga beda berbangsa. Perbedaan itu yang membuat pemerintah Thai bersikap diskriminatif bahkan cenderung diekpresikan dengan tindakan kekerasan maupun masal. 

Sikap inteleransi pemerintah Thailand dan masyarakat Siam-Thai di negeri itu pada umumnya terhadap comonity Melayu terjadi karena mereka tidak bisa menerima pluralitas, menghendaki hegemoni tunggal oleh Budhisme. Sikap terungkap secara sadar atau tidak mengelola politik diprovinsi dibagian Selatan yang terdiri dari ras Melayu itu kemelayuan dan islamik rupanya belum bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat disitu, ini terjadi kerana belum tuntas orientasi kemanusiaan dikalangan mereka sehingga cenderung rasialis. 

Sistem demokrasi Kerajaan Thailand yang terbentuk oleh budaya dan agamanya cenderung otoriter terhadap minority Melayu di bagian Selatan Thailand. Demokrasi barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi bangsa Melayu Patani bagaikan negara yang aristokrasi atau sejenisnya. Demokrasi Pemerintah Thailand digunakan hanya sebagai alat, sekadar sebuah kata yang digunakan oleh Pemerintah Thailand sebagai mekanisme perlindungan atas tindakan pelanggaran HAM serta untuk mendapatkan jaminan dari dunia internasional dalam mendapatkan status sebuah negara yang demokrasi.

Adapun awal perkembangan politik Thailand di Selatan (Patani) berdasarkan pada mendelegitimasikan bangsa Melayu Patani dan berusaha melegitimasikan atas haknya. Jadi jelas bahwa Kerajaan Thai bertujuan untuk menghapuskan kepemilikan hak atas bangsa Melayu Patani, baik secara politik maupun fisik, merupakan suatu simbol yang tak dapat dihindarkan.

Jadi, apa yang terjadi pada hari Senin, 25 Oktober 2004 di depan kantor polis di distrik Tak Bai, Narathiwat terhadap para pengunjuk rasa yang memprotes penangkapan warga Melayu Patani yang oleh polis dituduh telah menyediakan senjata untuk gerakan geriliyawan Patani, sehingga 6 orang mati tewas kena tembakan, sedangkan 78 warga Patani lainnya tewas ketika sekitar 1300 orang dijejalkan ke dalam 6 truk polisyang tidak cukup mendapakan oksigen untuk bernapas ketika diangkut ketempat penjara yang memerlukan 5 jam waktu perjalanan. Bahwa demontransi hanya sekadar picu, bukan sebab utamanya karena itu tanpa ada demontransi, pasukan Thailand akan berbuat dengan alasan apapun. Bahkan demontransi terjadi juga karena adanya kekerasan yang mereka derita selama bertahun-tahun. 

 **Koleksi gambar: Saminar Memeperingati 10 Tahun Tragedi Tak Bai Dalam Langkah Menuju Masa Depan Bangsa Melayu Patani.

Tanggal pelaksaan sempena Hari Tragedi Tak Bai pada 25 Oktober 2014.
Tempat pelaksanaan di: Masjid Jamek Patani dan tempat kedua di: University Rhamkhamheng Bangkok .

Jumat, Oktober 24, 2014

" 25 Oct" Rememberance TAKBAI

Pembantaian Massal 'TAK BAI-25 Okotober' Oleh Rejim dictator Siam Thailand
Lawan Penggelapan Tragedi Hitam dan Masa Depan Bangsa


Cita-cita tentang Negara Gajah Putih yang demokratis, yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan. Memperingati pada tanggal 25 Oktober 2004 terkubur bersama ratusan bangkai manusia yang berbangsa Melayu dalam tragedy ‘Tak Bai Berdarah’ yang dianggap manusia sebangsa oleh pemerinta Gajah Putih Bangkok. Setelah peristiwa ‘Oktober Berdarah’ rakyat bangsa Melayu Patani seperti orang mabuk yang berjalan terseok-seok, kumuh, dan sering beringas dalam menggapai dan merumuskan identity sebuah bangsa.

Tapi mengherankan, tidak banyak studi yang dilakukan dalam masa-masa paling gelap itu. Tidak ada ’seujung kuku’ jika dibandingkan dengan, misalnya, studi tentang bangsa Syam di Syiria terhadap pemerintahan diktator pada abad ke 20 ini. Padahal, Peristiwa Tak Bai dan yang menyertainya, merupakan catatan tragedi kemanusiaan terbesar dalam rentang skala, waktu, dan jumlah korban yang ditimbulkannya. Kita seperti ingin melupakannya ketimbang merenungkannya, ingin membantahnya ketimbang memahaminya.
Menperingatkan bahwa 'Selama belum ada pertanggungjawaban negara, terhadap pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat (kejahatan kemanusiaan). Maka pelanggaran HAM ini merupakan kejahatan yang akan terus berkelanjutan..!!!



Tentera Lepas Tembakan, Tiga Luka Satu Kanak Perempuan Tewas


Tiga luka-luka dan seorang kanak perempuan meninggal dunia kena lepasan tembakan dari aparat tentera di desa Hute Jele, daerah Bacok provinsi Narathiwat.

Peristiwa berdarah ini berlaku pada hari kamis (23/10). Keluarga mangsa terdapat tiga luka-luka dan seorang kanak perempuan berusia 10 tahun meninggal dunia. Keganasan ini diberi penjelasan dari pihak tentera demi menjalankan tugas. Bahwa benar salah satu anggotanya melepas tembakan keatas mengsa yang sedang memandu picup dijalanan pada waktu malam. Pada seketika itu, mereka diberi arahan untuk berhenti oleh tentera. Keluarga mangsa ketakutan dari seragam hitam dipenuhi senjata. Mangsa terus memecutkan mobil karena kepanikan, dengan itu berlaku lepaskan tembakan keatas mangsa. Pihak tentera membayar kompensasi keatas keluarga mangsa dengan jumlah uang lima ratus rubu baht.

Tindakan ini jelas melihat militer jauh lebih tak bermoral. Mereka bertindak brutal, bahkan tanpa pandang bulu apakah sasarannya anak-anak atau orang-orang tua. Mereka dengan semena-mena melepas tembakan orang-orang tak berdosa secara brutal.

Uang kompensasi hanya menjadi taruhan nyawa bagi seorang bocah yang tidak berdosa, di manakah keadilan dalam melibatkan kesalahan keatas aparat militer yang melakukan tidakan penjenayah kriminal .. ??

Lihat Sambungan - Aparat Tentera Melarang Mahasiswa Melawat Keluarga Korban, di: http://dangerofpatani.blogspot.com/2014/10/aparat-tentera-melarang-mahasiswa.html


 Malam Berdarah, Tiga Luka Satu Bangkai !!

 panas terik malam campuran merah
 terbawa angin ancaman ke mana-mana
 koran hari ini memberitakan
 tiga warga desa di tembak aparat tentera
 satu kanak menjadi bangkai tidak berdosa 

 korban kekarasan
 muncul kembali ke permukaan
 air mata bersimbah darah
 aparat malang-melintang di jalanan
 warga desa bangkit dari ingatan

 mereka yang dulu diam
 kali ini
 cerita itu siapa akan membantah
 waktu juga yang menyingkap
 retorika aparat penguasa 
 walau senjata ditodongkan kepadamu
 walau sepatu di atas kepalamu
 di atas kepalaku
 di atas kepala kita

 ceritakanlah ini kepada siapa pun
 sebab cerita ini belum tamat !!

Kamis, Oktober 16, 2014

25 Oktober: Satu dekade, Tragedi Tak Bai Berdarah

Memperingati akan 25 Oktober, 
Satu dekade, Tragedi Tak Bai Berdarah !!


kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku menjadi gelap
kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras
kau paksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak
darah sudah kau teteskan
dari bibirku
luka sudah kau bilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kau rampas
dari biji mataku
derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas

Dari 'Kami' bangsa yang tertindas
Untuk 'Mu' pahlawan Tak Bai 25 Oktober..








Senin, Oktober 13, 2014

Konflik di Patani, Warisan Penjajah

Right Of Self Determination: “hak anda untuk menentukan nasib sendiri atas wilayah yang kini di duduki asing. 


**Teks Asal dari Perjanjian Hitam Inggeris-Siam 1909!! 
Dapatkan muat turun Perjanjian 'Anglo 1909' yang asal penuh di sini:


Ketidaktegasan bangsa kolonial dalam menentukan batas wilayah setelah meninggalkan daerah jajahannya.

Di Asia Tenggara, PATANI di Selatan Thailand juga merasakan dampaknya. Kepergian Inggris di tanah Malaya mewariskan konflik berkepanjangan akibat tidak jeli dalam membagi wilayah.

“Ini dosa politik bangsa kolonial yang juga terjadi di Asia tenggara, ada kelompok-kelompok etnis dimasukkan ke suatu negara padahal secara culture masyarakatnya lebih pas dengan negara lain,” ujar pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia (UI) Nurani Chandrawati.

Nurani menyebutkan konflik Patani merupakan warisan bangsa kolonial setelah meninggalkan wilayah tersebut. Tidak jelinya mereka mengakibatkan ketegangan antaretnis. “Namanya juga penjajah, ya terserah seleranya mau bagi-bagi wilayah,” ungkapnya.

Kasus yang terjadi di Srlatan Thailand. Etnis Melayu Patani menuntut kemerdekaan penuh, karena ketidaksesuaian faktor sosio-kultural dengan rezim yang berkuasa. Pada tahun 1457 kerajaan Melayu Patani merupakan kerajaan Melayu independent. Kondisi Patani tersebut sama seperti daerah tetangganya Perlis dan Kelantan di daerah Malaysia Utara. Namun pada 1875 Patani diduduki oleh penjajah Thailand. Kemudian datanglah Inggris ke semenanjung Malaka.

Dalam perjanjian Anglo antara Inggris dengan Thailand tahun 1909, Patani menjadi bagian dari Thailand. Sedangkan Perlis dan lain-lain menjadi bagian dari jajahan Inggris. Melayu Patani tidak mempunyai pilihan, mereka dipaksa menjadi bagian dari kerajaan Thailand. Sejak itu terjadi pergolakan di tanah Melayu Patani hingga sekarang, karena menurut sejarah, Melayu Patani dijajah oleh kerajaan Siam.

Dapatkan muat turun Perjanjian 'Anglo 1909' yang asli penuh di sini:
http://www.jstor.org/stable/pdfplus/2212641.pdf?acceptTC=true&, 

Sabtu, Oktober 11, 2014

Bongkar Penggelapan Sejarah



bongkar penggelapan 'Sejarah' dan masa depan 'Bangsa'

kita tenggelam
ditimbun dalih-dalih membenarkan ‘Kebebasan’
melihat korban-korban
tak bersaksi
melihat korban-korban
hanya melihat

kita selalu cari ‘Kedamaian’
mari tegakan
bongkar
jangan mau lagi alasan-alasan
tanya! tanya!

bangkit
berlawan
nyalakan api 'Kebenaran'..!! 














Right To Self Determination Of PATANI Peoples

Right Of Self Determination: hak untuk menentukan nasib sendiri atas wilayah yang kini di duduki asing.


Pada saat ini, hukum internasional telah mengakui (“recognized”) hak untuk menentukan sendiri (“right to self-determination”) sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) dan berdasarkan hak ini semua bangsa (“peoples”) bebas untuk menentukan status politik dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.”(a) Namun, dalam konteks hukum internasional kemerdekaan sebagai wujud dari hak untuk menentukan nasib sendiri “right to self-determination” (dalam bidang ekonomi, politik, dsb.) dimaksudkan untuk membebaskan diri dari penjajahan dan dominasi/kekuasaan asing. Hak tersebut hanya dapat digunakan sekali dan tidak dapat diterapkan terhadap bangsa (“peoples”) yang telah terorganisasi di dalam bentuk suatu negara yang tidak berada dalam penjajahan dan dominasi asing.

Masalah hak untuk menentukan nasib sendiri ‘Bangsa Patani’ merupakan suatu fenomena yang menarik untuk didiskusikan. Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah pertanyaan dapat dikemukakan, antara lain, yaitu: bagaimana hukum internasional mengatur masalah hak untuk menentukan nasib sendiri; bagaimana legalitas untuk menentukan nasib sendiri Bangsa Patani menurut hukum internasional; apakah ada keharusan bagi negara-negara lain untuk mengakui ‘Bangsa Patani’ sebagai negara baru; bagaimana hukum internasional mengatur masalah pengakuan bagi negara baru.

Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu prinsip hukum internasional yang dapat ditemukan sebagai norma dalam berbagai perjanjian internasional tentang hak asasi manusia (HAM) tertentu dan hak ini menyatakan bahwa semua negara (“all states”) atau bangsa (“peoples”) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya sendiri dan memiliki aturan internalnya sendiri; secara bebas untuk mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri; dan untuk menggunakan sumber daya alam mereka yang dianggap cocok. Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak dari suatu masyarakat kolektif tertentu seperti untuk menentukan masa depan politik dan ekonominya sendiri dari suatu bangsa, tunduk pada kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional.

Dalam berbagai literatur hukum internasional belum didefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan bangsa (“peoples”) dalam rangka menuntut (“claiming”) hak untuk menentukan nasib sendiri. Terdapat banyak kontroversi dan kebingungan dalam hal ruang lingkup (“scope”) dan penerapan dari hak ini.

Namun demikian hak untuk menentukan nasib sendiri secara normatif telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, antara lain, yaitu: Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB; Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and Political Rights” dan “International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights”; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Bangsa dan Negara Terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) 24 Oktober 1970 mengenai Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kerjasama dan Hubungan Bersahabat di antara Negara-negara dan Hubungan Bersahabat sesuai dengan Piagam PBB.

Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514/1960 dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (CCPR) memang tidak dibedakan antara “right to” dan “right of self-determination”. Juga dalam praktek, keduanya digunakan secara rancu. Sebenarnya terdapat dua jenis atau tingkatan penentuan nasib sendiri, yaitu: 1. “Right to self-determination”, yang merupakan hak yang bersifat sekali dan tidak dapat dipecah, untuk membentuk suatu negara (atau integrasi atau asosiasi); 2. “Right of self-determination”, yang merupakan hak yang bersumber dan merupakan konsekuensi dari “right to self-determination”, yaitu hak untuk menentukan bentuk negara (republik atau kerajaan), sistem pemerintahan (presidensiil atau parlementer), sistem ekonomi (“centrally planned economy” atau “market economy”, liberal atau terkontrol dan terkontrol) atau sistem budaya tertentu, yang semuanya bersifat pengaturan ke dalam atau urusan dalam suatu negara.(a)

Dengan demikian maka, pelaksanaan “right to self-determination” yang diwujudkan melalui kemerdekaan dalam rangka membentuk atau mendirikan negara (“state”), baik untuk membebaskan diri dari penjajahan, maupun untuk berintegrasi atau berasosiasi dengan negara yang lain. Hal itu dilakukan hanya sekali dan untuk selamanya.

Sedangkan, pelaksanaan “right of self-dertermination” dapat diwujudkan melalui berbagai tindakan negara yang ditujukan ke dalam yang merupakan wewenang dari suatu negara berdaulat. Contohnya, integrasi negara Jerman Timur dengan Jerman Barat. Pemisahan dengan negara induk (“seccession”) juga dimungkinkan berdasarkan suatu perjanjian bilateral (“bilateral agreement”), tetapi bukan dalam rangka disintegrasi sebagai akibat dari tindakan separatisme. Hal itu misalnya, disintegrasi dari 15 negara yang awalnya tegabung dalam Uni Soviet dan kemudian memisahkan diri menjadi negara yang berdiri sendiri dan tergabung dalam kelompok Persemakmuran Negara-negara Merdeka (“Commonwealth of Independent Sates”/CIS). 

Kemerdekaan merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk menentukan nasib sendiri. Menurut Charkes G. Fenwick kemerdekaan dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu, kemerdekaan ke dalam dan keluar. Kemerdekaan ke dalam (“internal independence”) meliputi dua aspek, yaitu kemerdekaan yang berkaitan dengan kebebasan dari negara untuk mengurus masalah-masalah dalam negerinya dan masalah-masalah lainnya mengenai kebebasan yang dilakukannya dengan negara-negara lain. Adapun kemerdekaan keluar (“external independence”), yaitu berkaitan dengan kekuasaan terbesar dari negara untuk menentukan hubungan yang dikehendaki dengan negara lain tanpa campur tangan dari negara ketiga.(c)

Negara di samping mempunyai hak kedaulatan maupun kemerdekaanya ia juga mempunyai yurisdiksi sepenuhnya terhadap wilayah atau wilayah-wilayahnya sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Dengan demikikan maka negara tersebut mempunyai hak yang penuh dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya (“territorial integrity”) dari segala ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Karena itu dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh kekuasaan negara atau yurisdiksinya terhadap berbagai wilayahnya tersebut merupakan kelengkapan dan eksklusif. Dikatakan lengkap karena negara tersebut dapat mempunyai akses terhadap semua wilayah negara, termasuk semua penduduk yang berada di wilayah itu, tanpa memandang nasionalitasnya. Di samping itu, yurisdiksi terhadap wlayahnya bersifat eksklusif, artinya tidak ada pihak manapun termasuk negara lain yang mempunyai hak untuk memaksakan yurisdiksinya terhdap wilayahnya. Dengan demikian, tanpa mengurangi prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku, wlayah suatu negara tidak bisa diganggu-gugat (“the inviolability of territories of states”).(d)

..........
(a) Hal tersebut, antara lain, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and Political Rights”/ICCPR, yaitu: “All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”
(b) Hassan Wirajuda, Indigenous People Internal Self-Determination (Pribumi dan Otonomi dalam Mengatur Urusan Sendiri), dalam Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, (edit.), Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta: Komnas HAM, 1999, hlm. 126-127. Dijelaskan pula, bahwa pembedaan antara “right to self-determination” dan “right of-determination” merupakan pemikiran dari Prof. Leo Gross dari “Fletcher School of Law and Diplomacy”. 
(c) Charkes G. Fenwick, International Law, 4th Edition, New York: Appleton Century Croft, 1965, hlm. 296-297.
(d) Sumaryo Suryokusumo, Hak Negara untuk Mempertahankan Keutuhan Wilayahnya menurut Hukum Internasional, makalah yang disampaikan pada: “Seminar Nasional tentang Kewenangan Negara dalam Menjaga “National Unity” dan “National Integrity” menurut Hukum Internasional”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, tanggal 15 Juli 2002, di Jakarta.

Rabu, Oktober 01, 2014

Setahun Genap, Forum 'BICARA PATANI'


Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghenti nyanyian kebebasan
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah bangsa itu
.
suara-suara itu tak bisa dipenjara
di sana bersemayam kebebasan
apa bila engkau memaksa diam
aku siapkan untuk mu: pemberontakan!!
.
sesungguhnya suara itu bukan perompak
yang merayakan hati rakyat
ia ingin berbicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
.
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari ku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya...

Ucap terimakasih pelopor: 
Setahun Genap, Forum 'BICARA PATANI'
Tanggal 21 September 2014, bersamaan 'Hari Perdamaian Dunia'