Adanya keinginan Raja Chulalongkorn untuk mengintegrasikan Melayu Patani ke dalam sistem administratif penjajah Thai, memutuskan bahwa suatu pemerintahan tidak langsung tidak praktis lagi untuk dijalankan. Birokrasi pusat ternyata harus lebih diperluas di mana tingkat kekuasaan harus dialihkan ke tangan para pejabat yang diangkat oleh Bangkok. Tahun 1906, selang empat tahun setelah pencopotan raja-raja Melayu dari kekuasaan atas kerajaan Melayu Patani melakukan penggabungan tanah Melayu Patani itu dalam suatu Monthon (satuan administratif daerah) baru dengan nama Monthon Pattani.
Upaya mempersatukan kerajaan terus dilakukan meski telah terjadi peralihan kekuasaan dari Raja Chulalongkorn kepada anaknya, Raja Wachiravut atau Rama VI melalui nasionalisme satu bangsa, yaitu bangsa Thai. Doktrin nasionalisme Raja Wachiravut ditujukan untuk golongan-golongan minority yang berada dalam kekuasaan kerajaan Thai. Implementasi dari doktrin nasionalisme itu dilakukan melalui program wajib mengikuti pendidikan Thai yang telah dimulai di masa pemerintahan ayahnya dan mulai memperlihatkan hasil pengaruhnya terhadap masyarakat berbangsa Melayu. Madrasah-madrasah yang diselenggarakan di masjid-masjid didorong untuk mengubah kurikulumnya sehingga mencakup pelajaran bahasa dan indoktrinasi kewargaan Thai yang telah dirancang oleh Bangkok. Namun, persoalan paling meresahkan masyarakat adalah semakin besarnya pengawasan Thai atas segala dimensi kehidupan sehari-hari.
Sejak awal, perlawanan terhadap kekuasaan Thai mengambil bentuk pemberontakan-pemberontakan kemalayuan yang berusaha menghalau kekuasaan politik asing dari tanah Melayu itu. Pemberontakan besar di bawah pimpinan beberapa ulama dan bangsawan Melayu yang telah kehilangan kekuasaan, meletus pada tahun 1922. Pemberontakan itu disemangati oleh bekas raja Patani, Abdul Kadir, yang memperoleh simpati dan dukungan materiil dari kaum bangsawan dan kaum ulama Melayu di Kelantan. Raja Abdul Kadir mendapat simpati dari kedua golongan itu karena ia dapat meyakinkan raja-raja Melayu dengan alasan bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk membebaskan sesama Melayu yang sedang ditindas di seberang perbatasan. Kepada para ulama ia mengingatkan akan kewajiban untuk membebaskan sesama muslim yang serumpun Melayu dari kekuasaan colonial Thai-Buddhis. Dengan demikian, bergabunglah sentimen kemalayuan dan aspirasi politik dari lintas perbatasan untuk melancarkan suatu gerakan pembebasan rakyat Patani untuk pertama kalinya yang mencakup seluruh tanah Melayu itu. Dukungan dan simpati yang telah berhasil ia kerahkan dalam tahun 1922, sudah cukup untuk menghentikan kampanye pemerintah Thai (Thailand) untuk men-Thai-kan propinsi-propinsi di bagian selatan negara itu.
Bangkitnya kesadaran nasionalisme Melayu di kalangan rakyat negeri-negeri bagian utara Malaya (kini Malaysia) dan kesediaan mereka untuk memberi dukungan materiil dan politik kepada sesama Melayu di bawah penindasan kekuasaan Thai, menyadarkan para pejabat Thai bahwa penindasan identity etnik dan kebudayaan hanya akan memancing reaksi-reaksi kekerasan. Pendekatan yang lebih baik adalah dengan membina loyality politik, melegitimasi kekuasaan melalui partisipasi dan perwakilan dan usaha-usaha yang terus menerus untuk mengembangkan perekonomian. Cara pendekatan itu ditempuh dalam tahun 1932, ketika negara Thailand mengalami suatu transformasi konstitusi yang mengakhiri monarki absolut dan melahirkan suatu bentuk pemerintahan representatif.
Peristiwa penting dalam periode ini adalah diberlakukannya Undang-Undang Patronase Islam 1945, yang bertujuan untuk memasukkan pimpinan agama ke dalam wewenang pemerintah. kibatnya, para ulama mengambil alih pimpinan dan untuk kesekian kalinya membangkitkan orang-orang Melayu yang berorientasi kepada berbangsa Melayu untuk bersatu menentang kebijakan asimilasionis pemerintah yang dikenal dengan sebutan Peraturan-peraturan kebudayaan (Kot Wattanatham) di bawah rezim Phibul Songkram.
Gambar : Raja Chulalongkorn atau Raja Rama V |
Gambar : Phibul Songkram. |
Dalam periode ini, pemerintah Thai (Thailand) dengan sikap agresif berusaha mengkonsolidasikan kekuasaannya atas urusan sosial kebangsaan atas warga Melayu. Persoalan yang sangat peka adalah intervensi pemerintah Thai dalam bidang hukum kebangsaannya yang dianggap sakral. Pengkodifikasian dan penerjemahan hukum-hukum agama mengenai perkawinan dan warisan agar seragam dan konsisten, pembentukan pengadilan-pengadilan Syari’ah di propinsi-propinsi Melayu dan pengangkatan hakim-hakim Muslim yang diangkat untuk mendampingi hakim-hakim Thai dalam mengadili perkara yang menyangkut urusan keluarga telah menimbulkan serangkaian protes terhadap intervensi pemerintah. Kondisi ini juga yang pada akhirnya mencetuskan penentangan dan pemberontakan.
Meskipun puncak pemberontakan dan tindakan kekerasan baru terjadi setelah Phibul Songkram kembali memangku jabatan Perdana Menteri pada 8 April 1948. Adanya kecurigaan mendalam dan pengalaman getir orang-orang Melayu akibat kebijakan asimilasi paksaan sebelum dan di masa Perang Dunia II, secara otomatis mencetuskan pemberontakan-pemberontakan angkat senjata yang spontan di daerah Selatan Thai. Bentrok kekerasan dengan polis dan pasukan keamanan terjadi di empat propinsi di Thailand Selatan yang mengakibatkan ratusan orang terbunuh dan ribuan lainnya mengungsi ke Malaya (Malaysia). Bentrokan paling hebat terjadi di sebuah kampong bernama Dusong Nyor di propinsi Narathiwat yang dipimpin oleh Haji Abdul Rahman, memimpin lebih dari seribu orang menghadapi pasukan pemerintah penjajah Thai dalam suatu pertempuran terbuka sehingga mengakibatkan seratus orang tewas dipihak orang Melayu. Pemberontakan Dusong Nyor yang terjadi pada tanggal 26-27 April itu hingga sekarang merupakan lambang semangat perlawanan Melayu dan masih terus mengilhami gerakan-gerakan kemerdekaan hingga kini.
Sementara itu, tekanan internasional bertambah besar dan peristiwa Haji Sulong menyebabkan masalah Patani mendapat perhatian Liga Arab dan PBB. Tapi, yang paling ampuh dari semua koalisi internasional yang terbentuk untuk mendukung perjuangan Melayu itu adalah Gabongan Melayu Patani Raya (GAMPAR) yang terbentuk dalam bulan Februari 1944. GAMPAR menjadi sebuah organisasi yang mengkoordinasikan berbagai unsur yang bekerja untuk pembebasan bangsa Melayu Patani. Organisasi ini memperoleh dukungan dari berbagai golongan dan partai politik di Malaya. GAMPAR juga berhasil menarik dukungan pimpinan Malay Nationalist Party (MNP, atau Partai Nasionalis Melayu) yang bercita-citakan penyatuan semua rakyat Melayu ke dalam Indonesia Raya. Tengku Muhyiddin, yang mengkoordinasikan bagian terbesar upaya internasional untuk meredakan ketegangan di Thailand Selatan.
Kematian Haji Sulong menandai berakhirnya pemberontakan umum yang dipimpin oleh para ulama. Kematian misterius Haji Sulong dan anak laki-lakinya, Ahmad To’ mina tahun 1954 adalah merupakan suatu pengakuan kegagalan di pihak pemerintah, bahwa mereka tidak mampu mengintegrasikan warga bangsa Melayu Patani yang sangat domionan ke dalam negara Thai, sebagaimana yang dilakukannya pada golongan etnik di daerah utara dan lainnya.
Gambar : Haji Sulong |
Gambar : Tengku Muhyiddin |
Sambungan ke 3 di: http://dangerofpatani.blogspot.com/2014/08/patani-bangsa-yang-hilang-3-periode.html,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar