Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Minggu, Juni 30, 2013

Bom Menghantam Truk Militer, 8 Tentara Tewas

Gerilyawan Pembebasan Patani di bagian selatan Thailand membunuh delapan tentara dalam serangan bom pinggir jalan Sabtu (29/06), beberapa hari setelah pemerintah menolak tuntutan bagi gencatan senjata untuk menghormati bulan suci Ramadhan yang mulai bulan depan.

Provinsi Yala, Pattani dan Narathiwatdi di bagian selatan negeri itu berpenduduk majoritay etnis Melayu. Banyak gerilyawan dari wilayah itu menentang kekuasaan pemerintah pusat selama beberapa dekade dan kekerasan kembali merebak pada tahun 2004.

Seperti dilansir Reuter, Sabtu (29/6/2013) bom seberat 60 kg itu meledak ketika tentara dengan satu truk militer melintasi jalan satu desa Beho, Krongpinang di provinsi Yala, kata polis. Dua orang tentara lagi menderita cedera dan dua penduduk desa yang mengendarai sepeda motor di belakang truk itu juga luka-luka ringan, kata polis.

Pembicaraan perdamaian dengan gerilyawan Pembebasan Patani awal tahun ini tak berhasil menghentikan kekerasan di kawasan selatan tempat lebih 5.300 orang meninggal sejak Januari 2004.

Pekan ini Barisan Revolusi Nasional (BRN), salah satu kelompok gerilyawan yang beroperasi di bagian Selatan Thailand dan peserta dalam pembicaraan tersebut, mengusulkan gencatan senjata selama Ramadhan, yang mulai pada sekitar 10 Juli.

Mereka juga menuntut pembebasan semua tahanan di Selatan dan diterimanya Malaysia sebagai mediator. Pemerintah menolak tuntutan tersebut.

Tiga provinsi yang didominasi warga etnis Melayu merupakan bagian dari kesultanan Melayu Patani hingga dicaplok oleh kolonial Siam-Thailand pada 1909







Sebelum ini, sebuah bom menghantam truk rombongan militer kolonial Thailand yang melukai tiga prajurit, pada Ahad (23/06/) pagi, pada Provinsi yang sama.

Lima kilogram bom menghancurkan truk pick-up yang membawa prajurit paramiliter itu. Tiga petugas lainnya terluka.

Bom itu ditempatkan dalam alat pemadam kebakaran kecil dan diledakkan dengan remote control. Alat pemadam kebakaran berisi bom itu disembunyikan di satu tiang listrik di jalur lalu lintas pulau di ibu kota Provinsi Yala.

Sabtu, Juni 29, 2013

The Persecution of the Malay Patani

The oppression and violence to which Malay Muslims in Patani, an autonomous region affiliated to Thailand, are subjected is little known to the world public. But this terrible persecution in these fertile and wealthy lands in Southeast Asia has been going on for some 200 years.

The persecution of the Malay Patani Muslims began with the Rama dynasty that took over the Pattani administration in 1782. This dynasty made Bangkok the capital and established a centralized administration. It was then that the conflict between the Malay Patani  and the local people known as the Siamese broke out. Many Patani towns were burned down and ruined during the conflict, many military defensive positions were destroyed and some 4000 Malay Patani Muslims were taken captive by the Siamese.

Patani towns were burned down and ruined during the conflict

The Siamese inflicted terrible tortures on the Malay Muslims they took captive. They sewed their ears and legs together with a strong cord made of a kind of hemp. The Muslims they brought to Bangkok under that ghastly torture were put to work as slaves digging ditches with no tools or equipment. The sultan of Patani was savagely killed by the Siamese at the end of the fighting. After the war, Patani was divided into 7 regions by Thailand and forced to pay taxes and spent the next 70 years under total Siamese rule.

The Muslims they brought to Bangkok

In 1909, the Siamese gave Patani a kind of nominal independence, but the oppression by the Thai administration continued at the same pace as before. The Malay Patani rose up time and time again for full independence, but were savagely put down every time. There was a huge increase in migration to Malaysia at that time.

The Thai administration followed a policy of pressure and assimilation aimed at destroying the Malay identity of the Patani people. The first measure was to completely ban the activities of Muslim educational institutions in 1932. In 1944, a wide-ranging campaign of annihilation was initiated, with the leaders of the Patani Muslims and their families being savagely slaughtered by Buddhists. It was forbidden to obey Islamic laws or engage in Islamic worship, while Buddhist beliefs were also imposed on the people. Buddhism was forcibly taught in schools, and Muslim students were even forced to act according to Buddhist teachings.

Muslim students were even forced to act according to Buddhist teachings

The Thai administration also perpetrated terrible mass killings of Malay Muslims at various times. In 1944, 125 Muslim families were burned alive in the Belukar Samak region alone. The Thai administration’s policies of assimilation manifested themselves in all spheres of life. Many mosques in Patani were torn down.

125 Muslim families were burned alive in the Belukar Samak region alone

Eminent Muslim scholars were martyred for suspicious reasons in health institutions established by the Thai regime and unsolved killings and disappearances became part of the Malay Patani people’s daily lives.


Sabtu, Juni 15, 2013

Forum Bicara Patani: Mahasiswa dan Masyarakat Melayu di Selatan Thailand Diskusikan Masa Depan

"Tak ada jaminan setelah pembicaraan itu kita tak akan di-blacklist. Seseorang bisa jadi mata-mata dan melaporkan apapun yang kami lakukan dan bicarakan, tetapi kebutuhan kami untuk berbicara telah mengatasi ketakutan kami "  (Aktivis mahasiswa di Pattani)

Ditengah harapan yang tinggi terhadap perdamaian setelah puluhan tahun perang, Mahasiswa dan Masyarakat Melayu di Thailand Selatan tengah berdiskusi untuk masa depan tanah air mereka, meskipun ada kekhawatiran bahwa mereka akan masuk daftar hitam karena ide-ide yang mereka ungkapkan.

"Tak ada jaminan setelah pembicaraan itu kita tak akan di-blacklist. Seseorang bisa jadi mata-mata dan melaporkan apapun yang kami lakukan dan bicarakan, tetapi kebutuhan kami untuk berbicara telah mengatasi ketakutan kami " kata seorang aktivis mahasiswa di Pattani.

Sebuah kelompok mahasiswa Melayu Selatan Thailand telah berkumpul untuk mendiskusikan masa depan mereka.

Pertemuan itu terjadi beberapa bulan setelah pemerintah menandatangani kesepakatan dengan kelompok Barisan Revolusi Nasional (BRN) pada bulan 28 Februari yang mengadakan pembicaraan untuk membangun perdamaian di Thailand selatan.

Pejabat Thailand telah mengagendakan duduk pada bulan Juni untuk putaran ketiga pembicaraan dengan BRN baru ini, mencoba menyelesaikan konflik internal yang paling mematikan di Asia Tenggara tersebut. Beberapa rincian telah muncul dari dua putaran awal pembicaraan damai yang ditengahi oleh  Malaysia, antara pemerintah dan BRN tersebut.

Namun kesepakatan telah menimbulkan harapan tinggi di kalangan umat Melayu Islam di Selatan untuk mengekspresikan ide-ide bagi masa depan mereka, sebuah praktek yang  dipandang sebagai tabu atau anti pemerintah di masa lalu.

Mereka telah membuka diskusi dalam pertemuan dan media sosial, memicu perdebatan tentang aspirasi politik di wilayah mereka.

Namun mereka pesimistis pembicaraan akan membuahkan hasil yang memuaskan. Otonomi yang diperluas, menurut sekelompok  mahasiswa di Pattani, 'haram' dibicarakan dalam dialog itu.

Konstitusi Thailand menetapkan bahwa wilayah negara tidak dapat dibagi dan berbicara pejuang Patani sama saja dengan pengkhianatan.

"Warga berharap kekerasan menurun ketika pembicaraan dimulai. Itu tidak terjadi, jadi sekarang mereka mencoba untuk lebih memahami proses perdamaian ini," kata Pongsak Yingcharoen, walikota kota Yala.

Barisan Revolusi Nasional (BRN)  adalah salah satu dari beberapa kelompok yang berjuang untuk membebaskan diri dari penjajah kolonial Thailand. Mereka juga menyerukan Melayu menjadi bahasa resmi dan menggantikan kurikulum sekolah yang Buddhis-sentris.

Melayu Muslim di provinsi Selatan Thailand merasa kesal di bawah kekuasaan penjajahan Bangkok selama bertahun-tahun. Mereka meyakini, Thailand mencaplok wilayah yang sebelumnya merupakan Kesultanan Melayu Patani abad yang lalu itu.

Selama bertahun-tahun, pemerintah kolonial Thailand berusaha untuk menanamkan rasa nasionalisme yang kuat dalam populasi berbahasa Melayu. Lagu kebangsaan Siam disiarkan dengan pengeras suara di pagi hari dan petang hari.

Banyak warga Melayu mengatakan kebijakan asimilasi pemerintah yang keras telah menyebabkan penindasan agama, bahasa, dan budaya. 

Namun beberapa pengamat mengatakan perubahan sedang berlangsung dan menemukan momentum sejak pembicaraan dimulai. Grafiti hujatan di beberapa sudut kota telah dihapus.

"Untuk waktu yang lama, kepentingan negara Thailand adalah untuk mengkonsolidasikan kontrol di perbatasan," kata Thomas Park, direktur regional untuk konflik dan pemerintahan di Asia Foundation, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di AS, pada Reuters.

Otonomi dulu adalah kata yang buruk, tapi sekarang ada diskusi terbuka tentang hak menentukan nasib sendiri.




Srisompob Jitpiromsri dari lembaga think tank Deep South Watch mengatakan ia juga melihat perubahan sikap pemerintah. "Pola pikir banyak pembuat kebijakan yang berbeda, mereka telah menjadi lebih menerima tuntutan dari penduduk setempat," kata Srisompob.

Walikota Yala, Pongsak Yingcharoen, mengatakan pembicaraan ini mengangkat harapan, jadi sekarang mereka mencoba untuk lebih memahami proses perdamaian ini," kata Pongsak.

Rabu, Juni 12, 2013

Perpanjang Keadaan Darurat di PATANI Selatan Thailand

Pemerintah Thailand memperpanjang keadaan darurat di kawasan Selatan negeri itu. Perpanjangan tersebut berlaku sejak Kamis (20/6/2013) sampai dengan tiga bulan ke depan. Sementara pemerintah dan Pejuang Kebebasan Patani masih melakukan negosiasi perdamaian.


Kekerasan dalam catatan otoritas Thailand masih acap terjadi di tiga provinsi di selatan, yakni Pattani, Narathiwat, dan Yala. "Perpanjangan keadaan darurat untuk ketiga provinsi ini," kata Deputi Juru Bicara Pemerintah Pakdiharn Himathongkham.  

Sementara Pemerintah Thailand juga menerima perpanjangan pemberlakukan Peraturan Keamanan Internal (ISA) di Provinsi Songkhla pada distrik Nathawi, Sabayoi, Thepha, dan Chana. Pemberlakuan ISA juga mendapatkan perpanjangan di Provinsi Pattani di distrik Mae Lan.

Pada Senin dini hari, seorang aparat keamanan tewas dan satu lagi terluka di Pattani. Mereka menjadi korban bom pinggir jalan.

Sejak 2004, ratusan orang tewas atau terluka dalam konflik bersenjata antar pemerintah kolonial Siam-Thailand dan Pejuang Kebebasan Patani. Pemerintah Malaysia, sementara itu, menjadi fasilitator untuk dialog antara Pemerintah Thailand dan Barisan Revolusi Nasional (BRN). Pejuang Patani ini adalah satu dari sekian banyak gerakan yang angkat senjata melawan Pemerintah kolonial Siam-Thailand.

Kendati demikian, dalam dua sesi dialog damai, belum ada kata sepakat berarti. Putaran ketiga dialog bakal dihelat pada Kamis (13/6/2013).

Sebenarnya Melayu Muslim di Selatan Thailand hidup berdampingan secara damai dengan warga beragama lain. Ada orang Budha, China, dan Kristen di bahgian provinsi Selatan yang mendapatkan hak sama sebagaimana warga, walaupun etnis Melayu di sini minority yang majority masyarakat Thailand adalah Budha, yaitu sekitar 90 persen.

Namun berbeda dengan kondisi PATANI di Selatan Thailand yang 85 persennya warga etnis Melayu, acapkali situasinya memanas oleh tindakan militer kolonial Thailand.

Senin, Juni 03, 2013

Sri Sultan Hamengku Buwono X: Konflik Thailand Selatan Perlu Dialog, Pemimpin Adil

Saya mengerti dan mendengar persoalan di Selatan Thailand. Saya miliki kepercayaan bahwa pemimpin Thailand juga beragama. Pemimpin harus memiliki rasa keadilan, Rasa aman dan nyaman bukan hanya aspek penegakan hukum, tapi agar warga masyarakat nuraninya merasa nyaman, (Sri Sultan Hamengku Buwono X).

Gubenur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan persoalan konflik di wilayah Thailand Selatan dapat diselesaikan dengan upaya dialog yang didukung oleh pemimpin yang adil.

Hal itu disampaikan Sultan di sela menjamu makan malam delegasi Thailand Selatan, Kamis malam 30 Mei 2013, yang berkunjung ke Yogyakarta untuk mempelajari sistem pendidikan dan kepemimpinan untuk dapat diterapkan di negaranya.

“Untuk melakukan dialog memang memerlukan waktu yang panjang. Hal itu lebih baik dari pada kita tidak pernah berani mengupayakannya sehingga menjadikan orang menjadi korban,” katanya.

Sri Sultan dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Menteri Agama Suryadharma Ali tersebut juga memberikan nasihat bahwa pemimpin tidak boleh membedakan asal-usul dan agama rakyatnya.

Pemimpin, katanya, justru memiliki visi untuk menjaga kerukunan antarumat beragama di daerahnya. “Saya mengerti dan mendengar persoalan di Selatan Thailand. Saya miliki kepercayaan bahwa pemimpin Thailand juga beragama. Pemimpin harus memiliki rasa keadilan,” katanya.

Ia juga mengemukakan bahwa dirinya sebagai pemimpin Keraton Yogyakarta yang beragama Islam, namun tetap memiliki tugas untuk membangun kebersamaan antar umat agama. “Memang itu bukan tugas yang mudah, namun tetap harus menjadi kewajiban seorang pemimpin,” katanya.

Selain itu, kata Sultan, menjadi pemimpin juga harus menjamin keamanan rakyatnya, baik secara hukum maupun nurani. “Rasa aman dan nyaman bukan hanya aspek penegakan hukum, tapi agar warga masyarakat nuraninya merasa nyaman,” katanya.

Sementara itu, Deputi Sekjen Pusat Pemerintahan Provinsi Perbatasan Thailand Selatan (The Southern Border Province Administrative Centre/SBPAC), Lertkiat Wongpotipun mengaku kagum dengan Indonesia yang memiliki berbagai macam budaya, bahasa dan agama namun dapat hidup berdampingan dengan baik.

"Kedatangan kami ke Indonesia khususnya di Yogyakarta adalah untuk mencari jalan keluar konflik yang ada di Thailand Selatan. Kami akan menyampaikan semua masukan dari Sultan kepada perdana menteri kami," katanya.

Sebelumnya Delegasi Thailand Selatan yang terdiri atas pemerintah, tokoh masyarakat serta warga provinsi Pattani, Songkhla, Yala, Narathiwat dan Satun telah mengunjungi Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta serta Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak.

Kunjungan tersebut telah dijadwalkan oleh Kementerian Agama RI sebagai wujud kerjasama dengan pemerintah Thailand Selatan. Hal itu dilakukan untuk mencari jalan keluar konflik yang berlangsung di wilayah Thailand Selatan