Sistem pemerintahan di bawah kolonial Siam-Thailand mula perlahan-lahan mengalami ‘distrust’ alias kehilangan kepercayaan, secara sistemik oleh rakyat Melayu Patani.
Rakyat Patani terus mengalami erosi dan kehilangan ‘trust’, dari waktu ke waktu.
Sorotan yang paling utama dari rakyat Patani, tak lain, gagalnya pemerintah Siam-Thailand mewujudkan dan menegakkan supremi hukum. Hukum dikangkangi oleh kekebalan yang hanya bisa menekuk dengan telanjang para penegak keadilan di negeri ini.
Semua kasus pelanggaran hukum oleh aparat tentera terhadap warga Melayu Patani, tetap kekebalan, yang tak pernah bisa tertembus oleh apapun, di negeri ini.
Korban Kambing Hitam
Pendekatan yang diambil otoritas Thailand untuk mengatasi konflik hingga tahun 2014 jejak selama sepuluh tahun di provinsi Selatan dianggap terlalu berlebihan.
Bertepatan dengan sepuluh tahun berawal tahun 2004 konflik berdarah di tiga provinsi Thailand Selatan, yakni Pattani, Yala, Narathiwat, dan sebagian daerah provinsi Songkla.
Secara konsiste, pemerintah perlu meredakan konflik dengan pendekatan hukum. Pemerintah harus mengakhiri kekerasan dan tindakan sewenang-wenang terhadap orang- orang yang dituduh terlibat dalam konflik ini.
Karena sejauh ini pemerintah memasukkan sejumlah laki-laki etnis Melayu ke dalam daftar hitam dan menuduh mereka bersalah tanpa alasan yang jelas. Pemerintah juga sering kali menahan tersangka tanpa memberi akses kepada pengacara dan penerjemah.
Ironisnya, pemerintah selalu menjelaskan, mereka yang dimasukkan ke dalam daftar hitam memang diyakini terlibat pemberontakan. ”Pemerintah berupaya memisahkan ’orang- orang jahat’ dari orang-orang yang baik,” katanya.
Namun demikian, Pemerintah Thailand mengakui telah membuat sejumlah kesalahan dalam menangani pemberontakan. Dan banyak kes yang menuduh tentara terlibat kekerasan terhadap kelompok sipil, yang seharusnya pemerintah agar menyelidiki kasus-kasus kekerasan itu dan menghukum siapa pun yang terlibat.
Baru-baru ini “Kes Tembakan Seorang Ayah dan Anak di Bennang Seta (17/04), Warga Desa Menuding Skuad Tentera Pelaku''. Lihat di: http://www.deepsouthwatch.org/ms/node/5602.
Sampai sekarang pemerintah masih gagal menginvestigasi pelanggaran HAM, baik yang dilakukan gerilyawan maupun pasukan keamanan. Mereka memperingatkan bahwa warga di provinsi yang bertikai telah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah sebab pemerintah gagal menyelidiki kasus-kasus penyerangan terhadap warga sipil, khusus pada warga Melayu yang menjadi mangsa kekerasan.
Walhasilnya, pemerintah harus untuk segera mencabut kekebalan yang dimiliki tentara sehingga mereka tidak bisa dituntut secara hukum meski melanggar HAM. Kekebalan itu dinikmati tentara setelah pemerintahan Thailand mengeluarkan dekrit darurat pada Juli 2005 lalu. Dekrit itu memberi kekuasaan penuh kepada pemerintah untuk menangani konflik termasuk dengan cara menahan tersangka tanpa surat penahanan. Ramai diantara warga etnis Melayu menjdai mangsa Kambing Hitam..!!, ada diantaranya yang dilaporkan hilang atau dihilangkan.
HRW telah menegaskan seruannya bagi penyelidikan yang kredibel dan imparsial yang bisa dipercayai atas tuduhan pelanggaran hukum humaniter dan HAM internasional oleh petugas keamanan dan pasukan milisi di Selatan.
Petugas sering gagal untuk menjaga keluarga korban, memberitahu perkembangan penyelidikan dan menjaga keluarga korban dari frustasi sangat mengecewakan. Sementara dalam beberapa kasus pemerintah memberikan kompensasi atau pampasan berupa uang kepada keluarga korban, namun uang tidak bisa dianggap sebagai pengganti keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar