Jatuhnya pemerintahan militer tahun 1973 dan ditegakkannya demokrasi yang berlangsung selama tiga tahun, seolah-olah mendatangkan suatu era baru dalam politik Thailand. Setiap lapisan masyarakat didorong untuk berpartisipasi dalam urusan negara. Akan tetapi, seperti yang dikemukakan oleh Arong Suthasat yang dikutip oleh Surin Pitsuwan bahwa “akar konflik yang terjadi di keempat propinsi (Melayu-Patani) itu adalah perbedaan kebudayaan dan rasa benci (antara yang memerintah dan yang diperintah)” (Pitsuwan, Surin. Islam Di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Pattani,1989).
Dengan demikian, setiap perubahan dalam kepemimpinan tentunya akan menimbulkan perubahan dalam taktik dan bahkan dalam ideologi perjuangan comunity Melayu Patani untuk memperoleh hak menentukan nasib sendiri. Berbagai imbauan dan protes dalam periode ini, lebih didasarkan atas asas-asas yang diserukan oleh pemerintah Thailand sendiri seperti kebebasan, persamaan, dan jaminan hak-hak politik bagi semua warga negara Thailand tanpa memandang asal-usul ras.
Perubahan paling penting yang terjadi pada rakyat bangsa Melayu Patani adalah terbentuknya berbagai gerakan angkatan senjata yang terorganisir secara terang-terangan bertujuan membebaskan bangsa Melayu dari kekuasaan penjajah Thai, seperti Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), Barisan Revolusi Nasional (BRN), dan Pertubohan Persatuan Pembebasan Pattani (PPPP) atau Pattani United Liberation Organization (PULO) yang memiliki ciri-ciri dan karakteristik perjuangan yang berbeda-beda meskipun mempunyai tujuan yang sama, yaitu membebaskan rakyat bangsa Melayu Patani dari kekuasaan kolonial Thailand.
Kecemasan mengenai kehancuran bangsa dan identitas Melayu sebagai akibat proses asimilasi melalui kebijakan integrasi nasional – (Kebijakan pasca kudeta militer tanggal 16 September 1957, dipimpin oleh Marsekal Sarit Thanarat yang mengharuskan setiap warga negara menempuh pendidikan Thai, mempunyai nama Thai dan berkebudayaan Thai) - oleh pemerintah Thailand itu telah mendorong banyak orang untuk menggunakan cara-cara kekerasan untuk melawan. Munculnya gerakan pejuang pembebasan Melayu Patani semakin meningkatkan intensitas kekerasan secara nyata. Selain itu, faktor ideologis telah menambah eskalasi konflik di Thailand Selatan. Kebangkitan fundamentalisme kebangsaan dan kemalayuan juga semakin mempengaruhi gelombang kekerasan di mana seruan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan tanah air mempererat identity etnik masyarakat Melayu Patani dalam periode ini.
Pada tahun 1975-1976, demonstrasi besar menjadi peristiwa penting dalam membantu kesadaran politik di kalangan massa rakyat bangsa Melayu Patani. Demonstrasi yang dimulai pada tanggal 11 Desember 1975 - (Demonstrasi 11 Desember 1975 dilakukan untuk mengutuk kekejaman dan keadilan dari pemerintah Thai terkait dengan tragedi demonstrasi 29 November 1975 di mana menimbulkan korban jiwa sebanyak 12 orang tewas dan 40 orang lainnya luka-luka) - sampai dengan 24 Januari 1976 kian membuktikan semangat kesatuan dan persatuan bangsa Melayu Patani. Antara tahun 1977 sampai tahun 1982, bentuk kekerasan paling umum terjadi yaitu perasaan tidak aman dan tidak adanya perlindungan membuat orang-orang Thai-Buddhis mula keluar dari daerah konflik tersebut.
Tindakan perlawanan lain yang dilakukan oleh gerakan pembebasan adalah aksi-aksi penyerangan dan sabotase terhadap fasilitas-fasilitas infrastruktur milik pemerintah, seperti penyerangan pada pejabat pemerintah, pusat-pusat komunikasi internasional, fungsi-fungsi raja, perusakan dan pembakaran gedung sekolah, penembakan terhadap polis dan tentera, pemboman jembatan dan gedung-gedung pemerintah serta kantor polis. Adapun tujuan dari aksi-aksi adalah menghalangi upaya pemerintah untuk melaksanakan kebijakan integrasi nasional keatas hak bangsa Melayu Patani. Minimalnya menginternasionalisasikan isu bangsa Melayu Patani di Thailand Selatan kepentas konflik internasional sebagai tindakan balasan dari pihak pemerintah yang dilakukan melalui operasi-operasi militer yang agresif yang sedang berlangsung, seperti : pemboman pada tanggal 4 Juni 1977, saat raja sedang mengunjungi propinsi Yala pada 22 September 1977, dan pemboman stasium kereta api Had Yai (yang menghubungkan Thailand Selatan dengan Malaysia dan Singapura) pada 8 Februari 1980. Kasus seperti ini telah berhasil menarik perhatian luas di dunia internasional.
dan sambungan terakhir di: http://dangerofpatani.blogspot.com/2014/08/patani-bangsa-yang-hilang-akhir-periode.html,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar