Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Senin, September 22, 2014

Ahmad Somboon Bualuang Tokoh Perdamaian Patani Meninggal Dunia di Swedia

Jenazah Ahmad Somboon Bualuang, 64 tahun, yaitu tokoh perdamaian di Patani yang meninggal dunia selama di Swedia, diharapkan dibawa pulang ke Thailand, pada Rabu (24/09). 

Ahmad meninggal dunia ketika dalam perjalanan dengan kereta api dari Kopenhagen, Denmark ke Gothenburg, Swedia, bersama dua orang teman pada 20 September lalu dalam misi mencari kedamaian di Selatan Thailand. 

Dia adalah dalam rangka misi ke Jerman dan Swedia atas tugas Direktur Korikolum Konstruksi Kedamaian di bawah King Pipok Institute untuk berbicara dengan perwakilan gerakan Organisasi Pembebasan Patani yang tinggal di sana untuk bergabung proses perundingan yang akan datang. 

Ahmad berasal dari Desa Pujud, Pattani, dan merupakan mantan akademisi di Prince of Songkla University-PSU Pattani. 

Dia pernah ditunjuk oleh mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra sebagai anggota Komite Bebas untuk Perdamaian mencari solusi konflik di Selatan Thailand. 

Sejak terjadi kekerasan di wilayah perbatasan selatan pada 2004, beliau bertungkus lumus mencari solusi damai konflik tersebut dan sering kali ke Eropa dan Indonesia untuk bertemu dengan kelompok Gerakan Pembebasan Patani berdiskusi dalam mencari solusi konflik secara damai. 

Ahmad meninggalkan seorang istri Laila Akeb-Urai, 45, dan lima orang anak - Julawang, 39, Nawawi, 33, Nik Amalina, 11, Wan Ismail, 9, dan Was Iskandar, 5 tahun. 

Menurut anaknya Nawawi, Ahmad baru saja mengetahui bahwa dia mengidap penyakit jantung dua bulan lalu dan dokter menasihatinya agar banyak beristirahat serta melarang keras melakukan perjalanan jauh. 

Sebelum ke Eropa, ia berada lima hari di Brunei dan dijadwalkan pulang dari Eropa hari ini. 

"Ayah dah niat bahwa pekerjaan yang dipercayakan harus mencapai keberhasilan karena ketika dia mencapai keberhasilan itu lebih besar manfaatnya bagi rakyat. 

Jika dia mati ada orang lain pula yang menghubungkan kerja seperti ini yang jika tidak ada orang memulai maka ia tidak bisa diteruskan, "kata Nawawi menjelaskan sikap ayahnya. 

Bagi Ramadon Panjor, Editor Deep South Watch dan juga aktivis perdamaian mengatakan "jika melihat kepada Islam, ini adalah kehendak Tuhan, dia mati dalam perjalanan dengan tugas yang dia cinta, yang dia tekun, dan bertungkus lumus hampir seumur hidup beliau. 

Sementara itu, pada 9 September lalu, koran Bangkok Post mengutip Ahmad mengatakan bahwa ia percaya pembicaraan damai yang dilanjutkan mungkin menghasilkan keputusan konkret mengingat Perdana Menteri Jen Prayuth Chan-ocha berkuasa penuh menyelesaikan masalah kekerasan di wilayah Selatan. 

Laporan itu mengatakan Ahmad juga meminta Prayuth menunjuk mereka yang benar-benar memahami masalah di wilayah Selatan dan menegosiasikan proses di wilayah yang dilanda konflik untuk duduk dalam panel damai yang baru yang juga berisi orang sipil dan militer. 

Menurut laporan itu Ahmad ingin Prayuth mendengarkan pandangan juru bicara Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang menentang Jen Akanit Muansawat sebagai kepala delegasi Thailand.


Lihat lanjut di:
AHMADSOMBOON BUALUANG - His Last and Final Journey
( A dedication to a Peace activist , a co-worker, a friend and a brother )

** Note : I received this article from the person who was travelling with him in the last trip oversea. He wants his identity to remain anonymous. I present the article as it is without edit/ alteration.The attached photo was the last just before he boarded the train - Abu Hafez Al-Hakim. at: http://www.deepsouthwatch.org/node/6194,

Jumat, September 12, 2014

BRN Tolok Ketua Deleagsi Siam


Niat Dewan Keamanan dan ketertiban Nasional (NCPO) melanjutkan negosiasi damai di Selatan Thailand menghadapi rintangan pertama ketika pejuang pembebasan Melayu Patani menyatakan protes kepada tokoh yang disebut bakal memimpin delegasi itu.

Mereka juga meminta NCPO tidak menempatkan setiap prasyarat bagi perundingan itu yang terhenti sejak lebih setahun lalu.

Tokoh yang dekat dengan pemimpin NCPO, Jen Akanit Muansawat (gambar), disebut-sebut sebagai ketua delegasi pemerintah untuk berkonsultasi dengan pembebasan Melayu Selatan Thailand. Juru bicara Barisan Revolusi Nasional (BRN) mengatakan, jika Bangkok ingin negosiasi itu berjalan lancar, semua pihak harus belajar dari sejarah silam. "Pemilihan kepala konsultan dan anggota kelompoknya sama penting dengan perjalanan proses itu sendiri," katanya. Sumber BRN mengatakan, Akanit memang dikenai sebagai tokoh yang menentang perundingan damai dengan badan itu dan menyatakannya secara terbuka sekitar setahun lalu.

Akanit pernah menyatakan bantahannya terhadap peran Malaysia sebagai fasilitator dalam negosiasi tersebut. "Dia angkuh dan menganggap pejuang pembebasan Patani sebagai Jone khaek (khaek: penumpang) dalam satu forum tertutup di Bangkok baru-baru ini," katanya.

Tambah dari sumber itu, Akanit adalah sahabat Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha dan pernah gagal dalam negosiasi sebelumnya. "Jika Akanit percaya dia bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat dan lengkap seperti negosiasi antara Malaysia dengan Partai Komunis Malaya di Hatyai dua dekade lalu, dia memang salah," Ujarnya.

Rabu, September 03, 2014

BAB VI - Lampiran Foto/Gambar


13 Ogus 2014, Forum: 'Memperingati 60 tahun Kehilangan Tokoh Haji Sulong'. Tamu terhormat dari ahli keluarga Haji Sulong, Aktivis dan para liputan media dan wartawan bebas dari Deep South Watch (Patani). Dilaksanakan pada tanggal 30 Ogus 2014 (Gambar)

Bertempat: di Rumah Kediaman Haji Sulong



Rumah Kediaman Haji Sulong





Selasa, September 02, 2014

BAB IV - KESIMPULAN

BAB IV
KESIMPULAN

            Masyarakat Melayu Patani secara histories, etnis Melayu di Thailand Selatan pada mulanya merupakan sebuah kerajaan tersendiri, yaitu dikenal sebagai kerajaan Patani Darussalam atau Patani Raya. Negeri Patani merupakan sebuah negeri yang sangat subur dan makmur. Di masa kejayaannya, negeri Patani adalah pusat perdagangan internasional yang strategis untuk jalur perdagangan, di mana pedagangan dari Arab, India dan Cina harus melewati jalur tersebut, karena jalur perdagangan itu adalah satu-satunya jalur perdagangan di Patani Timur Semenanjung tanah Melayu yang menghubungkan dengan neger-negeri lain.
            Negeri Patani juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Melayu Semenanjung yang sangat memainkan peranan penting pada abad-abad selanjutnya dengan bukti-bukti yang telah banyak ditemukan di negeri Patani itu. Peradaban dan kebudayaan Melayu dengan Arab sangat erat kaitannya, karena seperti prasasti, alat-alat teknologi, seni bangunan, seperti istana, masjid dengan arsitektur yang megah dan yang amat penting perkembangan agama Islam sangat maju pesat di bumi negeri Patani, hal ini didukung oleh Raja Patani Sultan Ismail Syah yang sadar akan agama Islam serta yang paling penting adalah rakyat Patani yang sangat tertarik, sadar dan semangat  untuk memeluk agama Islam, sehingga masyarakat Melayu Patani identik dengan agama Islam artinya masyarakat Melayu adalah masyarakat Islam Patani.
            Namun masa kejayaan Patani berakhir pada abad ke-18, setelah negeri Patani runtuh dan mengalami kekalahan dengan kerajaan Thai, negeri Patani pada tahun 1785, menjadi wilayah integrasi di Selatan Thailand. Semenjak itu banyak konflik yang terjadi antara rakyat Patani dengan pemerintah Thai. Konflik-konflik tersebut disebabkan karena, Pertama, adanya perbedaan agama, tradisi dan nasionalisme yang sangat jauh berbeda dengan keadaan masyarakat Melayu Patani, yaitu agama berbangsa ke-Melayuan, tradisi, kebudayaan dan nasionalisme telah melekat erat dalam hati rakyat Patani sehingga sulit dan sangat bertentangan sekali dengan kebudayaan dan nasionalisme Thai yang beragama Budha. Selain itu juga menyangkut kesejahteraan antara minority Melahyu Patani dengan majority Thai Budhis yang sangat tidak adil dan selalu menganaktirikan yang minority, khususnya Melayu Patani. dan yang kedua, adanya kebijaksanaan pemerintah Thai yang mendiskriminasikan masyarakat Melayu Patani di Thailand Selatan baik di bidang Ekonomi, Politik, Hukum maupun di bidang Sosial Budaya.
            Tengah-tengah masyarakat Patani sedang mengalami kekonflikan dengan pemerintah Thai, maka dianugrah oleh Ilahi seorang tokoh yang bernama Haji Sulong. Haji Sulong adalah seorang tokoh ulama Patani yang memimpin masyarakat Patani dalam menghadapi dasar kebudayaan Thai Rathaniyum yang diciptakan oleh Perdana Menteri Phibul Songgram, sehingga Haji Sulong terkenal, Haji Sulong dianggap sebagai Bapak Perjuangan Patani. Beliau adalah termasuk golongan ulama yang terlibat dalam politik dan menentang keras terhadap campur tangan pemerintah Thai dalam urusan agama.
            Sebelum Haji Sulong terlibat dalam masalah politik di negaranya, beliau adalah seorang guru pengajar dengan mendirikan sebuah Madrasah Al-Maarif al-Wathoniyah dan sebagai seorang ulama dalam ilmu tafsir dan ilmu Ushuluddin. Namun tidak berjalan lama, Madrasah yang didirikan oleh Haji Sulong tersebut kemudian ditutup oleh pemerintah Thai karena menduga dan berbahaya dan mempunyai maksud untuk mempersiapkan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Thai. Akhirnya selain beliau melaksanakan dakwah Islam juga terlibat dalam masalah politik.
            Dakwah Islam Haji Sulong mengikuti irama politik pemerintah Thai. Ketika pemerintah Thai bersikap lunak, toleran dan terbuka, hal ini dibuktikan langsung dengan adanya rumusan Tuntutan Tujuh Perkara yang melalui perundingan dan beliau bertanggung jawab penuh terhadap yang telah dilakukannya. Namun dalam hal menghadapi pemerintah yang dictator, Haji Sulong juga bias secara ekstrim mengkader generasi muda Patani untuk bangkit menentang pemerintah Thai. Hal ini telah di buktikan pada awal karirnya di Patani dengan mendirikan sekolah sebagai basis kekuatan non komperatif dengan Thai bersama dengan Tengku Mahmud Mahyiddin dan kawan-kawannya mendirikan beberapa lembaga seperti Ha’iah al-Tanfiziah al-Ahkam al-Syari’at, Semangat Patani, GAMPAR, dan beliau dengan kawan-kawannya terlibat langsung didalamnya hingga titik darah penghabisan. Maka beliau dianggap sebagai “Bapak Perjuangan Kemerdekaan Patani Darussalam”.
           

BAB III - PERJUANGAN POLITIK HAJI SULONG

BAB III
PERJUANGAN POLITIK HAJI SULONG

A. Pendirian Wadah - Lembaga
             Tengah-tengah masyarakat Patani sedang mengalami kekonflikan dengan pemerintah kolonial Thai, maka dianugrah oleh Ilahi seorang tokoh yang bernama Haji Sulong. Haji Sulong adalah seorang tokoh ulama Patani yang memimpin masyarakat Patani dalam menghadapi dasar kebudayaan Thai Rathaniyum yang diciptakan oleh Perdana Menteri Phibul Songgram, sehingga Haji Sulong terkenal, Haji Sulong dianggap sebagai Bapak Perjuangan Patani. Beliau adalah termasuk golongan ulama yang terlibat dalam politik dan menentang keras terhadap campur tangan pemerintah penjajah Thai dalam urusan kultural,  Kemalayuan dan agama.
            Sebelum Haji Sulong terlibat dalam masalah politik di negaranya, beliau adalah seorang guru pengajar dengan mendirikan sebuah Madrasah Al-Maafif al-Wathoniyah dan sebagai seorang ulama dalam ilmu tafsir dan ilmu Ushuluddin. Namun tidak berjalan lama, Madrasah yang didirikan oleh Haji Sulong tersebut kemudian ditutup oleh pemerintah Thai karena menduga dan berbahaya dan mempunyai maksud untuk mempersiapkan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Thai. Akhirnya selain beliau melaksanakan dakwah agama juga terlibat dalam masalah politik.

1. Pendirian Sekolah Pesantren
Pesantren yang terdapat di Thailand tertumpu di Selatan Thailand , khususnya Patani, Yala dan Narathiwat. Yang paling banyak di Patani. Disana di sebut Pondok (Pesantran) . Namun Pondok ini berfungsi sebagai insitusi pengajian agama tradisional. Bahawa di Selatan Thailand terutama Patani adalah pusat kegemilangan tamadun Islam dimana disana terletak pusat-pusat pengajian agama terkenal.
Menurut Azyumardi Azra bahwa tradisionalisme pondok Patani mempunyai sejarah panjang. Kaum Melayu Patani mengklaim, pondok merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara, meski sumber-sumber sejarah umumnya menyebutkan, Islam datang dan berkembang di wilayah ini baru pada abad ke-16. Terlepas dari kondisi itu, pondok Patani mengirimkan lulusan terbaiknya ke Haramayn yang kemudian menjadi ulama besar seperti Daud bin Abdullah al-Patani (abad ke-19), Ahmad bin Muhammad Zayn al-Patani, dan Zayn al-Abidin bin Muhammad al-Patani (abad 20).[1] Mereka juga punya pondok sebagai asas untuk memainkan peranan sebagai pendakwah dalam menyebarkan syiar Islam sendiri.
Pada tahun-tahun awal kepulangan Haji Sulong, beliau membangun sebuah Madrasah, Madrasah al-Ma'arif al-Wathoniah. Menurut keterangan yang sempat diperoleh, sekolah ini adalah sekolah agama yang pertama sepertinya pernah didirikan di Patani. Walaupun demikian, masyarakat Patani yang pada waktu itu, malah sampai sekarang pun, yang lebih mengenal institusi "Pondok" sebagai tempat belajar agama, menerima baik penubuhan sekolah ini.[2]
Madrasah ini merupakan sekolah agama pertama di Patani. Struktur organisasi dan disiplin pelajar teratur. Disini pelajar-pelajar diperkenalkan dengan system kelas, sukatan pelajaran dan pelajar pula menjalani latihan berbaris.[3] Para pemerhati beranggap bahwa ada maksud lain bagi Haji Sulong dibalik pembaharuan dalam sistem dan corak pendidikan yang diperkenalkan kepada masyarakat Patani ini. Keadaan ini menjadi lebih dipahami apabila mengingat adanya kalimat al-Wathoniah, yang bermaksud "Kebangsaan" pada papan tanda nama sekolah ini.
Meskipun mendapat sambutan baik daripada masyarakat, tetapi sekolah ini ditakdirkan tidak berusia lama. Setelah berjalan antara 2 hingga 3 tahun, sekolah ini menerima perintah penutupan dari pihak berkuasa kerajaan Thai yang sangat merasa curiga atas sambutan dan perkembangannya.[4]    

2. Pendirian Lembaga Politik
            Tidak lama setelah Phibul menjadi perdana mentri dan melancarkan semboyan Thai Rathaniyumnya, Haji Sulong mendirikan al-Hai'ah al-Tanfiziah li al-Ahkam al-Shar'iyyah (Lembaga Pelaksanaan Hukum Syari'ah) pada tahun 1939. Tujuannya ialah untuk mendidik masyarakat Patani agar memahami hukum agama secara tepat. Hal ini dilakukan sebagai upaya tandingan terhadap kegiatan pemerintah Siam yang ingin men-Siamkan orang Melayu dan menodai kesucian ajaran agamanya; keduanya termasuk dalam agenda Pan Thai atau Thai Raya yang didalangi oleh Phibul. Sebelas orang dilantik untuk menjadi pengurus dalam lembaga ini, diantaranya ialah Haji Mat Pauh, Haji Hasan Mak Enggol, Haji Abd. Majid Embong (Chaok), Tok Guru Bermin dan lain-lain. Sampai sejauh ini belum diketahui sejauh manakah peranan yang telah dimainkan oleh Lembaga ini sehubungan dengan slogan Thai Rathaniyum ini.
            Sudah dipahami bahwa kedatangan Haji Sulong, pada awalnya, tidak ingin terlibat dengan perpolitikan di Patani. Kondisi ketidakadilanlah yang membuat Haji Sulong tidak sanggup untuk berdiam diri; ia pun mulai berpartisipasi dalam bidang politik.
            Pada tahun 1944, Phibul terlibat dalam kepengurusan Hakim Agama (Qadhi) dan membubarkan undang-undang keluarga serta pembagian harta waris (faraidh) Islam. Kemudian Phibul menggantikannya dengan undang-undang sipil kerajaan.[5] Setiap ada masalah yang menyangkut kedua aturan agama tersebut – undang-undang keluarga dan pembagian harta waris – maka akan diputuskan berdasar undang-undang sipil kerajaan.
            Merasa tidak puas dengan keadaan ini, masyarakat Melayu Patani mendirikan Majlis-Majlis Agama Islam di keempat wilayah selatan: Patani, Yala, Narathiwat dan Setun. Di Patani, Haji Sulong terpilih menjadi Ketua, sementara di Yala, yang terpilih sebagai ketua adalah Haji Mustafa Awang, di Narathiwat terpilihlah Haji Daud Mat Diah dan di Setun adalah Haji Abdullah Lang Putih (kemudian Anggota Perlemen Setun dan Menteri Kesehatan Thai).
            Meski tidak diketahui dengan pasti siapa pencetus ide dibalik lahirnya majlis-majlis ini, kehadiran lembaga-lembaga ini diharapkan menjadi penghubung antara rakyat Melayu Patani dengan Bangkok tanpa terikat dengan birokrasi yang rumit dan kepentingan golongan. Dalam keadaan-keadaan tertentu, majlis menjadi wadah bagi orang-orang Melayu Islam Patani– di empat wilayah – untuk menyampaikan suara dan cita-cita kepada kerajaan menyangkut setiap permasalahan umat Melayu Patani.
            Haji Sulong termasuk golongan ulama yang mencurigai keterlibatan kerajaan dalam urusan agama. Ia berpendapat bahwa campur tangan politik dalam soal-soal hukum agama sejak masa Raja Chulalongkorn telah merusak kemurnian dan kesucian Islam. Terlepas dari ada tidaknya kerjasama antara orang Islam dengan kerajaan, Haji Sulong berpendapat bahwa hukum Islam seharusnya diurus oleh lembaga kehakiman Islam tersendiri.
            Pada 14 Februari 1944, Tengku Abd. Jalal bin Tengku Abdul Muttalib – Ahli Parlemen Narathiwat – atas nama masyarakat Melayu, memberikan masukan terhadap pemerintah tentang slogan pemerintah yang dikhawatirkan mengancam kehidupan beragama dan berbudaya masyarakat Melayu. Namun pemerintah tidak menghiraukan masukan tersebut dengan tetap melakukan upaya men-Siamkan masyarakat Melayu Patani.
Phibul Songkram
           
Setelah Phibul jatuh pada bulan Juli 1944, barulah tekanan-tekanan ini – upaya pensiamisasian – sedikit berkurang. Pemerintahan baru Thai (pada Juni 1946) memberikan kesempatan bagi orang Melayu Patani untuk turut mengirimkan wakil di pemerintahan. Pridi dan Kuang Aphiwong merupakan dua orang yang diutus pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Selatan. Hasilnya adalah pengembalian otonomi hukum Islam, seperti sebelum kekuasaan Phibul, diserahkan kepada masyarakat Melayu. Pada saat bersamaan, orang-orang Melayu membentuk sebuah kelompok yang bertujuan untuk mendesak kerajaan agar memenuhi beberapa tuntutan, antara lain penggunaan undang-undang Islam secara lebih meluas dan taraf kedudukan yang lebih baik bagi orang-orang Melayu Patani, sekurang-kurangnya di empat wilayah Selatan.
            Namun, sedikit kelonggaran ini tidak dapat dinikmati dalam waktu yang lama. Pada 8 November 1947, Phibul kembali berkuasa setelah melancarkan satu kudeta yang memaksa Pridi lari keluar negeri. Akibatnya adalah lembaga yang baru saja dibentuk – oleh Pridi – tidak difungsikan. Phibul kembali turut campur dalam urusan agama dan budaya masyarakat Melayu. Pemimpin-pemimpin Melayupun melayangkan permohonan kepada pemerintahan Inggris di London agar tidak mensahkan rezim Phibul dan memohon supaya terlibat lebih dalam tentang kepengurusan masalah Patani.
            Dalam banyak hal Pridi dapat dianggap sebagai Perdana Mentri yang sangat toleran.
Pridi Phanomyong
Hubungan eratnya dengan Chularajamontri (Shaikhul Islam) Haji Shamsuddin telah menyebabkan beliau sangat toleran dalam menangani masalah-masalah orang Melayu di selatan. Kepemimpinan beliau menjadi tumpuan harapan bagi golongan Melayu Patani untuk memperoleh otonomi politik dan budaya dalam sebuah kemaharajaan Budha yang sangat konservatif di dunia. Tidak lama setelah memegang jabatan pada bulan Maret 1946, Pridi membujuk Raja Ananda Mahidol untuk memberikan bantuan dari kas kerajaan demi memajukan kesejahteraan agama dan pendidikan orang Islam.
           

Senin, September 01, 2014

BAB II - MENGENAL LEBIH DEKAT HAJI SULONG

BAB II: MENGENAL LEBIH DEKAT HAJI SULONG

A. Biografi Haji Sulong bin Abdul Kadir
            Patani sebagaimana tercatat dalam sejarah, adalah termasuk di antara negeri-negeri semenanjung Malaysia yang banyak memainkan peranan dalam bidang kegiatan Agamwan dan banyak pula melahirkan ulama-ulama dalam mengarang kitab dari berbagai bidang disiplin ilmu. Umumnya ulama-ulama ini dalam mengarang kitab mengakhiri namanya dengan kata 'Al-Fathoni', ini menunjukan dengan secara jelas bahwa beliau berasal dari Patani. Di antaranya adalah Tuan guru Haji Sulong bin Abdul Kadir Al-Fathoni.
          
 Haji Sulong Al-Fathoni atau Muhammad bin Haji Abdul Kadir bin Muhammad bin Tuan Minal dilahirkan di kampung Anak Ru, Patani pada tahun 1895. Beliau merupakan anak tunggal dari Haji Abdul Kadir dengan istrinya yang pertama, Syarifah (dipanggil Che' Pah). Ibunya meninggal dunia pada tahun 1907 ketika Haji Sulong baru berusia 12 tahun. Gelaran Haji Sulong adalah karena beliau merupakan anak sulung dalam keluarganya.[1]
            Sebagaimana tradisi masyarakat Melayu Patani, kanak-kanak diasuh sejak kecil dengan pelajaran agama. Pendidikan awal yang diterima oleh Haji Sulong ialah pelajaran membaca Al-Qur'an. Gurunya ialah Ayah beliau sendiri, Haji Abdul Kadir. Selain itu tidak banyak yang diketahui tentang Haji Sulong pada masa kecilnya, kecuali sedikit maklumat bahwa beliau adalah seorang kanak-kanak yang banyak humor tetapi cerdas dan pintar.
            Di usia 8 tahun, ayahnya mengirimkan dia untuk belajar agama di pondok Haji Abdul Rashid, kampung Bandar, Sungai Pandan Patani. Pada waktu itu beliau sudah mengenal huruf Jawi (arab melayu) dan bisa membaca Al-Qur'an – dua syarat yang wajib dimiliki seseorang sebelum menjalani pendidikan di pondok.
           
Ketika berusia 12 tahun, beliau meninggalkan tanah air untuk belajar agama di Makkah al-Mukarramah. Oleh karena di Makkah waktu itu terdapat banyak pelajar dari Kelantan (Malaysia) dan Patani, maka kehadiran beliau disana dalam usia masih kecil tidak masalah. Apalagi pada tahun beliau berangakat ke Makkah ini (1907), Tuan Guru Haji Wan Ahmad bin Muhammad Zaid bin Mustafa al-Fathoni seorang tokoh ulama Patani yang sangat terkenal dan bertalian dua pupu dengan beliau, masih ada di Makkah.[2]
            Surin Pitsuwan menjelaskan tentang latar belakang pendidikan Haji Sulong ketika berada di Makkah sebagai berikut:
Seperti kebanyakan ulama di Asia Tenggara, Haji Sulong mula-mula masuk sebuah sekolah menengah Indonesia yang terkenal, yang didirikan bagi pelajar-pelajar yang berbahasa melayu di dekat Ka'bah, di Masjid Haram, yang diberi nama Dar al-Ulam (rumah ilmu pengetahuan). Di sana diberikan pelajaran mengenai ilmu-ilmu tradisional seperti: Tafsir al-Qur'an, Hadits, asas-asas ilmu hukum (ushul al-fiqh), ilmu hukum (fiqh), dan tata bahasa arab (nahwi). Haji Sulong bergabung dengan lingkaran-lingkaran skolastik (halqah) yang berbahasa Melayu di Masjid Haram, di mana dia menjadi seorang lektor yunior mengenai hukum Islam mazhab Syafi'i. Pada tahun 1927, ia berkenalan dengan gagasan-gagasan pembaharu dari Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1905-1925) selama tiga tahun belajar di Mekkah, ketika ia mendapat kesempatan untuk bergaul dengan beberapa ulama dari mesir. Dari pengalamannya di Mekkah dan pergaulannya dengan ulama-ulama lain yang berbahasa melayu yang juga mulai menyadari potensi dan kemungkinan Islam sebagai suatu kekuatan politik, Haji Sulong merupakan suatu keyakinan yang semakin kuat terhadap keterlibatan politik dan aktivitas sosial.[3]
Tidak diketahui dengan jelas siapakah guru-gurunya semasa beliau berada di Makkah. Dari beberapa literatur mengatakan bahwa kebanyakan guru-guru beliau adalah orang-orang Arab, termasuk Mesir.
            Haji Sulong mulai mendirikan rumah tangga dengan Cik Sofiah binti Omar. Setahun saja berumah tangga, istrinya meninggal dunia sebelum sempat mendapat cahaya mata (anak). Dua tahun kemudian, Haji Sulong menikah lagi dengan Hajah Khadijah binti Haji Ibrahim, Mufti Kelantan. Haji Sulong terkenal alim dalam bahasa arab dan menguasai sastra arab di mana kebolehannya diakui oleh orang-orang yang ahli di kalangan masyarakat arab sendiri. Haji Sulong menimba ilmu di Makkah selama 20 tahun.
            Pada tahun 1924, Haji Sulong pulang ke tanah airnya dengan rencana menetap selama dua tahun untuk menghibur hati istrinya yang amat sedih atas kehilangan anak pertamanya yang bernama Mahmud yang meninggal dunia dalam usia dua tahun.[4]
Pada mulanya Haji Sulong tidak bermaksud melibatkan diri ke dalam perjuangan rakyat Patani, namun kecerdasan beliau dalam beberapa pertumbuhan keagamaan dan kebijakan, sedikit demi sedikit membuat beliau sadar akan kondisi rakyat dan keadaan negeri Patani yang memprihatinkan.
Kegiatan awal Haji Sulong mendirikan sekolah dengan corak baru. Beliau adalah orang pertama yang merubah sistem pondok menjadi sistem sekolah dimana kurikulum pelajaran menjadi teratur. Sekolah itu diresmikan pada akhir tahun 1933 oleh Perdana Menteri Thai dengan nama Madrasah al-Maarif al-Wataniyah Fatani.
Selain mendirikan sekolah, Haji Sulong pun terlibat aktif dalam percaturan politik setempat dimana ia bertindak sebagai “penghubung” antara comunity Melayu dan pejabat-pejabat Thai. Ia menyadari perannya sebagai pengajar yang menarik murid-murid dari seluruh pelosok wilayah melayu.
Meski memiliki hubungan erat dengan pejabat tinggi pemerintah di propinsi dan disegani oleh mereka, Haji Sulong tidak ingin terlibat dalam upaya pengkodifikasian dan penterjemahan hukum Islam. Ia berpendapat bahwa bidang tersebut harus sepenuhnya berada di bawah yurisdiksi orang muslim sendiri.
Di tahun 1945, Haji Sulong menjabat sebagai ketua Majlis Agama Islam Patani. Ketika kepemimpinannya, ia bersikap demokratis dengan mengizinkan seluruh anggota majlis yang berjumlah 15 orang untuk saling kritik dan menegur.
Semasa di Majlis Agama Islam Patani ia dihadapkan dengan kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan umat Islam. Korupsi dan pemerasan yang dilakukan secara leluasa oleh pejabat-pejabat pemerintah adalah hal yang sering ia tangani. Karena kekesalannya akan ketidak adilan yang dialami rakyat Patani ia pernah berkata, “tak seorang pun yang masih punya rasa kemanusiaan akan bertoleransi terhadap perlakuan yang begitu kejam dari pejabat-pejabat pemerintah”.

BAB I - PENDAHULUAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Untuk sebagian orang, PATANI (wilayah Thailand bagian Selatan) mungkin hanya sebuah kenangan Negeri Melayu. Orang-orang yang memperhatikan peta Asia Tenggara sekarang akan mengetahui bahwa sebuah kerajaan Melayu yang dulu berjaya kini telah hilang dan tinggal kenangan.
Dari sekian banyak kerajaan Melaayu di Asia Tenggara pada abad ke 14-17 M, Patani adalah salah satu kerajaan yang sangat maju karena letaknya yang sangat strategis antara jalur perdagangan Cina dan India. Kemasyhuran dan kebesaran itu mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan para Ratu.[1]
Hanya saja, kemegahan sebuah kerajaan tidak pernah lepas dari ancaman penjajah, hal ini pun dialami Patani. Kerajaan Siam-Thai yang berasal dari wilayah utara mulai masuk dan menguasai sistem pemerintahan, Kesultanan Melayu Patani yang awalnya bebas independent, berubah menjadi negara bagian atau di bawah pemerintahan kolonial. Patani yang awalnya merupakan wilayah dengan majority penduduk berbansa Melayu yang beragama Islam berbalik menjadi minority dalam kekuasaan Siam-Thai yang penduduknya sebagian besar berbagsa Siam dan beragama Budha.[2]
Comunity melayu Patani mulai terpisah dari kesatuan dunia melayu Asia Tenggara dan membentuk sebuah minority etnis keagamaan dalam kekuasaan kolonial Muang Thai. Ketika kaum melayu dipandang sebagai "masalah" oleh pemerintah Thai (Siam), orang-orang melayu yang berada di Malaysia justru memandang mereka sebagai "saudara yang terjajah". Meski jumlah penduduk melayu Patani minority – di Muangthai –  namun tetap menjadi majority di empat propinsi Muang Thai yang berada di bagian selatan.[3]
Perubahan yang paling dirasakan oleh Comunity Melayu Patani dalam periode siamisasi[4] dan asimilasi budaya ialah mereka harus menjalankan hidup dan tradisi dengan gaya yang biasa diterapkan masyarakat Thai di bagian utara yang sangat tidak sesuai dengan adat istiadat Melayu apa lagi dengan ajaran pengangan agama. Dalam hal pakaian misalnya, pakaian yang dikenakan oleh orang Thai adalah pakaian yang tidak menutup aurat, seperti pakaian laki-laki yang berupa celana pendek dan pakaian perempuan yang harus menanggalkan jilbab serta tidak longgar dalam arti cukup ketat.
Keadaan inilah yang sampai sekarang masih terus berlanjut. Meskipun pemerintahan Thai mengakui bahwa minority di selatan beridentity Melayu – tepatnya etnis melayu –, tetapi kebijakan kultural yang ditetapkan pemerintah mengharuskan mereka – etnis melayu – mengubah orientasinya pada kebudayaan Thai. Misalnya dengan peletakan patung-patung Budha di masjid dan sekolah serta keharusan menggunakan bahasa Thai diikuti pelarangan pemakaian bahasa Melayu di lembaga pemerintah seperti kantor dan sekolah.
Masyarakat Melayu Patani merasa tidak senang dan tertekan dengan pembauran yang dilakukan majority Thai. Tidak adanya perhatian terhadap perasaan kebangsaan (Melayu) dan keagamaan penduduk, membuat penderitaan itu semakin bertambah. Pemerintah mensiamkan sekolah-sekolah Melayu dengan memasukkan kurikulum yang mengacu pada agama Budha atau malah menggantikan status sekolah Melayu muslim menjadi sekolah Thai. Pemerintah juga mencoba menghilangkan pengaruh bahasa melayu di kalangan penduduk Patani, tidak peduli terhadap perayaan hari besar Islam, menganiaya, menahan, dan kadang-kadang membunuh para pemimpin agama dan politik yang berasal dari etnis melayu. Antara tahun 1973 sampai 1975, sekitar lima ratus melayu Patani di wilayah selatan dibunuh oleh pemerintah, dan terakhir, pemerintah memaksa umat Melayu untuk mengambil nama Thai yang non-Muslim, demi menipiskan identity kemelayuan mereka.

HAJI SULONG TOKOH PERJUANGAN POLITIK DI PATANI (1947-1954)

HAJI SULONG:
TOKOH PERJUANGAN POLITIK DI PATANI  
(Thailand Selatan) TAHUN 1947-1954

kupersembahkan tulisan ini sempena:
13 Ogus 2014, "Memperingati 60 tahun Kehilangan Tokoh Haji Sulong"


monumen bapak pembela bangsa 
"kamu adalah bapak pembela hak keadilan, kamu adalahbapak pembela hak kebebasan bangsa Melayu Patani"

(menunjukkan bahwa bangsa ini telah kehilangan seorang tokoh - eksekusi tanpa pengadilan. tak tercatat)

--------------------------------------------------------