Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Senin, Desember 17, 2012

Trauma 'Perang' Menghantui Anak-anak Melayu Patani

Dihantui oleh ketakutan perang selama delapan tahun terakhir, generasi baru dari anak-anak yatim Melayu Muslim Thailand Selatan, menunjukkan tingkat stres dan trauma yang tinggi setelah kehilangan orang terkasih dalam serangkaian serangan brutal oleh tentara kolonial Thailand di wilayah yang bergolak.


"Ketika saya pergi keluar, saya hanya berada di dekat rumah, saya tidak pernah pergi jauh," ujar Ahmad (12) kepada AFP.

Mengenakan kaos sepakbola berwarna merah, Ahmad merupakan salah satu dari ribuan anak yatim piatu yang dilupakan oleh seluruh dunia.

Kakaknya yang berusia 15 tahun, Sunnah, mengatakan pembunuhan ayah mereka oleh orang-orang bersenjata tak dikenal enam tahun lalu menandai berakhirnya masa kecil mereka.  Mereka harus hidup tanpa kedua orang tua setelah kematian ibu mereka dalam kecelakaan.

"Aku tidak merasa aman, terutama dengan orang asing," ujar Sunnah.
"Saya menduga-duga orang lain ketika mereka melihat saya.  Prajurit Thailand yang terburuk."

Hidup selama bertahun-tahun dengan ancaman, penembakan dan jam malam, banyak pemuda di Thailand Selatan yang bergejolak menunjukkan tingkat trauma yang tinggi.

Thailand memiliki populasi Melayu Muslim sekitar 9,5 juta jiwa dan kebanyakan tinggal di wilayah selatan.  Muslim Thailand yang membentuk lima persen dari jumlah keseluruhan populasi yang didominasi oleh ummat Budha, telah lama mengalami diskriminasi di bawah praktek brutal oleh militer.

Mereka juga menyerukan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi dan mengganti kurikulum Budha dengan kurikulum Islam.

Dilaporkan lebih dari 5.000 orang telah tewas di Thailand Selatan selama kekerasan delapan tahun. Sedikitnya 60 orang korban tewas adalah remaja berusia di bawah 15 tahun dan ratusan anak-anak terluka.

Sebuah penelitian oleh organisasi non-pemerintah, Pattani Juvenile Observation menunjukkan jumlah anak yatim di wilayah tersebut lebih dari 5.000 orang. Kelompok lainnya memperkirakan angka itu dua atau tiga kali lebih tinggi.

Ketakutan
Dengan penelitian yang komprehensif tentang efek kesehatan mental, statistik yang tersedia amat memprihatinkan dan para ahli mengatakan itu terus memburuk.

"Ketakutan adalah masalah nomor satu," ujar pakar kesehatan pemerintah Pechdau Tohmeena.
"Beberapa anak telah melihat orang tua mereka ditembak di depan mereka, toko keluarga mereka dibakar, kerabat mereka dipukuli dan disiksa."

Kemarahan dan ketakutan adalah gejala umum dari depresi, menunjukkan bahwa anak-anak menanggung beban konflik delapan tahun.

"Mereka mendengar rumor tentang kekerasan. Mereka menyaksikan helikopter terbang di atas mereka dengan senjata yang mengarah ke bawah, ke arah mereka," tambahnya.

"Sulit untuk hidup sebagai target setiap hari."
"Beberapa dari anak telah tumbuh dengan kekerasan," ujar laporan oleh badan kesehatan mental pemerintah yang memimpin survei.
"Beberapa anak usia sekolah dasar mengatakan kepada kami apa yang paling mereka butuhkan untuk memperbaiki kehidupan mereka adalah pistol!"

International Crisis Group mendesak pemerintah Thailand untuk mulai mempersiapkan majority Budha menerima negosiasi untuk Melayu Muslim di Selatan.

Pattani, Yala dan Narathiwat adalah provinsi di Selatan Thailand yang berpenduduk majority Melayu-Muslim dan sebelumnya merupakan kesultanan PATANI sampai akhirnya dicaplok satu abad yang lalu.

Disusun Oleh: Hanin Mazaya, Arrahmah.com

Sabtu, Desember 15, 2012

Pemerintah Thailand Tidak Komitmen, Ledakan Bom Melukai 6 Tentera, Pos Paramiliter Diserbu

Enam tentara Thailand terluka pada Jumat (13/12) pagi dalam serangan bom di provinsi perbatasan selatan Narathiwat, kata Kantor Berita Thailand, TNA Patroli tentara itu disergap ketika bergerak menyusuri jalan di Kabupaten Cho Ai Rong, Narathiwat, dalam kendaraan lapis baja.

Korban yang cedera langsung dilarikan ke rumah sakit. Alat peledak, berat sekitar 50 kilogram, ditempatkan di dalam sebuah tabung gas.

Menurut penyelidikan awal, penjaga militer sedang melintasi jembatan ketika bom dikendalikan dari jarak jauh dan disembunyikan di bawah tanah itu meledak. Ledakan kuat tersebut membentuk kawah selebar tiga meter dan kedalaman dua meter. Polis percaya bahwa para gerilyawan melakukan serangan. 


Sementara di provinsi Pattani sekitar 40 pria bersenjata dengan seragam gaya militer hari Sabtu (8/12/2012) menyerbu sebuah pos pasukan paramiliter Thailand di distrik Kapho Patani dan merampas lima senapan serbu.

Pos tersebut, di depan sekolah Ban Bango di Tambon Karubi, dikepung oleh orang-orang bersenjata tersebut pukul 5,30 pagi.

Para geriliyawan Patani itu mengikat tangan dan kaki para anggota paramiliter sebelum mengambil empat senjata AK-47 dan satu senjata M16 beserta lima rompi anti peluru, radio komunikasi dan sejumlah ponsel milik para anggota paramiliter Thailand tersebut.

Para pria bersenjata itu pergi tanpa melukai para anggota pasukan paramiliter tersebut.
Lebih dari 5.000 orang Budha dan Muslim-Siam dan Melayu telah tewas dan lebih dari 9.000 terluka dalam lebih dari 11.000 insiden.

Sebanyak 3,5 insiden terjadi dalam sehari, di tiga provinsi perbatasan Thailand selatan - Yala, Pattani dan Narathiwat - dan empat kabupaten di Songkhla sejak kekerasan meletus pada Januari 2004, menurut Tonton Deep South, yang memantau kekerasan regional.

Solusi dalam Pendekatan Dialog
Lengahnya Pemerintah Thailand dalam menangani gerakan ‘Revolusi Rakyat Patani’ di provinsi-provinsi paling selatan yang maority penduduknya bersuku Melayu dan  beragama Islam dalam satu dasawarsa ini telah memberi ruang konflik politik yang hanya menguatkan pihak Pejuang Kebebasan Patani. 

Bangkok berdalih penanganan butuh kesabaran namun nyatanya serangan geriyawan telah makin canggih. Tiap kali kekuasaan di negara berjuta bhiksu ini berganti, pemerintahan yang naik condong mengulur-ulur isu Thailand Selatan yang merupakan salahsatu konflik internal paling mematikan di Asia Tenggara ini.

Respons mereka selalu memakai konsepsi kedudukan negara yang ketinggalan zaman dan diperkeruh perselisihan di dalam birokrasi serta persaingan politik skala nasional.

Untuk pertamakalinya kebijakan keamanan baru yang mengakui dimensi politik dalam konflik di kawasan itu diterbitkan tahun ini. Kebijakan ini juga mengidentifikasi desentralisasi dan dialog dengan Pejuang Kebebasan Patani sebagai bagian dari solusi.

Namun, kebijakan ini butuh niat dari politisi-politisi Thailand untuk mendepolitisasi masalah Selatan ini, merangkul masyarakat sipil, membangun mufakat tentang devolusi kekuasaan politik dan mempercepat usaha untuk berdialog.

Dialog dan desentralisasi  mungkin adalah solusi-solusi yang enggan diterapkan para elit politik Bangkok sekarang namun perubahan yang diperlukan ini akan semakin sulit terjadi seiring perjalanan waktu.

Sengketa politik yang tak kunjung usai antara mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang dikudeta tahun 2006 dan kini berada di pengasingan, dengan lawan-lawannya di dalam tubuh militer, birokrasi dan istana kerajaan telah mengalihkan perhatian dari konflik di Thailand Selatan.

Namun, wilayah itu masih menjadi arena permainan politik. Pejabat sipil wilayah selatan dan di Bangkok terkebiri oleh perlunya menghormati kedudukan militer di kawasan itu dan terjebak dalam pencarian opsi yang dapat menghentikan kekerasan tanpa berkomitmen terhadap reformasi politik.

Pengerahan sekitar 60.000 aparat bersenjata, perumusan berbagai undang-undang keamanan khusus dan penganggaran miliaran dollar AS adalah langkah-langkah yang gagal menurunkan korban jiwa atau memangkas gerakan Pejuang Kebebasan Patani  ini.

Dalam dua tahun belakangan ini, kekerasan terus berlangsung namun skalanya belum mengundang publik untuk menuntut pendekatan baru. Kadangkala ada peristiwa hebat yang sesaat merebut perhatian publik seperti yang terjadi tahun ini.

Pada 31 Maret lalu, serangkaian bom meledak pada hari yang sama di Pattani, Yala dan Hat Yai.
Media juga telah menyiarkan rekaman CCTV yang menunjukkan betapa beraninya geriliyawan menembak empat tentara pada siang bolong di distrik Mayo, provinsi Pattani pada 28 Juli lalu.

Tayangan sadis yang menunjukkan bagaimana 16 geriliyawan tak hanya menembaki prajurit-prajurit itu tetapi juga melucuti senjata mereka itu memberi umpan bagi publik untuk mempertanyakan keabsahan kebijakan pemerintah selama ini.

Dengan mendinginnya sengketa politik nasional di Bangkok, isu Thailand Selatan kini naik kembali menjadi topik panas bagi media, birokrasi dan politisi. Sayangnya, perhatian baru ini belum mengerucut kepada pemikiran segar dalam mengatasi masalah yang ada.

Ketiadaan Komitmen
Pemerintahan Yingluck Shinawatra, adik Thaksin yang mulai berkuasa Agustus 2011, berharap Kolonel Polis Thawee Sodsong, yang pro-Thaksin, dapat memberi darah segar pada Pusat Administrasi Provinsi-Provinsi Perbatasan Selatan(SBPAC) yang kini dipimpinnya.

Thawee sebenarnya telah diterima dengan baik di wilayah itu karena kerja kerasnya dan pengerahan bantuan langsung tunai.

Kabinet Yingluck setuju membentuk satgas tingkat tinggi untuk mengkoordinasi 17 kementerian yang memiliki tanggung jawab disana. Sayangnya, langkah ini dicederai oleh kebiasaan mengutak-utik birokrasi dengan adanya tuntutan dari pihak militer untuk meletakkan SBPAC yang merupakan insitusi sipil itu di bawah kendali  Komando Operasi Keamanan Internal (ISOC) yang didominasi militer.

Bentuk dasar dari solusi politik untuk konflik di Selatan Thailand ini sudah lama diketahui publik namun Bangkok tak punya komitmen untuk mengambil pendekatan yang tegas dan menyeluruh.

Kebijakan yang ditelurkan Dewan Keamanan Nasional awal tahun ini mengenai suatu skema penyelesaian konflik sebenarnya cukup menjanjikan karena mengakui dimensi politik dari konflik ini dan memasukkan dialog dan desentralisasi sebagai strategi resmi. Sayangnya implementasi dari inisiatif ini terganggu oleh pergumulan politik dan birokasi.

Pemerintah Bangkok seharsnya menghentikan militerisasi disana, menghapus undang-undang keamanan yang represif and mengakhiri impunitas terhadap kelakuan aparat bersenjata karena semua ini telah jadi stimulus untuk para geriliyawan.

Selama Bangkok gamang, para geriliyawan pun akan menjadi lebih cakap dan berani. Serangan-serangan mereka telah mendatangkan perhatian tambahan yang mungkin memang disengaja demikian.

Untungnya, pihak militer memiliki kepentingan strategis untuk membatasi konflik ini di wilayah yang jelas. 

Namun, apabila kekerasan dibiarkan berevolusi dengan percepatan yang ada kini, ini akan menantang sejauh mana kemampuan pemerintah untuk merespon dengan ketentuan-ketentuannya sendiri. 

Tanpa adanya pemikiran yang kreatif dan aksi yang pintar, Bangkok beresiko kehilangan kendali inisiatif. Yang akhir Bangkok mungkin akan kehilangan wilayah Selatan (Pattani, Yala, Narathiwat dan sebagian Songkhla). Patani akan Memerdekakan Diri.

Matt Wheeler - Analis Asia Tenggara di International Crisis Group (ICG)

Kamis, Desember 13, 2012

UNICEF Mendesak Pemerintah Thailand Menghentikan Kekerasan Terhadap Anak-Anak di Provinsi Selatan

"Setiap kali seorang anak terbunuh atau terluka, setiap kali itu pula seorang anak kehilangan orang tua atau saudaranya, dan setiap kali sekolah atau guru (ustaz) mereka diserang, maka anak-anak pun semakin menderita"


Bijaya Rajbhandari, pejabat pada Bantuan Dana PBB untuk Anak-Anak (United Nations Children's Fund / UNICEF) di Thailand Rabu (12/12) mendesak pemerintah Thailand untuk segera menghentikan kekerasan terhadap anak-anak di provinsi Thailand Selatan.

Desakan muncul sehubungan tewasnya lima orang dalam serangan minggu ini, salah satunya adalah bayi berusia 11 bulan.

"Setiap kali seorang anak terbunuh atau terluka, setiap kali itu pula seorang anak kehilangan orang tua atau saudaranya, dan setiap kali sekolah atau guru (ustaz) mereka diserang, maka anak-anak pun semakin menderita," katanya, seperti dipantau Kantor Berita Islam Mi’raj News Agency (MINA).

"Mengakhiri kekerasan adalah satu-satunya cara untuk memastikan hak semua anak di Selatan Thailand , dan hak anak harus dilindungi dan dihormati," tambahnya dalam sebuah rilis berita.

Menurut UNICEF, bayi bernama Infani Samo tewas Selasa (11/12) pagi tewas, ketika para pria bersenjata dengan senjata otomatisnya menembak dengan membabi buta ke sebuah rumah teh di distrik Rangae, provinsi Narathiwat.

Rajbhandari menggambarkan pembunuhan itu sebagai tindakan tragis, tidak masuk akal dan tidak bisa diterima serta menyerukan semua pihak yang terlibat untuk menggunakan segala cara yang mereka miliki guna mengakhiri kekerasan dan memastikan semua anak dilindungi.

Pada akhir Oktober, seorang anak 11 tahun dibunuh bersama dengan ayahnya ketika sejumlah pria bersenjata menembaki truk pick up mereka di daerah Raman, propinsi Yala.

UNICEF mencatat lebih dari 50 anak tewas dan 340 lainnya luka-luka di wilayah tersebut. Totalnya, lebih dari 5.000 orang kehilangan nyawa mereka akibat koflik etnis itu. 

Jasad Infani Samo



Sumber dari: Mi’raj News Agency (MINA)

Rabu, Desember 12, 2012

Lagi, Skuad Bersenjata Tembaki Warung Desa Warga Melayu, 4 Orang Gugur 5 Orang Cedera Serius

Ibu dan Bapa Si bayi 11 Bulan yang menjadi korban tewas. Mereka sedang membawa jazad anaknya

Aksi kekerasan kembali terjadi di wilayah Rangae, Narathiwat, Thailand selatan. Kelompok gelap melepas tembakan ke sebuah kedai teh desa Tanjung Lima pada Selasa (11/12). Insiden ini menewaskan 4 orang, termasuk seorang bayi berusia 11 bulan.

Si pemilik kedai, Piyawat Mong menuturkan kronologi kejadian tragis tersebut. Menurut Mong, awalnya sebuah truk pickup yang membawa 3 orang pria di bagian belakang tiba-tiba berhenti di luar kedainya. Saat itu, lanjut Mong, istrinya sedang berada di dalam kedai menjual makanan dan minuman.

Tanpa diduga, para pria yang menumpang di belakang truk menembaki kedai tersebut, yang saat itu sedang ramai-ramainya. Usai menembaki secara brutal, mereka langsung kabur. Polis yang tiba di lokasi beberapa saat kemudian, menemukan selongsong kosong dari peluru-peluru senapan sejenis M16 dan AK47. 




Selongsong peluru milik siapa?

Serangan ini menewaskan 4 orang termasuk seorang bayi 11 bulan. Si bayi yang menjadi korban tewas diidentifikasi bernama Ephani Samoh. Sedangkan 3 korban tewas lainnya bernama Kabaree Hoh (37), Pangor Nimae (74) dan Ameesi Jehdoh (23).

Sementara itu, serangan ini juga melukai 5 orang lainnya, termasuk seorang bayi berusia 10 bulan dan seorang pria berusia 74 bulan. Para korban luka dilarikan ke rumah sakit terdekat, Rangae Hospital. Dilaporkan para korban luka mengalami luka serius. Semua warga yang gugur dan para korban luka adalah warga Melayu Muslim.

Aksi kekerasan semacam ini bukan yang pertama kali terjadi di desa Tanjung Lima Kabupaten Rangea Provinsi Narathiwat. Di desa ini sebelumnya juga berlaku penembakan mati Seorang pria Sabtu pagi (13/10) di kebun karetnya. Korban diidentifikasi sebagai Sama-ae Royee, pemilik perkebunan karet warga Melayu Muslim.

Memperingati sejarah hitam didesa Tanyong Limo pernah berlaku penyerangan menyusul insiden yang terjadi ketika dua marinir ditikam penduduk setempat karena diduga telah membunuh dua penduduk di desa tersebut. 

Sekitar 300 warga desa menghalangi pihak keamanan yang hendak masuk ke kawasan itu untuk melakukan investigasi. 

Setelah berhasil membujuk warga desa, baru Gubernur Narathiwat dan sekitar 3.00 polis dan tentara diizinkan untuk memasuki desa sepuluh jam setelah serangan terjadi.

Menurut masyarakat setempat, insiden seperti ini mereka diduga penembakan tersebut sebagai Squad kematian pemerintah. Mereka menolak tuduhan pemerintah yang mengatakan kelompok geriliyawan Patani melepas tembakan keatas umat yang berbangsa Melayu dan beragama Islam sesama sendiri. Apa lagi tindakan sadis seperti ini, tuturnya.

Insiden ini memicu pada kegagalan pemerintah memberikan keamanan bagi warganya yang majority Melayu Muslim di bahgian Selatan negara ini.

Wilayah selatan itu dulunya adalah kesultanan Melayu Patani sampai dianeksasi Bangkok pada sekitar seabad lalu.

Senin, Desember 10, 2012

Hari Hak Asasi Manusia Sedunia: Adili Penjahat HAM di Selatan Thailand

Dalam rangka memperingati 10 Desember hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia. Pascatragedi kemanusiaan di Thailand Selatan, dianggap menempuh cara-cara represif dalam menghadapi warganya etnis Melayu di Provinsi selatan negara ini. 


Tokoh HAM muslim Somchai Nilaipaijit
Beberapa tindakan represif pemerintah Thailand terhadap demonstrasi Tak Bai di Narathiwat, pembunuhan tokoh HAM muslim Somchai Nilaipaijit merupakan bentuk pengingkaran Pemerintah Thailand tersebut atas hak-hak masyarakat minority Melayu di Thailand Selatan. Tindakan ini juga merupakan bentuk nyata dari upaya pemerintah untuk meminggirkan minority Muslim Melayu Selatan Thailand dari sistem produksi mereka. Sekaligus merupakan bentuk diskriminasi kepada komunitas masyarakat etnis Melayu yang manority Muslim. Karena penduduk etnis Melayu setempat tersebut merupakan bagian dari masyarakat minority di Thailand, yang seharusnya mendapatkan jaminan hukum dan perlindungan keamanan dari tindak diskriminasi apalagi pemusnahan. 

"Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan diproklamirkan oleh Resolusi Majlis Umum 217 A (111) 10 Desember 1948 menerangkan pasal 9: Tidak seseorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang. Mengikut Pasal 5: Tidak seorang pun boleh dianianya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan, ataupun jalan perlakuan atau hukum yang menghina".

Kebiadaban tentara Thailand terhadap umat Melayu di Patani sebenar telah mengakar sejak berdirinya negeri gajah putih itu. Ini tidak hanya menyangkut ketegangan budaya tetapi soal ketegangan beragama. Bangsa Thai yang majority beragama Budha kelihatannya belum menerima orang Patani sebagai masyarakat sebangsa. 

Secara giografis Patani di klaim sebagai wilayah kerajaan Thai, tetapi sebaliknya secara demografis dan cultural Patani selalu dilihat sebagai bangsa lain yang kehadiran di anggap mengangu keutuhan bangsa itu, akibatnya mareka didiskriminasi karena berbeda ras dan berebeda agama dengan demikian juga beda kultur. Perbedaan itu yang membuat pemerintah Thai bersikap diskriminatif bahkan cenderung diekpresikan dengan tindakan kekerasan maupun masal. 

Penganiaan Para Demontrasi Tak Bai
Sikap inteleransi pemerintah Thailand dan masyarakat budha di negeri itu pada umumnya terhadap komonitas etnis Melayu terjadi karena mereka tidak bisa menerima pluralitas, menghendaki hegemoni tunggal oleh Budhisme. Sikap terungkap secara sadar atau tidak mengelola politik diprovinsi dibagian selatan yang terdiri dari ras melayu itu kemelayuan dan keislaman rupanya belum bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat disitu, ini terjadi kerana belum tuntas orientasi kemanusiaan dikalangan mereka sehingga cenderung rasialis. 

Dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia harap pemerintah Thailand agar mengusut kasus-kasus HAM yang terjadi keatas Tokoh HAM Somchai Nilapaijit dan kasus pembantaian terhadap Demontrasi Tak Bai yang menelan korban nyawa sekitar 80-an demonstran. Salah satunya kasus pelangaran HAM berat yang belum bisa terselesaikan. 

Rabu, November 21, 2012

Peperangan Psikologi di Selatan Thailand


Suatu Perang psikologi dalam upaya memenangkan suatu peperangan, dalam dunia global. Kita perlu tahu bagaimana peran psikologi cukup berpengaruh dalam melakukan rekayasa untuk melemah masyarakat dalam suatu peperangan.

Secara umum tujuan perang psikologi berusaha untuk melemahkan  moral spirit anggota suatu masyarakat, dan mempengaruhi taraf keutuhannya. Ia juga menumbuhkan rasa gentar, ngeri,  dan takut, serta mengangkat keinginan pihak yang bersangkutan. perang ini juga untuk memasukkan pengaruh aliran dan corak pemikiran, serta memaksa orang Melayu Patani menerima realita yang dipaksakan.

Mungkin bisa menilai bahwa perang psikologi oleh pihak kerajaan kolonial Thailand terhadap masyarakat Melayu Patani dengan menggunakan semua sarana dan prosedur propaganda atau non propaganda yang dilakukannya guna mempengaruhi moral masyrakat orang Melayu di provinsi – provinsi di Selatan. Hal itu tercermin dalam mempengaruhi keinginan, aliran, keyakinan, perasaan, dan pola pikir serta corak perilakunya. 

Sasaran-Sasaran Perang Psikologi 
Perang psikologis pihak kerajaan kolonial Thailand digunakan untuk mencapai beberapa keuntungan dan tujuan dengan cara merealisasikan sasaran-sasaran berikut :
  1. Mendapatkan dukungan international dengan cara membuat opini international atau menyesatkan keatas orang Melayu Patani dengan keabsahan suatu masalah.
  1. Menanamkan benih-benih kehancuran dan perpecahan dalam kesatuan bangsa Melayu Patani, melalui cara menanamkan orang Melayu sebagai alat untuk menentang perjuangan pro-kemerdeaan.
  1. Menanamkan benih-benih keraguan dalam masyarakat orang Melayu Patani, dengan cara membuat keraguan pada akidah dan nilai-nilai agama dengan pendekatan brain wash. 
  1. Menanamkan keraguan  terhadap prinsip-prinsip Nasionalisme dan Sejarah.
  1. Menanamkan keraguan terhadap potensi masyarakat untuk mencapai kemenangan.
  1. Menanamkan keraguan terhadap kemampuan pemimpin-peminpin pejuang

Konspirasi dan Rekayasa Kolonial
Salah satu teknik perang psikologi kolonial Thailand dengan pendekatan rekayasa konflik dan merangkai konspirasi dengan cara memanipulasi peristiwa-peristiwa penembakan atau pembunuhan kemudian membesar-besarkannya agar terjadi konflik kepentingan untuk mempengaruhi psikologi dan mental rakyat Melayu Patani. Walaupun penembakan dan  pembunuhan keatas etnis Melayu Muslim disebaliknya itu Squad kematian bentukan pemerintah Thailand diduga berada dibalik pembunuhan dan penyerangan secara diam-diam terhadap umat Muslim di provinsi perbatasan selatan. Tetapi,  pemerintah Thailand tetap menuduh bahwa pelaku pembunuhan itu adalah pejuang kemerdekaan Patani.

Kerajaan kolonial Thailand juga melakukan rekayasa konflik, untuk memenangkan peperangannya. Karena zona-zona keamanannya mencakup suatu persatuan yang disebut persatuan penyulut konflik. Kerajaan Thailand memanipulasi rekayasa konflik dan membesar-besarkan peristiwa dengan memakai alasan yang lemah dan merealisasikan  tujuan–tujuan  strategisnya. Sudah teramat banyak bukti-bukti yang menguatkan hal tersebut.  

Kerajaan Thailand juga membangun program “Santisuk” dalam pendekatan pembangunan sebesar 300 juta dolar AS ditambah 400 juta dolar AS untuk memberikan kredit mikro bagi masyarakat Melayu untuk mengembangkan sarana pendidikan dan komunikasi. Kerajaan juga memberikan peluang dan kesempatan kerja penduduk di wilayah propinsi selatan dan memberi kesempatan bagi penduduk untuk ambil bagian dalam pengelolaan SDA sebagai tawaran manis buat seketika. 

Dalam kebijakan Militer, kerajaan Thailand mengeluarkan surat perintah penangkapan yang dituduh mendalangi serangan di Thailand Selatan walaupun mangsa hanya sebagai 'Kambing Hitam'. Kerajaan Thailand juga menyebar tentara dan polis bersenjata berat di wilayah rawan bahgian Selatan.

Tak Akan Pernah Menyerah. Tetap Teguh Berlawan
walau tipu daya pikiran mereka makin canggih dan meluas,
walau tindesan dan kekerasan psikis
dan fisik mereka semakin brutal.....

Salam Revolusi 















 

Minggu, November 11, 2012

Center for Peace and Conflict Resolution Studies

Baru-baru ini Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik/Center for Peace and Conflict Resolution Studies (CPCRS) membuat sebuah kajian terkait dampak bantuan terhadap perdamaian di tiga wilayah konflik, Thailand (Pattani, Yala, dan Narathiwat).

Kegiatan ini dipusatkan di Anantara Resort Hotel, sebuah hotel di pinggiran pusat Kota Bangkok yang menghadap ke Sungai Chao Phraya (Mae Nam) yang panjangnya 375 kilometer. Kajian ini dihadiri beberapa peneliti untuk isu konflik dan perdamaian dari berbagai negara, juga para pekerja kemanusiaan dari lembaga internasional.

Konflik di Thailand Selatan, sedang didorong oleh komunitas internasional ke arah perdamaian antara Pemerintah Thailand dengan etnis Melayu di Selatan Thailand yang juga telah berkonflik selama puluhan tahun.

Di Thailand Selatan, beberapa lembaga internasional juga bekerja untuk mempromosikan demokrasi, keadilan, HAM, dan mendorong proses perdamaian agar dapat diwujudkan. Di mana proses perdamaian tidak terlepas dari peran masyarakat internasional yang mendorong pemerintah Thailand untuk mencari penyelesaian konflik tersebut. Namun, dalam konteks konflik di Thailand Selatan sendiri, peran lembaga ini masih sangat kurang dalam memengaruhi dinamika politik, konflik, dan keamanan. 

Alhasil, semuga hasil kajian ini diharapkan akan melahirkan suatu pendekatan yang lebih sesuai dalam rangka mewujudkan penguatan komponen-komponen untuk demokrasi dan perdamaian terhadap etnis Melayu Muslim di bahgian Selatan negeri Gajah Putih ini.