Right Of Self Determination - Give Back For The PATANIAN Entire Land

Senin, Maret 30, 2015

Wagra Soal Keadilan - Korban Kekarasan

kami hanya bisa dapat "Paket Layanan” diskriminasi, pembantaian kejahatan dan membayar kompensasi untuk keadilan


korban kekarasan
muncul kembali ke permukaan
koran hari ini memberitakan
empat warga desa di tembak aparat keamanan
22 orang tidak berdosa ditahan

warga desa Tung Yang Deng bangkit dari ingatan
mereka berkumpul soal keadilan
anak anak muda jadi mangsa tindakan kekerasan
oleh aparat ketenteraan

soalkan 

tanyakan keadilan 
jika rakyat tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan
jika kau tahan kata-katamu
dari 1001 makna keadilan
mulutmu tak berani mengucapkan apa kebenaran
terampas

kau akan diperlakukan seperti batu
dibuang dipungut
atau dicabut seperti rumput
dan dibuang seperti bangkai

atau mulut hanya sekedar menganga
diisi apa saja menerima
hanya harga kompensasi ratusan ribuan baht
maka kamu tak bisa ambil keadilan dari kebenaran

jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan terus jadi korban kekerasan
jangan kau penjarakan ucapanmu
tuntutan keadilan

jika kau menghamba kepada ketakutan
dibawah ancaman penguasa Siam
kita lagi memperpanjang barisan perbudakan 
dan ancaman dibawah pemerintahan 
yang tidak berperikemanusiaan dan keadilan


kemasan-tegakan- barisan
tuntutan kebenaran
tegakan keadilan

Baca sambungan di: Paket Layanan !! Tentera Tembak 4 Warga Tidak Berdosa, 22 Orang Ditahan, http://dangerofpatani.blogspot.com/2015/03/paket-layanan-tentera-tembak-4-warga.html





Sabtu, Maret 28, 2015

Paket Layanan !! Tentera Tembak 4 Warga Tidak Berdosa, 22 Orang Ditahan

4 Warga Tewas, 22 Ditahan
"Diskriminasi, pembantaian kejahatan dan membayar kompensasi untuk keadilan adalah Paket Layanan”

Jatuhnya pemerintahan demokrasi dan ditegakkannya pemerintahan militeri yang berlangsung sekarang ini, seolah-olah mendatangkan suatu era baru dalam politik keatas warga Bangsa Melayu di Thailand Selatan. Setiap lapisan masyarakat tidak bisa didorong untuk berpartisipasi dalam urusan hukum dan keadilan. Seperti yang dikemukakan oleh warga tempatan “akar konflik yang terjadi saat ini di keempat propinsi (Melayu) itu adalah perbedaan kebudayaan dan rasa benci (antara yang memerintah dan yang diperintah)”.


Dengan demikian, setiap perubahan dalam kepemimpinan pemerintaan colonial Siam-Thailand tentunya akan menimbulkan perubahan. Aksi-aksi berupa kampanye teror aparat tentera pada Rabu 25 March telah membunuh 4 warga desa yang tidak berdosa dan 22 orang ditahan yang menjadi kambing hitam di desa Tungyang Deng Provinsi Pattani ini telah banyak memberi kesan perasaan terhadap masyarakat Melayu di Selatan negeri ini mula hilang kepercayaan dan rasa tidak aman atas adanya perlindungan dari pihak aparat pemerintah terus kembali terulang seperti tindakan terror aparat tentera kerajaan yang dilakukan beberapa kes tindakan kejahatan kemanusiaan sebelum ini.

Semua kasus pelanggaran hukum oleh aparat tentera terhadap warga Melayu Patani, yang tak pernah bisa tertembus oleh apapun, atas pemerintahan kudeta sekarang.

Diskriminasi, pembantaian kejahatan dan membayar kompensasi untuk keadilan adalah ”paket layanan”

Pengadilan kejahatan atas tembakan warga desa menyebab empat orang tewas ini adalah kasus publik. Sebab itu perlu kepengadilan meski korban telah menerima pembayaran kompensasi atas keluarga korban dengan jumlah uang lima ratus ribu baht.

Pengadilan harus berdiri terhadap sejumlah aparat atas serangan terhadap warga desa yang menewaskan empat orang dan 22 orang yang ditahan oleh aparat tentera kerajaan harus dipastikan terus berjalan lancar bagi keluarga korban demi mendapat keadilan yang tepat.

Selama belum ada pertanggungjawaban negara, terhadap pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat (kejahatan kemanusiaan). Maka pelanggaran HAM ini merupakan kejahatan yang akan terus berkelanjutan.


Lihat sambungan di: Wagra Soal Keadilan - Korban Kekarasan, http://dangerofpatani.blogspot.com/2015/03/wagra-soal-keadilan-korban-kekarasan.html







Jumat, Maret 27, 2015

Dilema ASEAN, Kerajaan Malaysia Upaya Membantu Konflik di Selatan Thailand

Ahli parlimen Malaysia mempersoaal tindakan pemerintah Malaysia selaku pengurusi ASEAN dalam membantu menyelsaikan masalah konflik di Patani, Thailand Selatan dalam Dewan Rakyat. 

Datuk Kamarudin Jaffar

Demikian disampaikan oleh Datuk Kamarudin Jaffar ahli parlimen Tumpat di negari Kelantan dalam Dewan Rakyat bahwa Kerajaan Malaysia perlu membentuk badan pemantaun di Thailand Selatan yang selaku sebagai badan fasilitator dalam proses dialog damai antara Thailand dan pejuang pembebasan Patani.

Sementara Timbalan Menteri Luar Negeri Datuk Hamzah Zainudin mengakui masih sukar dalam menangani masalah Thailand Selatan, memandang politik kerajaan Bangkok masih belum lagi stabil sepenuhnya menyebabkan proses damai di Selatan Thailand terhentikan buat seketika. Lihat di: http://www.harakahdaily.net/index.php/berita-utama/34556-pas-cadang-badan-khas-selesai, 

Persoalannya, apakan tindakan pemerintah Malaysia selaku pengurusi ASEAN dapat bisa membantu menyelsaikan masalah konflik di Patani, Thailand Selatan ?

“Menurut pemerintah Thailand yang dipilih secara demokrasi maupun pemerintah ala kudeta sekarang ini ia juga mengatakan hal yang sama bahwa “kerusuhan di selatan negaranya hanya masalah domestic”.


Dilema ASEAN, Nonintervensi Dalam Konflik Perang di PATANI Selatan Thailand

Di tengah upaya diplomasi oleh negara-negara ASEAN untuk meredam kecaman dan penolakan terhadap Myanmar atas kasus pelanggaran HAM dan prinsip-prinsip demokrasi, insiden penganiayaan di Thailand selatan tersebut memperberat beban ujian bagi ASEAN, terutama bagi kelangsungan dan relevansi dari pembentukan Comunity Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community).
Kasus yang terjadi di Thailand Selatan merupakan satu dari sekian banyak kasus konflik internal yang menimbulkan jatuhnya korban sipil. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pembentukan Comunity Keamanan ASEAN belum dapat diharapkan untuk mengakomodasi berbagai konflik yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.

Konflik Thailand perlu layak dibahas dalam forum ASEAN, karena memang menjadi perhatian masyarakat ASEAN. ASEAN telah memiliki fondasi yang baik untuk menjalani proses demokrasi, karena sudah terkandung dalam Piagam ASEAN, dan pencapaian itu tergantung pada pemerintah dan masyarakat sipil, perlunya proses dan pertemuan agar lebih melibatkan masyarakat sipil di ASEAN, guna menentukan bagaimana pemerintah dan masyarakat sipil dapat terfokus pada pengembangan demokrasi, HAM dan good governance di ASEAN, salah satu prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN.

Karena dengan masyarakat yang lebih terbuka dan demokratis, ASEAN memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk membangun komunitas kawasan. bahwa peran masyarakat sipil tersebut tidak serta merta bermaksud mengganggu permasalahan dalam negeri negara anggota ASEAN, melainkan untuk mengingatkan komitmen terhadap yang terkandung dalam piagam ASEAN.

Anda nanti ingatkan kepada komitmen pemerintah dalam mempromosikan demokrasi, HAM dan `good-governance`, dan itu bukanlah mengintervensi masalah dalam negeri mereka, tetapi mengingatkan terhadap komitmen mereka.

Namun demikian, sekali lagi ASEAN harus berhadapan dengan ujian yang berat. Konflik yang terus berlangsung ini telah banyak terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Thailand dalam tragedy pembantaian massal, penembakan sniper, terdiri kanak-kanan dan wanita menjadi mangsa kekerasan sehingga sampai sekarang masih berlaku 'hukum rimba'. Insiden yang menimbulkan dari 2004 hingga 2015 dah hampir sebelas tahun kekerasan banyak korban tewas di kalangan warga di Thailand Selatan yang telah menewaskan hampir 7.000 orang disengsarakan berbagai aksi kekerasan yang mengundang reaksi dunia internasional, yang meliputi kecaman dari negara-negara di luar kawasan dan juga ungkapan keprihatinan dari negara-negara anggota ASEAN atas kejadian tersebut.

Keberhasilan dari berbagai penyelesaian konflik secara damai antar negara anggota ASEAN tidak dapat dimungkiri menunjukkan indikasi keberhasilan arah dari pembentukan komuniti keamanan dalam mencegah eskalasi konflik. Namun, di sisi lain, potensi internal konflik di kawasan Asia Tenggara masih tidak terjamah oleh prakarsa-prakarsa kerja sama ASEAN, sedangkan berbagai indikasi konflik yang muncul di kawasan Asia Tenggara sebagian besar merupakan konflik yang bersifat internal (intra-states conflict).

Sudah jelas menurut Pemerintahan Bangkok, konflik yang berpuncak berlarut-larut di Selatan Thailand murni sebagai masalah dalam negeri dan juga menurut pemerintah yang dipilih secara demokrasi maupun pemerintah ala kudeta sekarang ini ia juga mengatakan hal yang sama bahwa “kerusuhan di selatan negaranya hanya masalah domestic”.

Konflik-konflik internal tersebut ditengarai selalu diwarnai oleh penggunaan kekuatan (force) oleh negara yang bersangkutan dalam penanganannya, yang kerap kali berpotensi besar mengarah pada penyalahgunaan kekuatan militer atau penggunaan kekuatan militer yang tidak proporsional. Demikian, seperti mana di Thailand dengan kebijakan pendekatan kegunaan kekuasaan dengan melalui Emengency Power Art, pendekatan Undang Undang Darurat yang mempunyai kewenangan bagi Pemerintahan Pusat megarahkan kekuatan militer  menagani konflik di selatan Thailand. Juga karena gaya kepemimpinannya yang keras dan pendekatannya yang militeristik dalam menghadapi gelombang protes di Thailand Selatan.

Pada akhirnya, sering kali penggunaan kekuatan yang tidak proporsional tersebut menimbulkan jatuhnya korban di kalangan warga masyarakat sebagai pihak sipil, baik luka-luka maupun kematian yang berlanjut di Thailand Selatan.

Dengan munculnya perkembangan gejala-gejala baru tersebut sudah saatnya ASEAN melakukan penyesuaian sesuai dengan perkembangan tersebut. Komuniti keamanan ASEAN pada hakikatnya merupakan komuniti internasional yang menitikberatkan pada penanganan konflik secara damai di antara sesama negara anggota, dan hal ini merupakan karakter utama dari komuniti tersebut.

Pembentukan komuniti semacam ini pada hakikatnya tidak menghilangkan potensi konflik di antara sesama negara anggota. Akan tetapi, di saat potensi konflik muncul, penggunaan kekuatan dan ancaman bukan merupakan pilihan yang terpikirkan.

Sehubungan dengan hal itu, keberhasilan dalam pencegahan eskalasi konflik antarnegara di kawasan yang selama ini dihindari dan dicegah dalam konteks hubungan sesama anggota ASEAN seharusnya juga dapat berkembang pada konflik internal (suatu negara) di kawasan Asia Tenggara. Pemikiran semacam ini, di sisi lain terbentur pada salah satu prinsip dasar dalam ASEAN yang merupakan tembok besar dalam menyikapi masalah ini, yaitu prinsip nonintervensi (Non-intervensi: Kebijakan suatu negara untuk tidak turut campur tangan dengan negara-negara yang berperang atau salah satu negara yang terlibat perang).

Selama ini, dalam konteks hubungan antarnegara anggota ASEAN, jika permasalahan yang terjadi sudah mulai berkaitan dengan masalah dalam negeri, hal itu akan menjadi semacam hal yang tabu atau pantang sebagai larangan bagi negara tetangga lainnya untuk ikut membicarakan solusi pemecahannya dan bahkan ikut terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut.

Sudah saatnya dilakukan penyesuaian terhadap pelaksanaan dan penerapan prinsip nonintervensi dalam hubungan antarnegara di kawasan ini. Tidak perlu melangkah terlalu jauh dengan melakukan pemikiran yang mengarah pada eliminasi atau penyingkiran prinsip nonintervensi, tetapi yang perlu dikaji adalah sampai sejauh mana dan dalam hal apa prinsip tersebut harus diterapkan.

Tujuannya berharap pemerintah Bangkok dapat menyelesaikan konflik di Thailand Selatan secara damai dan minta Malaysia selaku fasilitator dalam dialog damai di Sealatan Thai untuk lebih membuka diri kepada negara-negara ASEAN tentang masalah tersebut.

Maka konsisten agar diselesaikan dengan baik. Perlu penjelasan lengkap kepada negara-negara sahabat di ASEAN agar bersemangat ASEAN Security Community bisa saling membantu. Setiap pertemuan membuahkan sesuatu yang konkrit selalu mendorong agar masalah di Thailand Selatan dapat diatasi dengan baik, damai, konstruktif sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah baru.

Dengan mengambil keputusan, menyepakati rencana aksi, dan memastikan rencana-rencana aksi kerja sesama negara ASEAN yang dijalankan dengan konsisten.

Minggu, Maret 22, 2015

Idiologi Nasional Kolonial Siam-Thailand “Bangsa, Agama dan Raja"

Pemerintah kolonial Siam-Thailand melakukan berbagai program asimilasi yang bertujuan menggantikan identity bangsa dan cultural orang Melayu dengan idiologi nasional Siam yaitu “Bangsa, Agama dan Raja

Sejak bangsa Melayu Patani diintegrasi didalam national state Siam-Thailand pada tahun 1902, bangsa Melayu tetap melakukan perlawanan. Dua unsur yang menjadi ikatan solidarity dan tujuan perjuangan rakyat Patani, yaitu ikatan bangsa dan etnik Melayu. Disisi lain, pemerintah kolonial Thai melakukan berbagai program asimilasi yang bertujuan menggantikan identity bangsa dan cultural orang Melayu dengan idiologi nasional yaitu “Bangsa, Agama dan Raja.

Ketiga symbol itulah yang mendasai suatu pembentukan identity dan kebudayaan nasional guna mempersatukan kerajaan, idiologi nasional tersebut berakar kuat dari Budhisme. Oleh karenanya semua penduduk permanen tanpa memandang ras ataupun asal-usul cultural diseluruh wilayah kerajaan harus menjalankan asimilasi sepenuhnya ke arah cara hidup Thai guna menciptakan suatu pandangan nasional.

Hal ini berarti orang-orang Melayu Patani akan dijadikan sebagai “orang Thai” dengan jalan atau cara-cara berprilaku seperti orang Thai atau penghilangan identity kemelayuan berserta keislaman mereka. Dalam menjalankan kebijakan asimilasi pemerintah kolonial siam-Thai menggunakan tiga bidang proyek yaitu bidang hukum, pendidikan dan budaya.

Sementara itu, pemerintah kolonial dalam menangani perlawanan etnis bangsa Melayu Patani, pemerintah kolonial Siam-Thai mengeluarkan kebijakan-kebijakan dominasi yaitu kebijakan militer, kebijakan politik dan kebijakan ekonomi yang bertujuan supaya tidak ada lagi perlawanan rakyat bangsa Melayu Patani terhadap pemerintahan Bangkok Siam-Thailnd.


Kamis, Maret 12, 2015

Tuntas Kasus Penculikan Akitivis HAM Shomchai Neelaphaijit


Memegang sepanduk memperingatkan sebelas tahun kejahatan negara terhadap HAM.

Lawan lupa, sampai kapan mereka harus berdiri memegang sepanduk memperingatan sebelas tahun kejahatan negara terhadap rakyatnya yang tak dituntaskan, malah terus bertambah kasusnya serta terus diabaikan dan dilupakan. Hari ini 12 March tahun kesebelas mereka berdiri memegang sepanduk menghadap keadilan pada pemerintahan Perdana Menteri kudeta disaat ini. Perdana Menteri demi Perdana Menteri silih berganti yang dimusuhi maupun yang didukung rakyat seperti pemerintahan kudeta kini, tapi mereka tetap saja berdiri tak mendapat harapan..

TUNTASKAN KASUS PENCULKAN AKTIVIS HAM SOMCHAI NEELAPAIJIT..!!

Memperingati 11 Tahun Kehilangan Misteri Tokoh HAM Somchai.

Aku sering diancam
Juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
Sampai dimana kapan?
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di penjara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Aku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
Dikursi listrikkan ataupun ditikam
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti..



"Kami tetap ada dan berlipat ganda"
Somchai Neelapaijit












Selasa, Maret 10, 2015

10 Maret, Hari Sejarah Hitam, Warisan Penjajah

Right Of Self Determination: “hak anda untuk menentukan nasib sendiri atas wilayah yang kini di duduki asing. Alasan anda benar. Keinginan anda pasti terwujud. Insya Allah’’

Hari Sejarah Hitam
Melawan Lupa, 10 Maret, Hari Dalam Sejarah Melayu


Pada hari ini 10 Maret 1909, Siam kini Thailand menandatangani Perjanjian Anglo-Siam 1909 yang menyaksikan Thailand menyerahkan negeri-negeri Melayu yaitu Kedah, Kelantan, Perlis dan Terengganu, menjadi bagian wilayah administrasi Inggris.

Perjanjian itu yang juga dinamakan perjajian Bangkok 1909 disegel diantara Kerajaan Inggris dan Kerajaan Thailand di Bangkok dan kemudian berlaku pada 9 Juli 1909.

Efek perjanjian itu menyebabkan negeri-negeri Melayu dibagi menjadi dua wilayah yaitu Pattani (Malay: ڤتنا (Patani)), Narathiwat (Malay: منارة (Menara)), Songkhla (Malay: سيڠڬورا (Singgora)), Satun (Malay: مقيم ستل ( Mukim Setul)) dan Yala (Malay: جال (Jala)) tetap dibawah kekuasaan Thailand.

Pemerintah Thailand melepaskan Kedah (Thai: ไทรบุรี (Saiburi)), Kelantan (Thai: กลันตัน (kalantan)), Perlis (Thai: ปะลิส (Palit)) dan Terengganu (Thai: ตรัง กา นู (Trangkanu)) menjadi wilayah kekuasaan Inggris. Keempat negara itu bersama Johor kemudian menjadi Negeri-Negeri Melayu Tidak Bersekutu. (Deskripsi ISMA Kajang)


Konflik di Patani, Warisan Penjajah
**Teks Asal dari Perjanjian Hitam Inggeris-Siam 1909!! 
Dapatkan muat turun Perjanjian 'Anglo 1909' yang asli penuh di sini:




Ketidaktegasan bangsa kolonial dalam menentukan batas wilayah setelah meninggalkan daerah jajahannya.

Di Asia Tenggara, PATANI di Selatan Thailand juga merasakan dampaknya. Kepergian Inggris di tanah Malaya mewariskan konflik berkepanjangan akibat tidak jeli dalam membagi wilayah.

“Ini dosa politik bangsa kolonial yang juga terjadi di Asia tenggara, ada kelompok-kelompok etnis dimasukkan ke suatu negara padahal secara culture masyarakatnya lebih pas dengan negara lain,” ujar pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia (UI) Nurani Chandrawati.

Nurani menyebutkan konflik Patani merupakan warisan bangsa kolonial setelah meninggalkan wilayah tersebut. Tidak jelinya mereka mengakibatkan ketegangan antaretnis. “Namanya juga penjajah, ya terserah seleranya mau bagi-bagi wilayah,” ungkapnya.

Kasus yang terjadi di Srlatan Thailand. Etnis Melayu Patani menuntut kemerdekaan penuh, karena ketidaksesuaian faktor sosio-kultural dengan rezim yang berkuasa. Pada tahun 1457 kerajaan Melayu Patani merupakan kerajaan Melayu independent. Kondisi Patani tersebut sama seperti daerah tetangganya Perlis dan Kelantan di daerah Malaysia Utara. Namun pada 1875 Patani diduduki oleh penjajah Thailand. Kemudian datanglah Inggris ke semenanjung Malaka.

Dalam perjanjian Anglo antara Inggris dengan Thailand tahun 1909, Patani menjadi bagian dari Thailand. Sedangkan Perlis dan lain-lain menjadi bagian dari jajahan Inggris. Melayu Patani tidak mempunyai pilihan, mereka dipaksa menjadi bagian dari kerajaan Thailand. Sejak itu terjadi pergolakan di tanah Melayu Patani hingga sekarang, karena menurut sejarah, Melayu Patani dijajah oleh kerajaan Siam.


Minggu, Maret 01, 2015

The Land of Smile, We are at War

Right Of Self Determination: “hak anda untuk menentukan nasib sendiri atas wilayah yang kini di duduki asing. Alasan anda benar. Keinginan anda pasti terwujud. Insya Allah’’

"siang lempar senyum, malam lempar peluru''
 the land of smile.




Kerajaan kolonialis Siam menunding konflik di Selatan perang melawan teroris, pengganas, militant dan sepratis.

Patani Bukan Bangsa Teroris
We are at War..!!

Di Thailand Selatan konflik yang muncul dipicu ketidakinginan masyarakat Melayu Patani tunduk di bawah pemerintah kolonial Siam-Thai Budhha.

Dapat dikatakan bahwa konflik yang terkait dengan Melayu Patani selalu dikaitkan dengan etnisitas. Bahkan dalam konflik tersebut istilah yang digunakan bukanlah teroris, melainkan memperjuangkan bangsa yang tertindas dan independent.

Patani Selatan Thai, Konflik yang terjadi di negara Thailand bahgian provinsi Selatan sudah berlangsung selama puluhan tahun. Inti dari konflik ini adalah etnik Melayu yang majority berbangsa Melayu tidak mau menggabungkan diri di bawah pemerintahan colonial Thailand yang majority yang berbangsa Siam beragama Budhha. Hanya saja, konflik di Thailand Selatan tidak lagi hanya memperjuangkan hak-hak kaum Melayu, melainkan ada isu-isu nasional dan internasional yang telah bercampur di dalamnya.

Muncul Kerajaan Melayu Patani Darussalam, yang sangat terkenal dalam sejarah Asia Tenggara. Sejarah kemegahan ini dipicu oleh adanya aktiviti perdagangan yang menyebabkan tidak hanya kerajaan Thai yang ingin menguasainya, tetapi juga Belanda, Inggris, Perancis, dan Portugis.

Raja Rama I mencoba menguasai kawasan ini pada tahun 1785 sampai dengan Kesultanan Kedah, Kesultanan Kelantan dan Terengganu. Dalam kenyataannya, kawasan Melayu ini masih menjadi sebuah negeri yang merdeka. Namun sejak tahun 1791, Terengganu dan Pattani dikuasai dibawah Kerajaan Songkhla. Adapun Kelantan dan Kedah dibawah kontrol pemerintahan dari Nakhon Sri Thammarat.

Inilah awal babak sejarah perlawanan masyarakat Melayu di empat propinsi di Thailand Selatan. Upaya paksa Kerajaan Siam yang menguasai Wilayah Melayu Selatan dan Utara Malaysia menyebabkan terjadinya berbagai pertempuran dan konflik hingga hari ini. Menurut sejarah, puncak kebangkitan perlawanan Melayu di kawasan Patani adalah pada tahun 1902 ketika kawasan ini secara formal diserahkan kepada Kerajaan Thai. Formalisasi ini sering dirujuk pada Anglo- Siamese Treaty.

Pada tahun 1909 dimana Thailand menyerahkan Kedah, Perlis, Kelantan, dan Terengganu pada British. Keempat negeri ini kemudian menjelma menjadi bagian dari pemerintahan Malaysia kemudian yang merdeka pada tahun 1957. Namun demikian, masih menurut sejarah, Kerajaan Thai juga pernah memberikan kawasan Timur mereka pada 1893 kepada Perancis.

Politik memberikan ‘daerah jajahan‘ oleh Kerajaan Thai ini merupakan salah satu strategi untuk mengamankan pemerintahan mereka dari penjajah Eropa. Upaya paksa ini tentu mendapat perlawanan dari para pemimpin Melayu disana. Ini terkait dengan program Thainisasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat di KrungThep (Bangkok).

Namun untuk kawasan empat propinsi tetap mendefinisikan diri mereka sebagai ‘orang Melayu‘ yang lebih dekat hubungan emosional mereka ke Kelantan dan Terengganu, ketimbang ke Bangkok.

Harus diakui bahwa konflik yang muncul di Patani bahgian provinsi Melayu Thailand Selatan tidak berhubungan sama sekali dengan teroris. Melainkan memperjuangkan bangsa yang tertindas dan independent dari pemerintah kolonial Siam-Thailand. Bangsa Melayu Patani yang terjajah itu, terus berjuang melepaskan dari penjajahan Siam Thailand.

Entah sudah berapa banyak kematian. Entah sudah berapa kali bangsa Melayu Patani mengalami ‘genoside’ (pembantaian massal) oleh Siam? Entah sudah berapa kali bangsa Melayu Patani mengalami serangan militer atau invasi militer oleh kolonial gajah putih?

Entah berapa banyak tokoh Patani yang dibunuh pemerintah Siam? Entah sudah berapa banyak anak-anak tidak berdosa ikut juga terbunuh? Semua itu tak menyurutkan perjuangan mereka membebaskan bangsanya dari cengkaraman kolonial Siam Thailand.

Perjuangan ini belum lagi selesai..