Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Kamis, Agustus 28, 2014

Dua Abad Bangsa Melayu Patani Menangis


Apa pun penyebab konfliknya, warga Melayu di Thailand Selatan saat ini nasibnya makin menyedihkan, bagi yang sabar, mereka tetap bermukim di tanah leluhur mereka, namun sebagian dari warga Melayu di Selatan banyak hijrah ke negara tentangga. Setiap hari dan pekan, terus saja korban berjatuhan, baik di pihak Siam maupun Melayu. Setiap hari warga tewas mengenaskan, Persoalan berikutnya siapa?
Aksi pembunuhan warga Melayu di wilayah Thailand Selatan (Provinsi Narathiwat, Pattani, Yala, dan Songkhla) tidak pernah berhenti. Dalam catatan berdarah dalam satu decade ini kita masih ingat Tragedi April 2004, yakni serangan ke Masjid Krue See menyebabkan 108 pemuda warga Melayu tewas. Selanjutnya pembantaian di Tak Bai, 79 warga Melayu tewas dan 1.000 demonstran ditahan. Ini hanya sebagian catatan kecil yang bisa meliputai pada dunia.

Dua Abad Bangsa Melayu Patani Menangis



Melayu di Asia Tenggara, yang tersebar dari wilayah Thailand Selatan sampai ke Kerajaan Sulu, Palawan (Filipina Selatan), Kerajaan Demak, Goa dan sejumlah kerajaan Melayu di Nusa Tenggara Barat (NTB), mereka umumnya mengalami tekanan dari penjajah (bangsa Eropa, khususnya Belanda, Inggris dan Spanyol).

Tetapi sebagian kerajaan Melayu (Baca: umat Islam) itu bebas dari belenggu penjajah, seperti bangsa Melayu Indonesia dan bangsa Melayu Malaysia, mereka tidak lagi harus melakukan perlawanan pada rezim kolonialisme, namun sebaliknya dialami Melayu di Thailand Selatan, mereka sampai sekarang masih terus tertindas, tidak bisa berpolitik dan berkarir dalam pendidikan dan menjadi pengusaha.

Sejarah kekejaman Siam terhadap bangsa Melayu di Thailand Selatan ini sudah lama, kalau dirunut mungkin lebih dari dua abad, tergantung masa kapan kita melihatnya. 

Kalau merujuk sejak perjanjian Melayu-Siam (1909), yakni pembagian wilayah Malaysia yang dikuasi Inggris, maka sudah 105 tahun bangsa Melayu Patani diduduki oleh panjajah Thailand. Namun, bila dihitung sejak jatuhnya kerajaan Melayu Patani (1786), maka usia penjajahan Siam telah mencapai 228 tahun. Penjajahan berlangsung lebih lama, bila dihitung sejak jatuhnya Kerajaan Melayu Tambralingga (1292) dijadikan patokan bagi keganasan Siam. Kita mungkin melihat kerajaan Melayu di Thailand itu hanya Patani, padahal ada sejumlah kerajaan Melayu lainnya yang juga melakukan perlawanan terhadap Siam. Prasasti Sukhothai menjelaskan, kerajaan Melayu Tambralingga telah ditaklukkannya pada 1292. Sasaran selanjutnya adalah Kerajaan Melayu Langkasuka (Patani) dan Kathaha (Kedah) yang amat kuat akar ke-Malayuannya. Sejak itu, Siam dipandang sebagai musuh abadi bangsa Melayu (Muslim).

Menurut Mohammad Zamberi A Malek, dosen Akademi Pengajian Melayu di Universitas Malaya (UM), tekanan Kerajaan Siam itu sudah lama berlangsung, namun intensitasnya naik turun, yakni sejak 1294 dibangun garis batas Melayu-Siam di Petchburi-Ratchburi, berdekatan dengan Kota Bangkok sekarang, tetapi ini tidak menyelesaikan masalah. Desakan Siam terus berlanjut, sampai-sampai ada sepuluh kali peperangan antara Siam- Patani yang tercatat dalam sejarah. Pertempuran pertama meletus di masa Sultan Muzaffar Syah (1530-1564). Sebanyak dua kali angkatan perang Patani mencoba menaklukkan Kerajaan Ayuthia (1563). Meski gagal, momen itu diingat sebagai keberanian untuk menyerang ibukota Kerajaan Gajah Putih.

Gambar: A 1602 Dutch engraving ( entitled “ Triumphal procession near the city of Patani ” ) of the entourage of Patani’s famed Raja Hijau (1584-1616). The Queen rides a decoratively harnessed elephant, accompanied by her maids-in-waiting (and plausibly her sisters, the future Rajas Biru and Ungu) on other elephants. Noblemen accompany the entourage, which has its full complement of Malay palace guards and soldiers in Portuguese-supplied helmets and battle gear. According to the original German and Latin text, two elephants in the vanguard carry armaments in honour of the late King and Raja Hijau’s father, Sultan Bahadur Shah @ Sultan Mansur Shah. Image: Isaac Commelin, “ Hoe de Koninginne van Patana haer gaet vermaecken ” in Begin ende Voortgang van de Vereenigde Nederlandsche Geoktrooieerde Oost-Indische Compagnie (Beginning and Ending of the Dutch East India Company), 1646, extracted from the Atlas of Mutual Heritage, Nationaal Archief, Nederland (National Archive of the Netherlands).


Kedua, pada 1603, Patani diserang, namun tentara Siam tak bisa menginjakkan kakinya dengan aman. Ketiga, pada 11 Mei 1634, Siam secara besar-besaran bertekad menghancurkan Patani yang kebetulan dipimpin seorang raja perempuan, namun sekali lagi gagal total. Sejak itu berturut-turut Siam melancarkan serangan pada 1671, 1679, dan 1709 ke wilayah Patani Rencana penyerbuan digencarkan kembali 1786 oleh Raja Muda Siam, Phra Rathcawong Bovom Satan Mongkhol. Lewat pangkalan militernya di Songkhla, serangan laut dilakukan sampai mendarat di daerah Jering. Kota Gerisik di Patani pun digempur habis, dari nama kota itu kita tahu, bahwa dakwah Islam dari Nusantara (Sunan Gresik Indonesia) pernah sampai ke Patani; Sultan Muhammad (1776-1786) pun menjadi korban kekejaman Siam, dan seluruh negeri Patani jatuh pada November 1786.

Kekalahan itu membawa penderitaan bangsa Melayu di Patani yang berpenduduk 90.000 orang. Sekitar 15.000 orang hijrah ke Perak, Kelantan, Trengganu dan Kedah. Sedikitnya 4.000 orang Patani ditawan dan dikerahkan membangun terusan secara paksa. Sebagian lain dijadikan tawanan perang yang bertugas di garis depan pasukan Siam untuk umpan lawan, dalam mengamankan Bangkok dari serangan musuh.

Bersamaan dengan penyerbuan Siam ke Patani, pasukan Inggris mendarat di Pulau Pinang, Malaysia. Raja-raja Melayu Semenanjung mengharap bantuan Sir Francis Light, namun Inggris terbukti bersekongkol dengan Siam. Pada 1832 meletus lagi peperangan akibat penyerbuan Siam ke Kedah. Pasukan Patani, Kelantan dan Trengganu ikut membantu peperangan, namun sebagian pasukan melarikan diri. Lagi-lagi penduduk Patani yang berjumlah 54.000 orang jadi korban balas dendam Siam, 6.000 orang di antaranya ditawan.

Patani towns were burned down and ruined during the conflict.

The Melay Patani they brought to Bangkok.

125 Melay Patani families were burned alive in the Belukar Samak region alone.

Setelah Inggris datang dan menguasai wilayah Malaysia, maka Patani pun tetap dibawah naungan Siam, keinginan Inggris menguasai Thailand Selatan dibatalkan karena diplomasi kerajaan Siam.

Kerberhasilan Kerajaan Siam dalam berdiplomasi seperti diungkap Bersihar Lubis dalam artikelnya di Riau Pos, yakni dalam Kisah Raja Mongkut dari Thailand yang terancam karena tetangganya, Burma dan India telah dijajah Inggris, sementara Indocina (Kamboja) dan Vietnam dijajah Prancis adalah contoh diplomasi yang bagus dari abad ke 19.

Mongkut gamang kalau-kalau tentara Inggris yang menempatkan diplomat Lord Braedley di Burma akan merambah ke negerinya. Mongkut meminta Anna Leonowens, seorang warga Inggris yang mengajari keluarga istana dengan bahasa dan kebudayaan Eropa mengadakan pesta jamuan makan dengan mengundang para petinggi Inggris.



Luar biasa. Anna mengemas seisi istana Mongkut dengan busana Barat bergaya Victorian, seperti tergambar dalam film ‘Anna and The King’, kisah nyata yang disutradarai oleh Andy Tenant itu. Anna juga mengatur acara sehingga Mongkut menggelar dansa waltz yang meriah dan membuat Lord Bradley percaya atas persahabatan yang ditawarkan oleh Thailand.

Akibatnya, Prancis batal mencaplok Thailand karena kedekatan Mongkut dengan Inggris. Tak dinyana, Thailand telah diselamatkan oleh pesta dansa. Berkat diplomasi juga, Thailand tak ikut dijajah Jepang pada Perang Dunia II lampau. 

Sabtu, Agustus 23, 2014

Patani: Bangsa Yang Hilang


Gerakan nasionalisme Melayu Patani hanya terdapat di Muangthai (Thailand) di luar Semenanjung Malaya. Ini disebabkan karena mereka adalah suku Melayu atau merasa jati dirinya adalah 'Suku Melayu' yang berdekatan dengan negara dari pusat nasionalisme Melayu di Semenanjung Malaya. Secara kultural, mereka tergolong ke dalam alam budaya Melayu, tetapi mereka tinggal di daerah yang merupakan bagian dari wilayah negara-bangsa Thai yang berbangsa Budha. Konflik yang terjadi sejak tahun 1903 ini merupakan akibat dari wujud perjuangan berkepanjangan perjuangan pembebasan Melayu Patani di Thailand Selatan yang menuntut sebuah negara merdeka dari Thailand bagi mijority Melayu di Thailand Selatan. 

Gerakan pembebasan berupaya memperjuangkan kemerdekaan bagi ketiga propinsi Pattani, Yala, Narathiwat dan empat daerah provinsi Songkla tersebut sebagai akibat dari tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh majority Thai-Buddhis terhadap minority Melayu Patani melalui program-program pemerintah Thailand seperti pembaruan administratif, proses asimilasi satu bangsa yaitu bangsa Thai (Pemerintah Thailand), ketimpangan dan kesenjangan ekonomi akibat eksploitasi pemerintah pusat di samping adanya pengaruh gejolak politik regional dan internasional yang semakin memperkeruh suasana kehidupan bermasyarakat. 

Kondisi tersebut semakin mengenaskan karena pemerintah Thailand memaksakan diri melalui konsep negara modern dengan ideologi 'Buddhisme' dan 'Militeristik'. Kegagalan pemerintah Thailand dalam mengakomodasi seluruh kebutuhan dasar rakyatnya telah mengecewakan sebagian pihak, khususnya kaum Melayu Patani yang akhirnya memicu timbulnya konflik menuntut hak pembebasan Bangsa Patani antara pemerintah Thailand dan gerakan bersenjata Bangsa Patani di Thailand Selatan.

Peta Patani dalam tulisan Jawi

Patani: Bangsa Yang Hilang (1), Periode 1902-1922


Sejak pemerintah colonial Thailand memasukkan Kerajaan Melayu Patani ke dalam negara berbangsa Thai pada tahun 1902, telah berulang kali terjadi protes dan angkat senjata melawan kekuasaan pemerintah Thailand. Faktor utama yang telah membantu mendukung perjuang pembebasan Melayu Patani adalah etnisitas dan solidarity kemalayuan. Kedua factor itu juga membedakan mereka dari masyarakat Siam-Thailand. Bangsa Melayu dan etnisitas Melayu Patani digunakan untuk memobilisasi rakyat menentang campur tangan pemerintah colonial dalam urusan masyarakat Melayu di Thailand Selatan. 

Melayu di tiga provinsi Pattani, Yala Narathiwat dan empat kabupaten provinsi Songkla di Thailand Selatan memiliki sejarah panjang sebagai bangsa yang merdeka atau taklukan. Proses colonial memasukkan propinsi-propinsi paling selatan itu ke dalam kerajaan Thai (Thailand), merupakan suatu proses pedekatan dengan kekerasan militeristik dan tertindas. Pada pertengahan abad ke-19, PATANI merupakan kerajaan Melayu terbesar di Selatan telah menjadi pokok sengketa antara Inggris dan para pemimpin Thai di Bangkok sehingga kerajaan Thai terpaksa mengadakan pembaruan administratif atas pertimbangan keamanan nasional dan efisiensi dalam urusan negara. Setelah pembaruan 1902 itu, dimulailah gerakan angkatan senjata menentang kekuasaan colonial Thai. 

Gambar: Raja Patani, Abdul Kadir 
Reaksi kolektif pertama atas program pembaruan keatas bangsa Patani terjadi pada tahun 1903, satu tahun setelah dimulainya pembaruan. Gerakan itu dikoordinasi oleh Raja Patani, Abdul Kadir, yang menempuh sebuah strategi bercabang dua, yaitu perlawanan umum untuk memancing tindakan-tindakan penindasan yang lebih keras dari pihak penguasa sehingga akan mencetuskan konflik hebat terhadap sistem baru itu, dan berusaha untuk minta campur tangan asing, terutama dari Inggris. Dalam periode ini, pertempuran senjata bertempat di Namsai yang berlangsung pada tahun 1922 menjadi peristiwa penting bagi perjuangan kemerdekaan Patani di mana anggota-anggota kerabat raja bersama para pemuka bangsawan bertempur dengan para pejabat Siam di sebuah daerah pemukiman pedesaan Pattani. Banyak korban yang jatuh sebelum pertempuran senjata itu dapat dipadamkan. 


Patani: Bangsa Yang Hilang (2) Periode 1922-1945


Adanya keinginan Raja Chulalongkorn untuk mengintegrasikan Melayu Patani ke dalam sistem administratif penjajah Thai, memutuskan bahwa suatu pemerintahan tidak langsung tidak praktis lagi untuk dijalankan. Birokrasi pusat ternyata harus lebih diperluas di mana tingkat kekuasaan harus dialihkan ke tangan para pejabat yang diangkat oleh Bangkok. Tahun 1906, selang empat tahun setelah pencopotan raja-raja Melayu dari kekuasaan atas kerajaan Melayu Patani melakukan penggabungan tanah Melayu Patani itu dalam suatu Monthon (satuan administratif daerah) baru dengan nama Monthon Pattani.

Upaya mempersatukan kerajaan terus dilakukan meski telah terjadi peralihan kekuasaan dari Raja Chulalongkorn kepada anaknya, Raja Wachiravut atau Rama VI melalui nasionalisme satu bangsa, yaitu bangsa Thai. Doktrin nasionalisme Raja Wachiravut ditujukan untuk golongan-golongan minority yang berada dalam kekuasaan kerajaan Thai. Implementasi dari doktrin nasionalisme itu dilakukan melalui program wajib mengikuti pendidikan Thai yang telah dimulai di masa pemerintahan ayahnya dan mulai memperlihatkan hasil pengaruhnya terhadap masyarakat berbangsa Melayu. Madrasah-madrasah yang diselenggarakan di masjid-masjid didorong untuk mengubah kurikulumnya sehingga mencakup pelajaran bahasa dan indoktrinasi kewargaan Thai yang telah dirancang oleh Bangkok. Namun, persoalan paling meresahkan masyarakat adalah semakin besarnya pengawasan Thai atas segala dimensi kehidupan sehari-hari.

Sejak awal, perlawanan terhadap kekuasaan Thai mengambil bentuk pemberontakan-pemberontakan kemalayuan yang berusaha menghalau kekuasaan politik asing dari tanah Melayu itu. Pemberontakan besar di bawah pimpinan beberapa ulama dan bangsawan Melayu yang telah kehilangan kekuasaan, meletus pada tahun 1922. Pemberontakan itu disemangati oleh bekas raja Patani, Abdul Kadir, yang memperoleh simpati dan dukungan materiil dari kaum bangsawan dan kaum ulama Melayu di Kelantan. Raja Abdul Kadir mendapat simpati dari kedua golongan itu karena ia dapat meyakinkan raja-raja Melayu dengan alasan bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk membebaskan sesama Melayu yang sedang ditindas di seberang perbatasan. Kepada para ulama ia mengingatkan akan kewajiban untuk membebaskan sesama muslim yang serumpun Melayu dari kekuasaan colonial Thai-Buddhis. Dengan demikian, bergabunglah sentimen kemalayuan dan aspirasi politik dari lintas perbatasan untuk melancarkan suatu gerakan pembebasan rakyat Patani untuk pertama kalinya yang mencakup seluruh tanah Melayu itu. Dukungan dan simpati yang telah berhasil ia kerahkan dalam tahun 1922, sudah cukup untuk menghentikan kampanye pemerintah Thai (Thailand) untuk men-Thai-kan propinsi-propinsi di bagian selatan negara itu.

Bangkitnya kesadaran nasionalisme Melayu di kalangan rakyat negeri-negeri bagian utara Malaya (kini Malaysia) dan kesediaan mereka untuk memberi dukungan materiil dan politik kepada sesama Melayu di bawah penindasan kekuasaan Thai, menyadarkan para pejabat Thai bahwa penindasan identity etnik dan kebudayaan hanya akan memancing reaksi-reaksi kekerasan. Pendekatan yang lebih baik adalah dengan membina loyality politik, melegitimasi kekuasaan melalui partisipasi dan perwakilan dan usaha-usaha yang terus menerus untuk mengembangkan perekonomian. Cara pendekatan itu ditempuh dalam tahun 1932, ketika negara Thailand mengalami suatu transformasi konstitusi yang mengakhiri monarki absolut dan melahirkan suatu bentuk pemerintahan representatif.

Peristiwa penting dalam periode ini adalah diberlakukannya Undang-Undang Patronase Islam 1945, yang bertujuan untuk memasukkan pimpinan agama ke dalam wewenang pemerintah. kibatnya, para ulama mengambil alih pimpinan dan untuk kesekian kalinya membangkitkan orang-orang Melayu yang berorientasi kepada berbangsa Melayu untuk bersatu menentang kebijakan asimilasionis pemerintah yang dikenal dengan sebutan Peraturan-peraturan kebudayaan (Kot Wattanatham) di bawah rezim Phibul Songkram.

Gambar : Raja Chulalongkorn atau Raja Rama V

Gambar : Phibul Songkram.
Dalam periode ini, pemerintah Thai (Thailand) dengan sikap agresif berusaha mengkonsolidasikan kekuasaannya atas urusan sosial kebangsaan atas warga Melayu. Persoalan yang sangat peka adalah intervensi pemerintah Thai dalam bidang hukum kebangsaannya yang dianggap sakral. Pengkodifikasian dan penerjemahan hukum-hukum agama mengenai perkawinan dan warisan agar seragam dan konsisten, pembentukan pengadilan-pengadilan Syari’ah di propinsi-propinsi Melayu dan pengangkatan hakim-hakim Muslim yang diangkat untuk mendampingi hakim-hakim Thai dalam mengadili perkara yang menyangkut urusan keluarga telah menimbulkan serangkaian protes terhadap intervensi pemerintah. Kondisi ini juga yang pada akhirnya mencetuskan penentangan dan pemberontakan.

Meskipun puncak pemberontakan dan tindakan kekerasan baru terjadi setelah Phibul Songkram kembali memangku jabatan Perdana Menteri pada 8 April 1948. Adanya kecurigaan mendalam dan pengalaman getir orang-orang Melayu akibat kebijakan asimilasi paksaan sebelum dan di masa Perang Dunia II, secara otomatis mencetuskan pemberontakan-pemberontakan angkat senjata yang spontan di daerah Selatan Thai. Bentrok kekerasan dengan polis dan pasukan keamanan terjadi di empat propinsi di Thailand Selatan yang mengakibatkan ratusan orang terbunuh dan ribuan lainnya mengungsi ke Malaya (Malaysia). Bentrokan paling hebat terjadi di sebuah kampong bernama Dusong Nyor di propinsi Narathiwat yang dipimpin oleh Haji Abdul Rahman, memimpin lebih dari seribu orang menghadapi pasukan pemerintah penjajah Thai dalam suatu pertempuran terbuka sehingga mengakibatkan seratus orang tewas dipihak orang Melayu. Pemberontakan Dusong Nyor yang terjadi pada tanggal 26-27 April itu hingga sekarang merupakan lambang semangat perlawanan Melayu dan masih terus mengilhami gerakan-gerakan kemerdekaan hingga kini.

Sementara itu, tekanan internasional bertambah besar dan peristiwa Haji Sulong menyebabkan masalah Patani mendapat perhatian Liga Arab dan PBB. Tapi, yang paling ampuh dari semua koalisi internasional yang terbentuk untuk mendukung perjuangan Melayu itu adalah Gabongan Melayu Patani Raya (GAMPAR) yang terbentuk dalam bulan Februari 1944. GAMPAR menjadi sebuah organisasi yang mengkoordinasikan berbagai unsur yang bekerja untuk pembebasan bangsa Melayu Patani. Organisasi ini memperoleh dukungan dari berbagai golongan dan partai politik di Malaya. GAMPAR juga berhasil menarik dukungan pimpinan Malay Nationalist Party (MNP, atau Partai Nasionalis Melayu) yang bercita-citakan penyatuan semua rakyat Melayu ke dalam Indonesia Raya. Tengku Muhyiddin, yang mengkoordinasikan bagian terbesar upaya internasional untuk meredakan ketegangan di Thailand Selatan.

Kematian Haji Sulong menandai berakhirnya pemberontakan umum yang dipimpin oleh para ulama. Kematian misterius Haji Sulong dan anak laki-lakinya, Ahmad To’ mina tahun 1954 adalah merupakan suatu pengakuan kegagalan di pihak pemerintah, bahwa mereka tidak mampu mengintegrasikan warga bangsa Melayu Patani yang sangat domionan ke dalam negara Thai, sebagaimana yang dilakukannya pada golongan etnik di daerah utara dan lainnya.


Gambar : Haji Sulong

Gambar : Tengku Muhyiddin


Patani: Bangsa Yang Hilang (3), Periode 1973-1982

Gambar Atas-Bawah: Demonstrasi besar-besaran menjadi peristiwa penting dalam kesadaran MASSA RAKYAT BANGSA MELAYU PATANI. Demonstrasi dimulai tanggal 11 Desember 1975 sampai 24 Januari 1976. Demonstrasi ini dilakukan mengutuk kekejaman dan menuntut keadilan dari pemerintah Thai terkait dengan tindakan agresif aparat tentera dalam tragedi demonstrasi 29 November 1975 di mana menimbulkan korban jiwa sebanyak 12 orang tewas dan 40 orang lainnya luka-luka..!!


Jatuhnya pemerintahan militer tahun 1973 dan ditegakkannya demokrasi yang berlangsung selama tiga tahun, seolah-olah mendatangkan suatu era baru dalam politik Thailand. Setiap lapisan masyarakat didorong untuk berpartisipasi dalam urusan negara. Akan tetapi, seperti yang dikemukakan oleh Arong Suthasat yang dikutip oleh Surin Pitsuwan bahwa “akar konflik yang terjadi di keempat propinsi (Melayu-Patani) itu adalah perbedaan kebudayaan dan rasa benci (antara yang memerintah dan yang diperintah)” (Pitsuwan, Surin. Islam Di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Pattani,1989).

Dengan demikian, setiap perubahan dalam kepemimpinan tentunya akan menimbulkan perubahan dalam taktik dan bahkan dalam ideologi perjuangan comunity Melayu Patani untuk memperoleh hak menentukan nasib sendiri. Berbagai imbauan dan protes dalam periode ini, lebih didasarkan atas asas-asas yang diserukan oleh pemerintah Thailand sendiri seperti kebebasan, persamaan, dan jaminan hak-hak politik bagi semua warga negara Thailand tanpa memandang asal-usul ras.

Perubahan paling penting yang terjadi pada rakyat bangsa Melayu Patani adalah terbentuknya berbagai gerakan angkatan senjata yang terorganisir secara terang-terangan bertujuan membebaskan bangsa Melayu dari kekuasaan penjajah Thai, seperti Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), Barisan Revolusi Nasional (BRN), dan Pertubohan Persatuan Pembebasan Pattani (PPPP) atau Pattani United Liberation Organization (PULO) yang memiliki ciri-ciri dan karakteristik perjuangan yang berbeda-beda meskipun mempunyai tujuan yang sama, yaitu membebaskan rakyat bangsa Melayu Patani dari kekuasaan kolonial Thailand. 

Kecemasan mengenai kehancuran bangsa dan identitas Melayu sebagai akibat proses asimilasi melalui kebijakan integrasi nasional – (Kebijakan pasca kudeta militer tanggal 16 September 1957, dipimpin oleh Marsekal Sarit Thanarat yang mengharuskan setiap warga negara menempuh pendidikan Thai, mempunyai nama Thai dan berkebudayaan Thai) - oleh pemerintah Thailand itu telah mendorong banyak orang untuk menggunakan cara-cara kekerasan untuk melawan. Munculnya gerakan pejuang pembebasan Melayu Patani semakin meningkatkan intensitas kekerasan secara nyata. Selain itu, faktor ideologis telah menambah eskalasi konflik di Thailand Selatan. Kebangkitan fundamentalisme kebangsaan dan kemalayuan juga semakin mempengaruhi gelombang kekerasan di mana seruan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan tanah air mempererat identity etnik masyarakat Melayu Patani dalam periode ini. 

Pada tahun 1975-1976, demonstrasi besar menjadi peristiwa penting dalam membantu kesadaran politik di kalangan massa rakyat bangsa Melayu Patani. Demonstrasi yang dimulai pada tanggal 11 Desember 1975 - (Demonstrasi 11 Desember 1975 dilakukan untuk mengutuk kekejaman dan keadilan dari pemerintah Thai terkait dengan tragedi demonstrasi 29 November 1975 di mana menimbulkan korban jiwa sebanyak 12 orang tewas dan 40 orang lainnya luka-luka) - sampai dengan 24 Januari 1976 kian membuktikan semangat kesatuan dan persatuan bangsa Melayu Patani. Antara tahun 1977 sampai tahun 1982, bentuk kekerasan paling umum terjadi yaitu perasaan tidak aman dan tidak adanya perlindungan membuat orang-orang Thai-Buddhis mula keluar dari daerah konflik tersebut. 

Tindakan perlawanan lain yang dilakukan oleh gerakan pembebasan adalah aksi-aksi penyerangan dan sabotase terhadap fasilitas-fasilitas infrastruktur milik pemerintah, seperti penyerangan pada pejabat pemerintah, pusat-pusat komunikasi internasional, fungsi-fungsi raja, perusakan dan pembakaran gedung sekolah, penembakan terhadap polis dan tentera, pemboman jembatan dan gedung-gedung pemerintah serta kantor polis. Adapun tujuan dari aksi-aksi adalah menghalangi upaya pemerintah untuk melaksanakan kebijakan integrasi nasional keatas hak bangsa Melayu Patani. Minimalnya menginternasionalisasikan isu bangsa Melayu Patani di Thailand Selatan kepentas konflik internasional sebagai tindakan balasan dari pihak pemerintah yang dilakukan melalui operasi-operasi militer yang agresif yang sedang berlangsung, seperti : pemboman pada tanggal 4 Juni 1977, saat raja sedang mengunjungi propinsi Yala pada 22 September 1977, dan pemboman stasium kereta api Had Yai (yang menghubungkan Thailand Selatan dengan Malaysia dan Singapura) pada 8 Februari 1980. Kasus seperti ini telah berhasil menarik perhatian luas di dunia internasional.






Patani: Bangsa Yang Hilang (Akhir), Periode 1995 – 20??


Di tahun 1995, terjadi perpecahan di antara para pemimpin gerakan. Namun masih ada gerakan yang mempertahankan keadaan tetap dan tujuan yang tepat. Setelah ada beberapa para pemimpin yang ditangkap di awal tahun 1998, dengan seketika ada kebimbangan terjadi di dalam organisasi gerakan-gerakan pembebasan Melayu Patani. Sebagai hasilnya, membuat moral sebagian anggotanya menjadi begitu rendah. Ada sebagian anggota kelompok perlawanan yang menyerahkan diri mereka kepada pemerintah Thailand. 

Gerakan perlawanan dari pejuang pembebasan PATANI yang sempat padam selama beberapa tahun, pada tahun awal Januari 2004 muncul kembali dengan adanya penyerbuan terhadap markas militer Distrik Arion di Narathiwat yang menewaskan empat tentera Thailand dan hilangnya lebih 300 senapan lengkap berserta amunisinya. Sejak peristiwa itu hingga pertengahan tahun 2014 ini, aksi-aksi gerakan gerilyawan Melayu Patani yang terorganisir BRN (Barisan Revolusi Nasioanl - Patani) yang masih utuh dan aktif dalam penyusunan kesatuan dan persatuan bangsa Melayu Patani kembali tercetus ‘obor revolusi’ prokemerdekaan terus-menerus mewarnai suasana di empat propinsi di Thailand Selatan termasuk propinsi Songkla telah mengakibatkan lebih dari enam ribu korban jiwa yang tewas kedua belah pihak ‘Penjajah dan Dijajah’ atau rakyat bangsa Siam dan bangsa Melayu yang terus berperang bersenjata selama decade terakhir ini.

Meskipun pemerintah colonial telah meninjau ulang kebijakan-kebijakannya terhadap empat propinsi di Thailand Selatan terutama status darurat militer di sana dan menghidupkan kembali badan pusat mediasi nasional namun hingga saat ini, aksi-aksi penyerangan dan sabotase terhadap fasilitas infrastruktur milik pemerintah, seperti penyerangan pada para pejabat pemerintah-tentera-polis, pusat-pusat komunikasi internasional, pembakaran dan perusakan gedung sekolah, penembakan terhadap SB Siam, pemboman angkutan tentera-polis dan gedung-gedung pemerintah serta kantor polis belum juga berakhir. Aksi-aksi berupa kampanye ‘Kembalikan Hak Pertuanan Bangsa Melayu Patani’ untuk memberi kesan perasaan tidak aman dan tidak adanya perlindungan dari pihak pemerintah kembali terulang seperti tindakan yang dilakukan menjelang akhir tahun 1980-an dan decade awal tahun 1990-an.

Para gerilyawan Patani merupakan unit angkat senjata perang melawan penjajah Thai akibat satu sejarah diskriminasi terhadap etnik Melayu yang berbangsa Patani oleh pemerintah dan pelanggaran hak asasi manusia yang banyak dilakukan oleh aparat tentara Thailand.

Sulit mengetahui sejauh mana kebijakan baru itu akan mengubah suasana di Thailand Selantan. Sebab, persepsi masyarakat Melayu Patani terlanjur mengalami transformasi. Reaksi tersebut mencerminkan masih sulitnya problem yang dihadapi pemerintahan Thailand dalam masalah etnis bangsa Melayu di wilayah itu. Bila kenyataan demonkrasi hanya untuk bangsa Thailand budha, belum untuk bangsa secaran keseluruhan. Sebaliknya mereka malah dianggap duri dalam daging, yang kalau dapat harus dikenyahkan. Kalau dilihat tingginya frekewensi kekerasan yang dilakukan pemerintah pada bangsa Patani, maka nafsu untuk penyenlapan itu sungguh terjadi. 

Akhirnya, apa pun konflik perang atas bangsa Melayu Patani dengan pemerintah colonial Siam-Thailand tidak terlepas dari perjuangan mengikut pada landasan dasar Internasional demi menuntut kemerdekaan sebuah Bangsa sebagai bukti tentang hak-hak dari segala bangsa yang ada di muka bumi dapat kita lihat dalam deklarasi-deklarasi atau piagam-piagam bersejarah seperti :
1- Piagam Atlantik (Atlantic Charter),
2- Piagam San Francisco,
3- Konferensi Asia-Afrika; dan
4- Piagam Hak Asasi Manusia, demi mencinta sebuah bangsa yang damai.





kami bangsa Melayu Patani
kami bukan pengganas
kami bukan teroris
kami bukan sepratis

kami adalan bangsa
menuntut nilai prikemanusiaan
menuntut nilai Hak Asasi Manusia

demi cinta keadilan
cinta kemanusiaan
dan penuh cinta kedamaian

(kami bangsa yang tertindas)

Kamis, Agustus 21, 2014

Lubang Hitam Kemanusiaan



Membicarakan penindasan, kezaliman, keganasan, pembantaian, yang dialami oleh kaum Muslimin, kita selalu mengingat negeri-negeri yang jauh. Seperti bangsa Palestina, atau Afghanistan, bisa jadi Irak, Chechnya, Pakistan, Darfur atau Sudan. Tapi rupanya, saudara sendiri yang tak jauh, bahkan hampir di pelupuk mata dekatnya, nyaris terlupakan rumpun Melayu sendiri kita terabaikan. Bangsa Melayu Muslim Patani, lebih dari 200 tahun mengalami penindasan. Tanah mereka direbut oleh penjajah Siam-Thailand, dan kini mereka hidup penuh konflik di wilayah mereka diami di Selatan Thailand. Mengalami pembunuhan, diancam dengan penculikan, dibatasi semua hak manusianya. Tapi tak banyak yang berbuat dan membantu mereka.




..Lubang Hitam Kemanusiaan Pembantaian Massal colonial Siam-Thailand keatas Bangsa Melayu Patani Masih Menganga..







Lihat Bangsa Palastine dalam Rumpun Melayu: http://www.youtube.com/watch?v=uatBqcsh8Aw, 




Dapat komentar dari Cik Fitri LawaYa ibarat kata: gajah di pelupuk mata tidak tampak,, semut di lautan nampak,,,//sy rasa karena kurangnya informasi atau berita penindasan di thailand selatan sampai ke orang-orang di indonesia atau negara berdekatan lainnya,,sudahkah orang-orang Thailand selatan minta bantuan kepada indonesia?mana la tau respon orang-orang indonesia akan gencar seperti mereka membela orang Palestina yang jauh itu,,karena kita satu rumpun  // bukan berarti sy tidak simpati pada perjuangan orang-orang Palestina,,sy simpati juga,,cuma sy rasa terusik karena orang-orang di sini,,di indonesia sepertinya lebih heboh membela orang yang jauh daripada yang dekat ,,, 

Kamu Pahlawan



kutundukkan kepalaku,
bersama rakyatmu yang berkabung
bagimu yang bertahan di hutan
dan terbunuh di gunung
di Selatan sini
di hati rakyatmu,
tersebut namamu selalu
di hatiku

aku penyair mendirikan tugu
meneruskan pekik salammu
"kamu tetap pahlawan bangsaku"



Senin, Agustus 18, 2014

Ibunda dan Si Anak Penjara


ibunda
akhirnya menjengukku juga
datang ke penjara
dari kampung ke ibukota
melihat anak tersayang
babak belur dianiaya tentara

ibunda akhirnya angkat bicara

menggugat tuan jaksa
yang menjebloskan anaknya
berbulan-bulan
di penjara negara penjajah
tak jelas pasal kesalahannya

kejahatan apakah

yang direncanakan oleh anaknya
hingga kalian pukuli dia
siang malam
seperti anjing-anjing liar saja

kejahatan macam apakah

yang dijalani oleh anakku
hingga kalian main strom seenaknya
sampai anakku demam
tinggi suhu tubuh badannya

hingga tubuhnya mati rasa kalian siksa

hak istimewa apakah yang kalian miliki
begitu sewenang-wenang kalian
main hakim menjalankan pengadilan
tanpa undang-undang

undang-undang apakah yang kalian praktikkan?

tuan jaksa jawab tuan jaksa
undang-undang mana bikinan siapa
yang mengizinkan pejabat negara
menganiaya rakyat
dan menginjak hak-haknya

tuan jaksa jawab tuan jaksa

tanyakan kepada para ibunda
di mana pun juga
siapa rela
bila anaknya
terancam keselamatan jiwanya

tuan jaksa jawab tuan jaksa

tanyakan kepada para ibunda
siapa saja
siapa rela
melihat si jantung hati darah dagingnya dicederai
biar pun yang melakukannya penguasa

maka sekalian aku menempuh bahaya

demi keadilan si buah hati
aku menuntut
tuan jaksa – bebaskan dia!











Minggu, Agustus 17, 2014

ISOC Membentukan Empat Komite, Menyelesai Konflik Berdarah di Selatan

Komando Operasi Keamanan Internal (ISOC) Thailand mengusulkan pembentukan empat komite kerja yang bertugas menyelesaikan lebih dari satu dekade konflik berdarah yang panjang di provinsi Thailand selatan. Demikian kata Kolonel Banpot Poolpian, juru bicara ISOC, Sabtu (16/08).

Dia mengatakan, usulan itu dibuat selama pertemuan Jumat, dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Dewan Nasional untuk Ketentraman dan Ketertiban (NCPO) dan wakil kepala militer Jenderal Udomdej Sitabutr, diadakan di kantor pusat Dewan Keamanan Nasional (NSC).

Berdasarkan proposal untuk memecahkan konflik selatan yang hampir setiap hari terjadi sejak Januari 2004, langkah-langkah yang harus disiapkan oleh empat butir komite kerja akan dikirim dan kemudian disusun oleh NSC, sehingga bisa menjadi rencana yang berkelanjutan.

Tetangga Malaysia akan diminta untuk bertindak sebagai fasilitator dalam pembicaraan damai antara pemerintah Thailand dan para pemimpin pejuang pembebasan Melayu Patani.

Tiga langkah akan disiapkan, termasuk persiapan untuk tempat guna mengadakan pembicaraan damai, penandatanganan ratifikasi setelah negosiasi damai dapat dicapai pada tingkat yang sesuai dan persiapan bersama peta-jalan, kata Kolonel Banpot.

Perundingan perdamaian sebelumnya diadakan antara pejabat pemerintah Thailand tinggi dan perwakilan dari Barisan Revolusi Nasional (BRN) gerakan di Malaysia, yang bertujuan mencari solusi untuk konflik berdarah di provinsi paling selatan, terutama Yala, Pattani dan Narathiwat.


Pertemuan pertama antara delegasi keamanan Thailand dan perwakilan faksi Barisan Revolusi Nasional (BRN) diadakan di ibu kota Malaysia Kuala Lumpur pada 28 Februari tahun lalu, sebuah pertemuan yang diikuti oleh tiga putaran dialog.

Sebelum ini, Datuk Seri Ahmad Zamzamin Hashim, kepala fasilitator Malaysia, mengatakan Malaysia telah menawarkan untuk melanjutkan perannya sebagai fasilitator perundingan perdamaian antara pemerintah Thailand dan pejuang pembebasan Patani untuk menemukan resolusi bagi konflik lama di provinsi-provinsi perbatasan Thailand Selatan itu.

Tetapi Malaysia bersedia untuk memfasilitasi pertemuan kelompok kerja bersama serta masa depan untuk mencapai perdamaian di Thailand Selatan. Setiap jadwal baru untuk pembicaraan, jika disetujui oleh pemerintah Thailand yang baru, belum ditetapkan, katanya.


Baca lanjut di:

Proses Perdamaian di Selatan Thailand: Pemerintah Yingluck Disepakati Dengan Pejuang BRN, http://dangerofpatani.blogspot.com/2013/02/proses-perdamaian-di-selatan-thailand.html,

Pintu Rundingan Kedua Diwarnai Bom dan Serangan, http://dangerofpatani.blogspot.com/2013/03/pintu-rundingan-kedua-diwarnai-bom-dan.html,

Perundingan Mendatang 29 April, Ledakan Bom Dua Tentera Tewas Enam Cedera Parah Dalam 36 Insiden, http://dangerofpatani.blogspot.com/2013/04/perundingan-mendatang-29-april-ledakan.html,

Putaran Kedua, BRN Daftar Lima Poin Tuntutan, http://dangerofpatani.blogspot.com/2013/05/putaran-kedua-brn-daftar-lima-poin.html,

Gencatan Senjata Ramadhon Berdarah ..!!, http://dangerofpatani.blogspot.com/2013/07/gencatan-senjata-ramadhon-berdarah.html,

Kerajaan Thailand Pengkhianat, BRN Hentikan Rundingan Damai, http://dangerofpatani.blogspot.com/2013/08/kerajaan-thailand-pengkhianat-brn.html,