Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Selasa, Oktober 03, 2017

Suhu POLITIK Ujung Selatan Thai Memanas


"Jika Kau datang untuk menolongku, kau buang-buang waktu saja. Tetapi jika kau datang karena kebebasanmu terikat dengan kebebasanku, maka mari kita bekerja bersama". Lila Watson
Konflik di Thailand Selatan masih terus berlanjut, sulit untuk melihat bagaimana inisiatif yang akan mengubah pandangan pemerintah. Dua tentara Thailand tewas, dan 20 lainnya luka-luka akibat serangan bom dari kelompok pemberontak di wilayah selatan negeri itu, Kamis (14/9/2017).

Serangan ini terjadi saat junta Thailand mengadakan pembicaraan dengan kelompok MARA (Majlis Amanah Rakyat) Patani di Kuala Lumpur pada 12 September lepas, MARA selalu mengaku kelompaknya mewakili pemberontak yang ingin mendirikan 'zona keamanan' di selatan. "Zona keamanan" itu merupakan bentuk gencatan senjata terbatas dalam konflik yang telah bergulir sejak tahun 2004.

Namun, para pengamat mengatakan, faksi utama dengan komando dan kontrol atas pemberontak tidak terlibat pembicaraan dengan pemimpin militer Thailand dalam MARA Patani. (lihat di: http://dangerofpatani.blogspot.my/2017/06/pemerintah-kudeta-thailand-tolak.html).

Lagi sebuah bom meledak di lokasi pembangunan jalan di Pattani daerah Saiburi pada Jumat (22/9). Ledakan menewaskan enam tentara dan melukai yang lain. Insiden itu menyusul peristiwa serupa di pinggiran jalan Yaha, kota Yala pada pekan lalu (14/9). Saat itu, dua tentara tewas dan 20 lainnya menderita luka-luka.

Berlakunya bom membunuh enam tentara Thailand di daerah Saiburi itu, berita local mengatakan setelah didapati kerajaan Siam-Thailand dan MARA yang akan bersetuju menentukan berhubung pelaksanaan zon selamat di daerah Saiburi wilayah Pattani.

PATANI di Selatan Thailand dengan pendudukan mayoritas etnik Melayu yang berbatasan dengan Malaysia itu telah lama diguncang kekerasan dan pemberontakan. Lebih dari satu dekade pemberontak melancarkan perlawanan terhadap kerajaan Siam-Thailand.

Sebuah wawancara khusus untuk BBC Thai bersama Angkatan Bersenjata Revolusioner Nasional – BRN (Lihat di: http://www.bbc.com/thai/thailand-41434654?ocid=socialflow_facebook ) yang merupakan gerakan berpengaruh dalam konflik berdarah selama 13 tahun di Thailand selatan- menyatakan,

Kerusuhan di Patani disebabkan oleh konflik politik, bukan karena konflik ekonomi atau teroris. Jika anda (Kerajaan Siam-Thailand) ingin memecahkan masalah politik, anda harus melakukan hal politik. "Kata juru bicara BRN.

" ia kerajaan Siam-Thailand berusaha mengirim pasukan dan senjata ke wilayah Patani selama 13 tahun, , namun juga ia (pemerintah Thailand) tidak dapat penyelesaian masalah yang berlaku, kita perlu berkomunikasi melalui proses rundinagn.  Jika kerajaan Siam-Thailand masih berusaha pendekatan dengan strategi kekuatan milter, konflik ini tidak ada akan berakhir."

Selama sepuluh tahun terakhir ini, pemerintah telah menghabiskan ratusan miliar baht termasuk anggaran militer. Pembangunan ekonomi dan pendidikan sampai ke daerah. Tapi kerusuhan itu tetap masih ada. Lebih dari 6.800 orang tewas  dalam rangkaian konflik berkepanjangan itu.

Rungrawee berpendapat bahwa  sebenarnya usul awal persyaratan BRN untuk pengamat asing untuk pembicaraan damai itu merupakan bagian penting dalam membantu kesuksesan menangani konflik yang berterusan. (Lihat di: https://dangerofpatani.blogspot.my/2017/04/surat-brn-pasca-bom-dan-proses-menuju_11.html).

"Apa yang ada saat ini adalah stasis yang menyakitkan yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Berbicara damai juga tidak bisa berjalan, demikian juga pemerintah tidak berhasil ditekan dengan guna ketenteraan”, ujar lanjut Rungrawee, kandidat PhD di Australian National University Coral Bell Sekolah Urusan Asia Pasifik, sebagai seorang analis untuk International Crisis Group.

Tambah Juru bicara BRN mengatakan bahwa negosiasi dengan kelompok MARA Patani, BRN tidak terlibat, ini hanya saja "cosmetic” atau "kulit".

"Pemerintah Thailand tahu bahwa negosiasi tersebut tidak dapat dinegosiasikan dengan wakil yang tepat dan benar, namun negosiasi itu hanya digunakan sebagai topeng untuk mengatakan bahwa ia (kerajaan Siam-Thailand) ingin melihat kedamaian ..." komentar pengamat analis Anthony Davis dari Grup IHS-Jane di Thailand berbicara dengan BBC Thailand.

Wilayah selatan Thailand menjadi saksi bisu bentrokan selama lebih dari satu decade antara pasukan militer Thailand dan Pejuang Pembebasan Melayu Patani. Suara bom dan tembakan menjadi realitas sehari-hari bagi warga sipil di wilayah yang dijaga ketat oleh tentara dan polisi itu.


Sebelum dicaplok pada 1909 silam, tiga provinsi paling selatan Thailand seperti Pattani, Yala, dan Narathiwat dan sebahgian daerah Songkla merupakan bagian dari kesultanan Melayu PATANI yang independen.



Minggu, Juni 04, 2017

Pemerintah Kudeta Thailand Tolak Rundingan Damai , Tegas BRN-Wakili MARA Bukan Mandat


Wilayah Thailand selatan telah menjadi sarang kekerasan mematikan selama lebih dari satu dekade sejak kelompok pejuang Pembebasan Patanii mengobarkan perlawanan melawan pemerintah  colonial Kerajaan Thailand.

Pada pekan lepas, Penguasa Kudeta Thailand Prayuth Chan-ocha menolak tawaran syarat dari kelompok utama pejuang di PATANI-Selatan Thai untuk menggelar pembicaraan resmi perdamaian. Barisan Revolusi Nasional (BRN) menyatakan akan bersedia memasuki perundingan resmi yang berkoflik puluhan tahun itu jika syarat tertentu dipenuhi pemerintah Thailand. BRN menuntut perundingan harus didasarkan pada persetujuan dari kedua belah pihak yang harus mengadakan dari pihak ketiga dan penyaksian dari peserta internasional. Mediator dalam perundingan harus netral, tidak ada kepentingan dalam konflik  sesuai dengan langkah-langkah yang ditetapkan, dan proses perundingan harus dirancang bersama-sama antara kedua konflik sebelum perundingan dimulai. Lihat di: Surat BRN, Pasca Bom dan Proses Menuju Damai Patani, http://dangerofpatani.blogspot.my/2017/04/surat-brn-pasca-bom-dan-proses-menuju_11.html.

Barisan Revolusi Nasional, BRN -yang merupakan kelompok berpengaruh dalam konflik berdarah selama 13 tahun di Thailand selatan- menyatakan siap berunding langsung dengan pemerintah pusat Bangkok.

Sementara itu Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menolak tawaran itu dan menyatakan pembicaraan perdamaian adalah masalah dalam negeri dan tidak memerlukan penengahan atau pengamatan asing. "Mengapa mereka perlu menengahi? Tidak dapatkah kita menyelesaikan masalah kita? Jika mereka datang, apa jaminan bahwa mereka akan memahami masalahnya?" kata Prayuth.
Prayuth menyatakan perundingan akan berlanjut di Malaysia dengan kelompok berbeda, Mara Patani [1] , namun pakar kawasan mengatakan bahwa unsur pemberontak sebagian besar terasingkan tidak memiliki kekuatan nyata di lapangan.

Demikian Ketua Tim Perunding Thailand, Aksara Kerdphol, menegaskan kepada Nopporn Wong-Anan, Editor BBC Thailand, bahwa sudah ada perwakilan BRN dalam perundingan yang ditengahi pemerintah Malaysia yaitu di MARA Patani. Bagaimana mungkin mereka mengatakan itu bukan perwakilan yang sebenarnya, kata Kerdphol kepada BBC Thailand.

Pejuang  Melayu BRN Patani telah secara rutin melakukan serangan untuk membubarkan kesepakatan antara tentara kerajaa Thailand dan Mara Patani, kelompok yang mengklaim mewakili jaringan gerilyawan di meja perundingan.

Don Pathan, Pengamat lokal di Thailand Selatan 
Pengamat lokal di Thailand selatan, Don Pathan mengingatkan, pembicaraan damai itu akan menghadapi masalah jilka tidak melibatkan faksi Barisan Revolusi Nasional (BRN) Melayu, Patani, yang terlibat pemberontakan aktif di lapangan.

Kata Don Pathan, "Saya tak melihat kesepakatan ini merupakan sebuah terobosan besar,  dan Mara Patani tak memiliki kekuatan untuk memerintah dan mengendalikan kelompok-kelompok pemberontak di lapangan," tambah Pathan, peneliti yang memahami kondisi di wilayah tersebut.

Konflik di wilayah berpenduduk sebagian besar suku Melayu di provinsi Selatan -Yala, Pattani dan Narathiwat- menewaskan lebih dari 6.500 orang sejak meningkat pada 2004, kata kelompok pemantau mandiri Deep South Watch.

"Dalam jangka panjang, jika pemerintah menginginkan perdamaian abadi di wilayah itu, mereka harus menyertakan BRN dalam setiap perundingan," kata Srisompop Jitpiromsri, direktur Deep South Watch.

Srisompop Jitpiromsri, Direktur Deep South Watch.
Bagaimanapun Wakil Rektor University Fatoni di Patani, Dr Ahmad Omar, berpendapat secara organisasi BRN memang tidak bisa dikatakan terlibat dalam perundingan Mara  yang ditengahi pemerintah Malaysia.
Yang disebut sebagai perwakilan BRN, tambah Dr Ahmad Omar, lebih merupakan individu-individu padahal partisipasi resmi BRN dianggap penting dalam proses perundingan untuk mewujudkan perdamaian di Thailand selatan. Secara umumnya (perundingan Mara Patani) tidak membuahkan hasil yang baik. Hanya sedikit saja.

"Karena BRN merupakan suatu gerakan yang mempunyai militer di lapangan. Untuk menyelesaikan keamanan, penting dengan BRN," tutur Dr Ahmad Omar.

Saat ini sedang berjalan proses perundingan yang ditengahi oleh pemerintah Malaysia setelah terhentinya perundingan sebelumnya karena kudeta politik di Bangkok tahun 2014 lalu. Akan tetapi BRN mengganggap perundingan sebelumnya tidak pernah dinyatakan berhenti secara resmi dan menolak perundingan yang ditengahi pemerintah Malaysia tersebut.
Tahun 2014 berlaku kudeta di Bangkok dan ada pergantian pemerintah. BRN melihat bahwa hal itu sebagai faktor penting dalam menggagalkan proses namun tidak berarti memerlukan proses baru. Secara azas[2] BRN melihat proses itu belum tamat, karena belum ada pihak-pihak yang menyatakan proses itu sudah tamat jadi kenapa perlu proses baru. Bagi BRN penciptaan proses yang baru setelah tahun 2013 itu adalah menyalahi dasar yang sudah disetujui sebelumnya. Kesediaan untuk kembali ke meja perundingan merupakan yang pertama kali BRN ungkapkan setelah perundingan tahun 2013 lalu yang gagal karena kudeta militer setahun kemudian.

"Yang dinaikkan ke atas meja bukan BRN lagi tapi Mara Patani. Pada awalnya perundingan adalah antara kerajaan Thailand dan BRN, jadi prosesnya belum selesai tapi kenapa menciptakan satu proses yang baru?" tegas Abdul Karim dari Departemen Informasi BRN.

Pendirian Damai BRN
Jika pemerintah kudeta Thailand menolak proses perundingan damai, itu berarti pemeritahan Thailand kembali ke jalur lama yang menggunakan kekerasan. Selama ini BRN juga menggunakan perjuangan bersenjata untuk mencapai kebebasan dari wilayah yang dulu masuk dalam kedaulatan Kerajaan Melayu Patani di Thailand Selatan, namun tidak pernah menutup penyelesaian politik.

Perjuangan bersenjata itu ditempuh karena peluang politik yang tertutup sehingga BRN tidak punya cara selain menggunakan pendekatan bersenjata. Maksudnya BRN menyadari dengan cara bersenjata tidak membawa penyelesaian, oleh karena itu BRN yakin penyelesaian politik yang bisa menyelesaikan konflik dan keadaan perang ini.

Tegas BRN bahwa kesediaan mereka untuk kembali ke meja perundingan tidak disebabkan karena melemahnya kekuatan bersenjata mereka di lapangan. Tidak. Menghentikan tindakan kekerasan itu berpijak pada sejauh mana proses perundingan dapat dicapai. Proses itu sendiri yang menentukan perjalanan dan juga perubahan strageti BRN.

BRN juga memandang bahwa perundingan adalah implementasi dari pelaksanaan mandat dan aspirasi dari rakyat Patani untuk menuju penyelesaian konflik perang. Bagi perundingan damai haruslah melibatkan orang-orang yang diberi wewenang untuk berunding dan sesuai dengan norma-norma intenasional dan terhindar dari rekayasa. Hal ini karena memandang penyelesaian konflik lewat dialog damai adalah bahagian dari kerja membangun kepercayaan.





[1] Mara Patani sebuah Kelompok untuk berkomitmen menyelesaikan konflik di wilayah selatan "melalui dialog politik secara damai (santhisuk). Lihat di: Mara, Maju dan Mundur Proses Dialog Damai Patani, http://dangerofpatani.blogspot.my/2015/09/proses-dialog-damai-setengah-hati.html

[2] Pada tahun 2013 dimana adanya penandatanganan “A General Concencus Document on a Peace Negotiation Process” oleh pemerintah Thailand yang di wakili oleh NSC (National Security Council) dan kelompok pejuang pembebasan Patani di Thailand Selatan yang di wakili oleh BRN (Barisan Revolusi Nasional) yang menyetujui akan adanya pertemuan yang membahas tentang konflik Thailand Selatan dan menyetujui Malaysia sebagai Fasilitator dalam pertemuan ini.
Penandatanganan ini dilaksanakan pada tanggal 13 Februari 2013 di Malaysia, penandatanganan ini disaksikan langsung oleh Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra dan oleh Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak.
Pada pertemuan ini dideklarasikan bahwa kedua perwakilan pihak yang berkonflik siap untuk melihat akan segala pilihan politik yang memungkinkan dalam penyelesaian konflik. dalam hal ini pemerintah Thailand menganggap BRN sebagai representasi dari pada pejuang Patani dan menyetujui bahwa pertemuan ini berjalan dibawah konstitusi Thailand. Sebagai tambahan, kedua belah pihak setuju atas Malaysia sebagai Fasilitator dalam pertemuan ini. (The Nation, Deep South can expect  nothing from the government of Yinluck)


Selasa, April 11, 2017

Surat BRN, Pasca Bom dan Proses Menuju Dialog Damai

"Perbicaraan perdamaian, asalkan pengawasan internasional dari proses dijamin sesuai dengan “standar dan norma-norma internasional,” tegas Juru Bicara BRN

Serangan yang terkordinasi hampir lebih 40 aksi pembakaran dan serangan bom skala kecil mengguncang wilayah yang paling bergolak di Thailand selatan, Jumat (7/4/2017) dini hari.

Kekerasan, yang ditandai pembakaran ban dan perusakan puluhan tiang listrik oleh bahan peledak, terjadi beberapa jam setelah Raja Maha Vajiralongkorn meneken konstitusi baru Thailand, yang didukung junta militer, sebagai landasan menuju pemilu pada akhir 2018.

Pada pekan lalu, Senin (03/04), terjadi serangan atas sebuah pos polisi di Provinsi Yala yang menyebabkan sedikitnya 9 polisi cedera.

Masyarakat wilayah perbatasan dengan Malaysia adalah salah satu dari beberapa daerah di Thailand selatan yang menolak konstitusi baru dengan melalui referendum pada Agustus 2016.

Dalam proses dialog perdamaian yang sedang berlangsung antara perwakilan pemerintah Thailand dan MARA Patani, sebuah organisasi payung dari organisasi pembebasan Patani Melayu lama - semua kecuali satu yang mengontrol gerilyawan di tanah (BRN) - itu adalah jelas bahwa apa yang kedua belah pihak mencari, dan apa mereka sedang ditawarkan adalah dua hal yang berbeda.

Kedua belah pihak sangat ingin zona aman yang ditunjuk. Mereka telah berbicara tentang hal itu selama hampir dua tahun sekarang jadi kedua belah pihak dapat menerapkan gencatan senjata. 

Masalahnya di sini adalah tidak sulit untuk memahami. Tidak ada pihak (kelompok Thailand atau MARA Patani) mengontrol pemberontak di tanah. Ini adalah Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang memiliki kontrol atas para pemberontak, yang satu kelompok lama yang telah menolak untuk bergabung dengan inisiatif perdamaian.

Bahwa BRN menolak untuk bergabung dengan pembicaraan karena, menurut laporan, mereka tidak percaya pihak Thailand berkomitmen untuk setiap penyelesaian damai berarti bagi orang Melayu di wilayah Patani. 

Abdul Karim Khalid, Juru Bicara BRN
Dalam sebuah pernyataan tiga poin singkat yang dirilis pada 10 April oleh BRN ini 'Informasi Departemen, kelompok pemberontak utama di kawasan itu menegaskan bahwa prasyarat untuk setiap proses perdamaian yang layak harus mencakup kesediaan dari pihak pihak yang berperang untuk menemukan solusi bersama dengan partisipasi “pihak ketiga (dari) masyarakat internasional” sebagai saksi dan pengamat.

Juru bicara BRN mencatat kesediaan untuk berbicara perdamaian, asalkan pengawasan internasional dari proses dijamin sesuai dengan “standar dan norma-norma internasional.”

Tapi sikap seperti itu tidak menghasilkan hasil yang diinginkan. Sekitar 7.000 orang - sebagian besar etnis Melayu - telah meninggal akibat kekerasan terkait pemberontakan sejak Januari 2004 dan Bangkok terus menutup mata terhadap akar penyebab sejarah konflik dan ketidakadilan yang disediakan legitimasi untuk kelompok pemberontak mengangkat senjata.

Bagi BRN tidak akan datang ke meja perundingan sampai sayap politiknya diakui dan benar ada keterlibatan oleh anggota organisasi internasional - Lebih atau kurang dalam cara yang sama seperti pemberontak Front Pembebasan Islam Moro di Filipina dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari Indonesia.

Sudah pasti Thailand menolak untuk gagasan memungkinkan anggota masyarakat internasional untuk mendapatkan langsung terlibat dalam proses perdamaian - setidaknya tidak secara terbuka, anyway - karena takut bahwa hal itu akan “internasionalisasi” konflik.

Dengan menggunakan istilah “internasionalisasi”, Bangkok mengatakan dengan kata lain tidak ingin memperdebatkan keabsahan Thailand mengendalikan tanah air bersejarah Melayu. Tidak ada pemerintah ingin seperti sakit kepala. Tapi sakit kepala ini diperlukan jika kita ingin memindahkan proses perdamaian ke depan.

Menurut Dr. Ahmad Omar Capakiya "Karena BRN merupakan suatu gerakan yang mempunyai militer di lapangan. Untuk menyelesaikan keamanan, penting dengan BRN," Ungkap Wakil Rektor Universitas Fatoni di Pattani itu.


Lihat sumber dari: 
> http://www.atimes.com/article/thailand-peace-process-dead-arrival/
> http://www.bbc.com/indonesia/dunia-39552781