Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Jumat, Maret 29, 2013

Pintu Rundingan Kedua Diwarnai Bom dan Serangan

Bekas pembantu senior Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Ahmad Zamzamin, bertindak selaku fasilitator perdamaian kedua belah pihak yang berseteru.
Pemerintah Thailand telah menggelar pembicaraan damai dengan Pejuang Kebebasan Patani, yang berbasis di wilayah selatan negara itu. Pembicaraan diharapkan bisa menyelesaikan konflik di Thailand Selatan, yang telah berlangsung bertahun-tahun. 

Pembicaraan itu merupakan tindak lanjut dari kesepakatan damai 28 Februari lalu antara pemerintah Thailand dengan BRN, salah satu kelompok pejuang yang beroperasi di Thailand bagian selatan.

Internasional Crisis Group, sebuah Lembaga Pemikiran yang berpusat di Brussels, Belgia, memakai Hasan Thaib sebagai penghubung BRN di Malaysia.

Sekjen Dewan Keamanan Nasional, Paradorn Pattanatabutr mengatakan penandatanganan dokumen ini  adalah salah satu cara lain bagi pemerintah Thailand untuk mengatasi pertikaian selama ini. Meskipun tidak ada jaminan bahwa persoalan yang memanas di Thailand Selatan akan berubah menjadi damai, paling tidak keadaan diharapkan akan menjadi lebih baik.  

BRN, dulunya adalah Front Revolusioner Malaya Patani yang dibentuk pada tahun 1960 dengan tujuan membebas bagi wilayah mereka di Selatan Thailand, yang majority penduduknya suku Melayu, dan beragama Islam.

Setelah penanda tangan ini semua pihak berharap agar Perdana Menteri Ying Luck Sinawatra mau berdialog dengan Pejuang Patani, untuk mencari solusi damai yang adil dan memunculkan stabilitas. Pergolakan yang terjadi di Thailand Selatan selama ini sangat mengganggu situasi keamanan, politik, ekonomi, bahkan kehidupan beragama.

Beberapa jam sebelum pembicaraan damai di Kuala Lumpur dimulai, antara perwakilan Pemerintah Thailand dan Pejuang Kebebasan Patani dari Barisan Revolusi Nasional (BRN), diwarnai ledakan bom. Paradorn Pattanatabut, Kepala Dewan Keamanan Nasional Thailand mengatakan, ledakan bom yang ditanam di pinggir jalan di selatan Provinsi Narathiwat itu menewaskan tiga anggota paramiliter dan melukai lima orang lainnya, Kamis (28/3/2013).

Sebelum pembicaraan damai digelar, sebuah bom di jalan raya meledak di Distrik Chor Ai-rong, Provinsi Narathiwat, berjarak 840 kilometer sebelah selatan Bangkok. Bom ini menewaskan tiga serdadu yang sedang berpatroli dan lima yang cedara. Hal itu dijelaskan Komandan Regional Angkatan Darat ke-4, Letnan Jenderal Udomchai Thammasarorat.


Selain ledakan bom, aksi yang sama juga berupa dua serangan terjadi di tempat terpisah, serangan pada kem tentera 4312 Sabayoi provinsi Songkla dan serangan kem tentera 49 Resok di provinsi Narathiwat, namun tidak ada laporan yang tercedera.

Sementara itu pada Minggu (24/03/2013), lima tentara  Thailand tewas akibat serangan bom mobil, yang diduga dilakukan gerilyawan di provinsi Thailand selatan, kata polis.

Bom itu, yang juga mencederai seorang tentara, meledak ketika kendaraan pasukan keamanan melakukan patroli di desa Yala, salah satu dari provinsi di dekat perbatasan dengan Malaysia.

“Sekitar 10 gerilyawan diperkirakan bersembunyi dekat lokasi itu dan meledakkan bom yang diletakkan dalam satu mobil lainnya,” kata Mayor Polis Torphan Phusuntiae.

Torphan mengatakan tentara-tentara itu jadi target karena mereka secara reguler menerima informasi dan petunjuk dari penduduk desa tentang keberadaan gerilyawan.  

Pejuang Kebebasan Patani bertahun-tahun melancarkan serangan bersenjata untuk mendapatkan kebebasan dari pemerintah colonial Thailand. Mereka hampir setiap hari melancarkan serangan bersejata dan pengeboman kepada pihak keamanan maupun sasaran militer dan polis di sejumlah provinsi di kawasan selatan, yaitu Yala, Pattani, dan Narathiwat. 

Pemerintah Thailand menyalahkan unit geriliyawan BRN atas serangan bom yang menargetkan pasukan patroli keamanan di Provinsi Narathiwat dan menganggap serangan tersebut sebagai upaya untuk menyabotase perundingan damai yang baru dimulai. Mereka menilai perjanjian tersebut dicapai dalam konteks konstitusi Thailand, sehingga dikhawatirkan tidak akan ada swatantra bagi negara-negara selatan.

Bekas pembantu senior Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Ahmad Zamzamin, bertindak selaku fasilitator perdamaian kedua belah pihak yang berseteru.

Tujuan utama pembicaraan ini adalah meredakan kekerasan. 
Hari ini kami akan berupaya membangun rasa saling percaya dan berhubungan baik," kata Kepala Dewan Keamanan Nasional Thailand, Paradorn Pattanatabut, di Kuala Lumpur.
"Kekerasan yang terjadi pagi ini berkaitan dengan perundingan damai yang sedang dilaksanakan di Malaysia," ungkap Chalerm Yubamrung, Wakil Perdana Menteri Thailand di Bangkok.
Pattanatabut mengatakan, fokus perundingan damai hari ini adalah menumbuhkan rasa saling percaya dan hubungan baik, guna mengurangi tingkat kekerasan yang kerap mereka lancarkan. 
"Saya melihat BRN adalah kelompok pejuang terbesar dan paling berpengaruh di balik semua serangan dengan pemerintah yang terjadi di Selatan Thailand. Saya yakin, para utusan dan negosiator akan menyampaikan pesan pemerintah kepada pasukan mereka. Tapi, mengingat jumlah mereka yang besar, tingkat kekersan tidak dapat berkurang dengan cepat dan pemerintah akan memberikan mereka batasan waktu," terang Pattanatabut.

"Saya tidak tahu berapa banyak pertemuan yang harus diselenggarakan, tapi kami akan terus melanjutkan negosiasi hingga mendapat hasil yang konkret," pungkas Pattanatabut

Perundingan antara para pejabat Thailand dan kelompok gerilyawan Barisan Revolusi Nasional (BRN) akan diselenggarakan di satu tempat di Ibu Kota Malaysia, Kuala Lumpur.

Para perunding Thailand ingin gerilyawan menghentikan serangan terhadap sasaran sipil supaya mereka yakin bahwa mereka berunding dengan pemimpin gerilyawan yang dapat mengendalikan para petempur di lapangan.

"Kami ingin melihat serangan terhadap sasaran lunak dihentikan, terutama bom-bom yang berdampak pada warga sipil tidak bersalah," kata Kepala Dewan Nasional Keamanan Thailand, Paradorn Pattanatabut. 

Ia mengatakan ia "100 persen" yakin pihak berwenang Thailand akan berunding dengan orang yang tepat.

Masalah-masalah tetap ada menyangkut kemampuan para pemimpin lebih tua gerilyawan untuk mengekang serangan-serangan oleh generasi lebih muda yang terorganisasi dengan baik yang beroperasi di provinsi-provinsi selatan yang berbatasan dengan Malaysia.

"Mereka terbagi dalam gerakan prajurit 'yang tidak terlihat' dan para pemimpin terkemuka di pengasingan," kata Gotham Arya dari Institute of Human Rights and Peace Studies di Universitas Mahidol.

Ia menambahkan, perundingan "intra-gerakan" diperlukan untuk menjembatani perbedaan di kalangan kelompok gerilyawan untuk mewujudkan perdamaian.

Satu kelompok gerilyawan dipersalahkan atas aksi kekerasan yang terjadi hampir setiap hari, termasuk ledakan bom dan serangan senjata api, namun identitas dan struktur kelompok itu tidak banyak diketahui.

Selama hampir 9 tahun belakangan, lebih dari 5.500 tewas dalam serangan antar pemerintah  Siam dengan geriliyawan Melayu Patani yang berbatasan langsung dengan Malaysia, di mana majority penduduknya adalah etnis Melayu.

Konflik itu berakar pada kebencian warga Melayu  terhadap pemerintah Thailand ketika Bangkok menganeksasi wilayah itu tahun 1902.

Konflik di Asia Tenggara, tentu tidak akan melepaskan Melayu Muslim Patani, Selatan Thailand. Patani bisa dikatakan bernasib seperti Palestina di Timur Tengah. Dan jika Palestina dijajah oleh Israel, maka Patani ditindas oleh Siam-Thailand.

Sabtu, Maret 16, 2013

Bom Meledak 3 Polis Kolonial Thailand Tewas

Usai penandatanganan perdamaian, proses Pemerintahan Thailand dengan BRN tidak disebutkan adanya kesepakatan gencatan senjata.
Sebuah bom besar meledak dan menewaskan tiga polis di Thailand selatan hari ini (15/03). Insiden ini terjadi beberapa hari menjelang perundingan damai antara pemerintah Thailand dan Pejuang Kemerdekaan Patani.

Bom seberat 90 kilogram itu disembunyikan di sebuah jembatan di distrik Ruso, Provinsi Narathiwat. Bom meledak ketika polis yang tengah berpatroli melintas dengan kendaraan truk mereka. Akibatnya, tiga polis tewas dan kendaraan itu pun hancur.

Juru bicara militer wilayah Thailand selatan, Kolonel Pramote Promin mengatakan, serangan bom ini kemungkinan dilakukan oleh para geriliyawan, tutur juru bicara militer tersebut Jumat (15/3/2013).





Pemerintah Thai telah setuju untuk mengadakan pembicaraan damai dengan Barisan Revolusi Nasional, yang merupakan bagian dari jaringan kelompok aktif di wilayah Thailand Selatan.

Yingluck mengatakan rakyat tidak boleh menilai perdamaian yang diupayakan pemerintah gagal. Usai penandatanganan, Paradorn telah memperingatkan, proses perdamaian masih harus menempuh jalan panjang. Perundingan selama dua mingguan dengan BRN baru akan berlangsung pertengahan Maret mendatang. Tidak disebutkan adanya kesepakatan gencatan senjata.

Pertemuan awal pemerintah Thai dengan Pejuang Kemerdekaan Patani BRN Barisan Revolusi Nasional itu telah berlangsung pada 5 Maret lalu. Pertemuan itu membahas syarat-syarat untuk pembicaraan lebih lanjut yang akan digelar di Malaysia pada 28 Maret.


Selasa, Maret 12, 2013

'Di Hilangkan' Tokoh HAM Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar) Dengan Misteri.

Sampai saat ini indeks kinerja HAM mengenai penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak mengalami perubahan yang signifikan menandakan tidak ada tanggapan serius oleh pemerintah. Pada tanggal 12 March yaitu Hari Memperingati 9 Tahun Kematian Misteri Tokoh HAM Somchai. 

Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti 
Hanya seorang individu sendirilah yang dapat menyatakan seseorang itu adalah pahlawan..''
Siapa Dalang Pembunuhannya..?

Demikian kehilangan Somchai baru-baru ini, kasus kehilangan Somchai sebagai tokoh HAM pembela  Muslim. Mereka sebagai seorang pengacara Muslim yang banyak menangani case hak asasi manusia dan dinyatakan hilang, ternyata dibunuh oleh pejabat negara. Special teams pemerintah sedang menyidik case itu. Kelompok HAM menduga pengacara 52 tahun itu diculik dan dibunuh oleh pejabat polis. Sebab, Somcahi kerap protes atas penanganan masyarakat Muslim di selatan Thailand. Dia juga pernah menuduh polis menyiksa empat client nya yang dituduh anggota Jemaah Islamiyah selama di tahanan.

Somchai menghilang saat menjadi pengacara bagi 5 warga muslim di Thailand Selatan. Somchai mengajukan complain karena client nya mendapat penyiksaan selama dalam tahanan. Sebelum menghilang, Somchai mengaku kepada istrinya bahwa nyawanya dalam bahaya. Ada beberapa petugas yang terus membuntuti dirinya. Seorang saksi dalam persidangan mengaku melihat Somchai dipaksa masuk ke mobil di jalanan Kota Bangkok pada suatu malam.

Raibnya Somchai Neelaphaijit dan pengadilannya kemudian mengundang attention terhadap perlakuan Thailand terhadap hak asasi manusia. Barisan activist HAM bersikukuh menyatakan pengacara berusia 52 tahun itu diculik dan dibunuh, karena kecaman lantangnya terhadap cara apparatus keamanan menangani pergolakan di selatan.

Hasil diintervensi oleh KontraS (Comisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dapat menjelaskan bahwa:

Tokoh HAM Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar)
Pada 12 March 2004, Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar), seorang pembela kelompok tertindas Muslim di Thailand. Sejak itu, keberadaannya tidak jelas lagi. Kemungkinan besar ia sudah mati, disiksa dan dihilangkan secara paksa. Uniknya juga case diselesaikan dengan mengelar pengadilan setengah hati. Di Thailand, pengadilan mem-verdict Major Polis Ngern Tongsuk tiga tahun penjara sementara membebaskan 4 terdakwa lainnya. Pengadilan kasus ini juga gagal mengungkapkan kebenaran atas motif politik yang sebenarnya. Sementara Major Polis Ngern Tongsuk dihukum karena menghilangkan barang bukti dan menghalangi hukum (obstruction of law). Pasca persidangan authority politik PM Thaksin Shinawatra mengaku kecewa dan terus bercommitment akan mencari dalang pelaku utamanya. Case ini juga ditangani oleh Department of Special Investigation yang tidak berada di bawah control Police Thailand. Meski mechanism spesial tersebut telah menemukan berbagai bukti, keterangan, dan informasi yang penting, namun investigation lanjutan tidak terlihat berjalan. Pernyataan pimpinan politik di negara Thai nampak hanya sebagai lip service dan gagal memberikan kebenaran yang authentic bagi keluarga korban dan public luas. Kegagalan penanganan kasus ‘individual’ ini juga menandakan memudarnya sistem aturan hukum (rule of law) di dalam Negara Thailand. Tetapi juga kepada community Muslim di Thailan Selatan yang selama ini susceptible terhadap pelanggaran HAM. Kegagalan kasus Somchai justru akan semakin menghambat upaya damai dan reconciliation di wiliyah selatan Thailand yang dibeberapa tahun belakangan ini menjadi wilayah conflict yang intensive.[1]

Pada tahun 1998, PBB meng- adoption Declaration Pembela HAM. Dokumen ini mengakui bahwa problem-problem utama di dunia akan berakhir -khususnya di negeri-negeri dengan regime yang repressive yang kurang peduli terhadap aturan main dalam hukum- adalah kebutuhan untuk menyediakan perlindungan bagi orang-orang yang berjuang untuk HAM.

Pembela HAM di seluruh kawasan Asia saat ini mendapatkan resiko atas kehidupannya. Keputusan untuk membunuh pembela HAM dan perilaku pembunuhan dilakukan secara rahasia. Hukum, pengadilan dan organisasi sipil tidak dapat menghentikan pembunuhnya. Di banyak kasus, apparatus negara dan lembaga negara terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Pembunuhan terhadap setiap pembela HAM adalah upaya untuk membunuh gerakan HAM. Ini juga merupakan serangan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk menciptakan dan mempertinggi ketakutan. Dimana ketakutan hadir, ada banyak lebih kesempatan untuk pembunuhan selanjutnya, dan kesempatan yang lebih sedikit untuk memulihkannya. Ini merupakan method yang bertujuan untuk membisukan tidak hanya satu orang tetapi membisukan setiap orang.

Saat ini ketakutan yang intensive muncul di banyak negara bagian di Asia, dengan kasus “dihilangkan”, rakyat-rakyat muslim di Thailand Selatan telah banyak menjadi korban tertuduh kekerasan sebagai“Kambing Hitam”. Ini diciptakan oleh sejarah repression, dan serangkaian pembunuhan. Intimidation dan kekejaman adalah makanan sehari-hari dari kehidupan rakyat. Pembela HAM dan rakyat muslim Selatan Thai terus berhadapan dan mengatasi ketakutan, Intimidation dan kekejaman ini.


Angkhana Neelaphaijit

Angkhana Neelaphaijit, Isteri Somchai.
Angkhana Neelaphaijit adalah istri dari pengacara HAM Thailand, Somchai Neelaphaijit yang diculik oleh polis pada 12 March 2004. Pada saat itu, Somchai sedang membela klien-kliennya yang menuduh polis yang melakukan penyiksaan. Mayatnya tidak pernah ditemukan. Angkhana telah menjadi garis terdepan dari campaign untuk mendapatkan keadilan atas hilangnya Somchai. Pada Januari 2006, seorang petugas polis di-verdict 3 tahun penjara, namun dalang dan keseluruhan kejahatan tidak pernah di-identification. Ia telah mendapat ancaman mati karena ia melanjutkan kerjanya. Ia menemui pejabat PBB baik di Thailand maupun di luar negeri untuk mengejar case ini.

Pada hari perempuan internasional di tahun 2006, ia mendapat penghargaan dari Commission Thailand sebagai “seorang pembela HAM perempuan luar biasa”. Pada 11 Maret 2006, ia mendapat ''The 2nd Asian Human Rights Defender Award'' dari AHRC atas nama suaminya, yang juga mendapat pengakuan atas kerja Anghkhana sejak hilangnya suaminya 2 tahun lalu. Anghkhana saat ini menjadi inspiration dari sekian banyak orang-orang di Thailand, sebagaimana juga di tingkat internasional. Dalam melakukan kerjanya ia didukung oleh lima anaknya.   

Pada 30 Maret 2006 juga AHRC telah me-nomination-kan seorang istri pembela HAM yang luar biasa untuk menerima penghargaan ternama, ''Gwangju Prize for Human Rights'' tahun 2006, diberikan oleh May 18 Memorial Foundation, Korea.

Demikian kehilangan Somchai, Hakim Elizabeth Evatt, anggota International Commission of Jurists yang bermarkas di Jenewa, Swiis. Ia berharap case ini bisa segera dituntaskan. Sebelumnya, banyak kalangan yang khawatir case ini akan semakin memperparah aksi kekerasan di Thailand Selatan.


Bisa lihat maklumat lanjut mengenai Somchai di,
 http://campaigns.ahrchk.net/somchai/

[1] Sarawut Pratooras, Usman Hamid,  Suciwati, Rusdi, Marpaung, Mugiyanto, “Peringatan Dua Tahun Kasus Somchai Neelaphaijit, Negara Belum Menghargai Human Rights Defender”,  www.kontras.com,

Minggu, Maret 10, 2013

Langkah Kedua Menuju Meja Rundingan 28 Maret


Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra mengatakan pihaknya perlu waktu bertahun-tahun untuk memecahkan krisis di Patani, Selatan Thailand yang bergolak, dan mengatakan bahwa kesepakatan terbaru dengan kelompok gerilyawan hanyalah langkah utama menuju perdamaian, kata Kantor Berita Thailand, Jumat (8/3).

PM Yingluck meyakinkan bahwa pemerintah akan melakukan yang terbaik untuk membawa perdamaian ke provinsi perbatasan Selatan itu, yang didominasi oleh majority Muslim.

Bulan lalu, otoritas Thailand, dengan bantuan pihak berwenang Malaysia, menandatangani perjanjian perdamaian dengan kelompok Koordinasi BRN, yang diyakini memiliki kontrol atas para pejuang kebebasan Patani di Thailand Selatan yang bergolak.

Adalah tidak mungkin bahwa situasinya akan langsung membaik setelah kesepakatan itu ditandatangani, katanya.

Sementara itu, oposisi Demokrat pimpinan Abhisit Vejjajiva meminta pemerintah untuk lebih berhati-hati di babak berikut pembicaraan dengan pemimpin BRN, yang ditetapkan pada 28 Maret.

Pada pekan ini, para geriliyawan dikatakan membakar ban di 40 lokasi di tujuh daerah di Yala malam hari.

Tindakan itu terpercaya untuk memberitahu otoritas bahwa mereka masih aktif di kawasan itu. Namun, tidak kecelakaan jiwa dilaporkan.

Polis percaya para geriliyawan itu yang dibagi menjadi tujuh orang bersenjata setiap kelompok, melakukan perbuatan itu.

Mereka juga menebang pohon dan merentangnya di tengah jalan di beberapa daerah di Yala, di samping memutuskan kabel listrik.

Pihak berwenang masih menyelidiki tempat kejadian dan menanyai saksi, selain meninjau rekaman kamera sirkuit tertutup untuk memperoleh informasi mengenai tersangka.

Lebih 5.000 orang telah tewas dan lebih dari 9.000 terluka dalam lebih dari 11.000 insiden, atau sekitar 3,5 insiden per hari, di tiga provinsi perbatasan Thailand selatan, yang didominasi etnis Melayu Muslim, yakni Yala, Pattani, Narathiwat serta empat distrik Songkhla - sejak kekerasan meletus pada Januari 2004, menurut Tonton Deep South, yang memonitor kekerasan regional.

Senin, Maret 04, 2013

Southern Insurgency or Fighter Patani

Putting a Face to the Conflict in Thailand's South

Nine years ago, a forgotten conflict in the far south of Thailand flared up in the most dramatic way.

Gunmen raided a military arms depot, killing the four guards and making off with around 400 assault rifles.

Three months later waves of insurgents  armed with some of those captured weapons, launched co-ordinated attacks on 11 police posts in an almost suicidal fashion - 107 of them were killed, including 32 who had taken shelter in the historic Krue Se mosque in Pattani.

The insurgents  as it is now known, has killed more than 5,000 people, 550 of them members of the Thai security forces.

Most of the attacks have been on a small scale - drive-by shootings by gunmen on motorbikes, small roadside bombs detonated by mobile phones, gruesome beheadings of traders or rubber-tappers heading to work in the early morning.

The violence has never spread beyond the three-and-a-half provinces next to the Malaysian border, which have predominantly Malay Muslim populations. The almost daily attacks rarely make headlines, and the insurgents  who are mainly young Muslim men, make few statements and do not acknowledge any centralised leadership.

Theirs remains a faceless movement, although they are presumed to be fighting for the goal of an independent Patani state, inspired by the Malay sultanate of Patani, which used to govern this region until it was annexed by Thailand in 1909.

But last week, a failed insurgents assault on a Thai marine base lifted the mask for a moment.

The marines had been warned and met the night-time raiders with booby traps and volleys of gunfire.

Sixteen of the militants were killed, their bodies strewn among the rubber trees. Most of them were well-known by the Thai authorities. Some were local - from the village of Tanyong, just a 10-minute drive from the base.

Many of the people in this region do not speak Thai and do not readily talk to outsiders, especially journalists. There is a climate of fear, created by the years of insurgent attacks and military retaliation.

Proud Of Death
But the day after the marine base raid, the families of three of the fighters who lived next door to each other in Tanyong were receiving visitors and speaking.

I met the father and widow of 25-year-old Sa-oudi Alee. Both said they were proud of the way he had died, fighting for his beliefs.

Darunee Alee has been left to bring up their 18-month-old son, but refused to be downcast.

Darunee Alee says she refuses to be downcast after her husband's death
Why did Sa-oudi feel he had to join the fighters, I asked?

She said that like many of the other fighters, he became involved after the Tak Bai incident in October 2004, when the Thai army detained dozens of Muslim men and piled them, tied up, on top of each other in trucks before driving them for three hours.

Seventy-eight of them died on the journey from being crushed or suffocated.

Sa-oudi had spent two years in jail and was released last year. His passport showed he had also travelled six times to Malaysia between 2007 and 2008, although his family were unclear what he was doing there.

Darunee's father-in-law, Matohe Alee, has eight surviving children, six of them boys. Would he allow them to follow their brother and join the insurgency?

He would try to stop them, he said, but they don't always listen.

Murmurs of Approvalur
Marohso Jantarawadee
Marta Majid has three young daughters. She knew her husband, Hasem, was involved with the fighters. He stayed away from home and the army often searched her house.

But his violent death clearly came as a shock and she looked bewildered. Most of his head was blown off in the attack, and she described having to identify him by the shape of his lower jaw.

Just down the road, a steady stream of neighbours was filing through the brand-new home of Marohso Jantarawadee to pay their respects to his widow, Rusanee.

He was the commander of the operation against the base and one of Thailand's most wanted men, with more than 12 arrest warrants against him and a price on his head.

Through her tears, Rusanee said she felt honoured to have been his wife, although she grieved that their young son would never know his father.

There were murmurs of approval from the visitors in the house. None questioned an insurgent campaign which has targeted teachers, Buddhist monks and anyone working for the Thai state.
Marohso Jantarawadee, shown here with his wife.

Instead they recounted their own narrative, of repeated harassment by the authorities.

On the road outside, a platoon of Thai soldiers patrolled carefully, keeping a lookout for ambushes, prodding gingerly in the thick, tropical vegetation for possible bombs.

They have a good idea who the fighter families are, but have found it hard to track down leaders in a movement which is so fragmented.

Sometimes suspected insurgents are taken in for questioning.

At times in the past they have been tortured, although the military has been presenting its most conciliatory face after last week's attack, regretting the loss of life and referring to the fighters as "Thai citizens, like us".

The death of Marohso, though, is clearly seen as a coup.

'Historical Mistrust'
But it will not change the course of the conflict, said Don Pathan, a long-time reporter and researcher on Thailand's deep south.

"Most of the people here share the same sentiment, the same historical mistrust of the Thai state", he said.

"They often look at these fighters as local heroes. They may not agree with the brutality but I can assure you they share the same sentiments.

"And a lot of these the fighters are their kids, their nephews, their neighbours' nephews - they are not going to turn them in."

He warned that although the fighters use the language of jihad, and some of the methods of other jihadist groups, the conflict is at heart about Malay-Patani nationalism.

There are few signs that this or any other Thai government recognises that.

The current Prime Minister Yingluck Shinawatra did propose some form of autonomy during her election campaign two years ago, but quickly dropped it in the face of opposition from the military.

The army, the police, local politicians and the insurgents are all believed to make significant money from the rampant smuggling of everything from drugs, to people, to diesel fuel, in this border region.

There seems little incentive to risk bold initiatives that might end the fighting.m.

There are few signs that this or any other Thai government recognises that.

By Jonathan Head, BBC News, Bangkok


Sabtu, Maret 02, 2013

Bom Sepeda Motor, Ranger Militer Dua Tewas Enam Luka-Luka

Serangan hari kedua dalam kesepakatan menggelar perundingan damai.  
Bila dilihat dari polanya, serangan ini dilakukan atas penentangan pembicaraan dengan pihak berwenang Thailand. Mereka menilai perjanjian tersebut dicapai dalam konteks konstitusi Thailand, sehingga dikhawatirkan tidak akan ada swatantra bagi negara-negara selatan.
Bom Sepeda motor yang diduga didetonasi oleh geriliyawan meledak di Selatan Thailand  pada Sabtu (2/3). Insiden tersebut sasaran pada ranger militer dua terbunuh dan enam ranger militer luka-luka parah yang terkena serpihan bom.





Itu adalah serangan kedua dalam beberapa hari terakhir setelah rival Barisan Revolusi Nasional (BRN)  beroperasi di area yang menyetujui perbincangan damai dengan pemerintah.

Ledakan tersebut tepatnya terjadi di sebuah jalan di Provinsi Yala,  di mana dua ranger militer tewas. Peristiwa itu menyusul aksi bom sepeda motor serupa di Provinsi Narathiwat, Jumat (1/3) yang mencederai enam orang.

Serangan terjadi setelah dua hari kesepakatan dicapai antara pemerintah Thailand dan Barisan Revolusi Nasional, faksi berjuang membebaskan Patani, untuk memulai perundingan demi mengakhiri konflik yang telah merenggut 5.000 nyawa sejak 2004 lalu.

Kesepakatan menggelar perundingan damai dimediasi oleh Malaysia. Kedua pihak bahkan telah meneken perjanjian di Kuala Lumpur untuk melaksanakan perundingan awal dalam dua pekan mendatang.

Jumat, Maret 01, 2013

Dua Ledakan Bom Setelah Perjanjian Thailand dan BRN

Surat penandatanganan naskah kesepakatan perundingan damai antara kedua pihak Dewan Keamanan Nasional Thailand  dengan pejabat penghubung Barisan Revolusi Nasional (BRN). Perjanjian tersebut dicapai dalam konteks konstitusi Thailand. "under the framework of the Thai Constitution"

Sekjen Dewan Keamanan Nasional Thailand, Paradorn Pattanathabutr (kiri) berjabat tangan dengan pejabat penghubung Barisan Revolusi Nasional (BRN), Hassan Taib dengan disaksikan Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Malaysia, Thajudeen Abdul Wahab seusai penandatanganan naskah kesepakatan perundingan damai antara kedua pihak di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (28/2/2013)

Enam orang cedera akibat ledakan bom yang diletakkan di sepeda motor di Provinsi Narathiwat Thailand Selatan, Jumat, setelah pemerintah Thailand menandatangani perjanjian perdamaian dengan salah satu dari beberapa kelompok gerilyawan.

Ledakan itu terjadi sehari setelah pemerintah Thailand setuju melakukan perundingan dengan Barisan Revolusi Nasional (BRN), bagian dari kelompok-kelompok gerilyawan di selatan yang berpenduduk majority Melayu Muslim.

"Kami yakin bahwa insiden ini adalah perbuatan gerilyawan yang ingin menunjukkan kekuasaan mereka dan untuk mendiskreditkan pemerintah," kata Somchai Panomuppakarn, wakil ketua penyelidik kepolisian kota Narathiwat.

Bom rakitan itu, ditaruh di sebuah sepeda motor dan diledakkan di luar sebuah pasar yang ramai di Narathiwat. Polis setempat mengatakan bom itu meledak di kawasan yang dianggap sebagai "zona aman" dengan penjagaan aparat yang sangat ketat.

Kepolisian menduga aksi peledakan bom itu dilakukan rival Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang menandatangani rencana perdamaian dengan pemerintah Thailan di Malaysia.

Tetapi Perdana Menteri Yingluck Shinawatra membantah pernyataan itu, dan mengatakan penghentian serangan membutuhkan waktu.

"Bom-bom ini adalah satu hal yang biasa terjadi, itu bukan pembalasan terhadap pemerintah. Penandatanganan perjanjian kemarin bukan berarti bahwa aksi kekerasan akan segera berhenti," katanya kepada wartawan.

Dua ledakan  bom yang terjadi di Distrik Muang, Narathiwat hanya berselang enam jam, Jumat. Seorang tentara dan lima warga sipil Budha cedera akibat ledakan yang terjadi sekitar pukul 5.50 pagi waktu setempat. Bom disembunyikan di dalam sebuah sepeda motor

Polis Muang Narathiwat, Thitipong Srisongmuang mengatakan ledakan terjadi di pasar tradisional Phuphaphakdee. Menurut para saksi, seorang anak muda memarkir motornya di depan pasar, dekat truk bak terbuka yang digunakan tentara penjaga pasar, lalu melenggang ke dalam keramaian pasar. Lima menit kemudian motor tersebut meledak,  enam sepeda motor lain, serta dua truk bak terbuka yang parkir di dekatnya rusak berat.

Sekitar siang, ledakan lainnya merusak Toko Jip Heng. Bom seberat 20 kilogram disembunyikan di belakang truk bak terbuka yang diparkir depan toko tersebut, berseberangan dengan pos polis Muang Narathiwat. Tidak ada korban dalam insiden ini.





Aksi perlawan antar Pejuang Pro-Kemerdekaan Patani dangan pemerintah kolonial Thailand melanda kembali beberapa provinsi selatan yang berbatasan dengan Malaysia selama sembilan tahun-- dengan hampir setiap hari terjadi penembakan dan ledakan bom.

Perdana Menteri Malaysia Najib Razak Kamis (28/02) mengatakan negaranya akan menjadi tuan rumah perundingan antara pemerintah Thailand dan kelompok gerilyawan di Kuala Lumpur dalam dua pekan, setelah diskusi-diskusi dengan Yingluck berada di Malaysia untuk pertemuan bilateral tahunan.

Yingluck menyatakan Thailand ingin melihat penyelesaian langgeng di propinsi perbatasan selatan itu, tempat perlawanan sembilan tahun sejumlah kelompok bayangan menewaskan lebih dari 5.500 jiwa.

"Kita harus bergerak maju secepat mungkin," katanya dalam jumpa pers di kantor pusat pemerintah Malaysia, Putrajaya.

Yingluck berada di Malaysia tetangganya untuk pembicaraan tahunan dengan Najib tentang masalah dwipihak. Pada tahun ini, mereka berpusat pada perlawanan keras di sepanjang perbatasan kedua negara itu.

Para pemimpin itu tidak memberikan tanggal perundingan tersebut. Seorang pejabat Malaysia menyatakan pertemuan itu pada awalnya akan menentukan "panduan" untuk ke depan,

Yingluck mengatakan rakyat tidak boleh menilai perdamaian yang diupayakan pemerintah gagal. Usai penandatanganan, Paradorn telah memperingatkan, proses perdamaian masih harus menempuh jalan panjang. Perundingan selama dua mingguan dengan BRN baru akan berlangsung pertengahan Maret mendatang. Tidak disebutkan adanya kesepakatan gencatan senjata.

Kalangan pengamat dan oposisi pemerintah mempertanyakan seberapa besar pengaruh BRN terhadap pejuang kebebasan Patani di perbatasan Provinsi Pattani, Yala, Narathiwat dan empat distrik di Songkhla. BRN hanyalah salah satu faksi.

Pemimpin oposisi, Abhisit Vejjajiva ragu akan pengaruh BRN terhadap faksi-faksi lain di wilayah itu. Dia juga mempertanyakan syarat apa saja yang telah dipenuhi sehingga kelompok itu mau berunding dengan pemerintah.

“Bila dilihat dari polanya, serangan ini mirip dengan serangan yang biasa dilakukan yang menentang pembicaraan dengan pihak berwenang Thailand. Mereka menilai perjanjian tersebut dicapai dalam konteks konstitusi Thailand, sehingga dikhawatirkan tidak akan ada swatantra bagi negara-negara selatan,” ungkap Sunai Phasuk dari Human Rights Watch.

Banyak warga propinsi selatan Thailand itu suku Melayu Muslim, yang tersinggung diperintah oleh suku Siam Buddha. Wilayah itu dilanda hampir setiap hari serangan senjata dan bom gerilyawan, yang mencari swatantra lebih besar, yang ditolak Thailand.