Perang & Damai
Karena sejarahnya, situasi di PATANI lebih rumit. Kerajaan Siam (kini Thailand), menyerbu Patani tahun 1782 dan menjadikannya daerah ''setengah jajahan''. Sultan Patani dibiarkan tetap bertahta. Namun, seperti dilukiskan dalam cerita tutur setempat, sejak itu, setiap tahun ia harus mengantar ''kembang emas dan Perak ke Siam''. Kesultanan Patani benar-benar putus setelah Siam melakukan ekspedisi militer kedua 1902.
Dari bekas tanah kerajaan itu, kini setidaknya muncul lima provinsi yaitu Narathiwat, Pattani, Songkhla, Yala, dan Setun, yang meliputi wilayah 20.818 km2. Penduduknya 3,13 juta jiwa (2000) dan bangsa Melayu menjadi majority di sana. Sejarah perlawanan Patani dimulai sejak seabad lalu, tapi selalu ditumpas habis oleh colonial tentara Siam-Thailand.
Kisah pilu berlanjut saat Siam berada dalam pengaruh kelompok fasis Jenderal Phibum Songkram, sekutu Jepang dalam Perang Pasifik. Ia memberlakukan Dekrit Kebudayaan Thai Ratthanyom di tahun 1939. Semua warga negara wajib mengikuti budaya nasional Siam. Bangsa Melayu dilarang mengenakan busana Teluk Belanga dan tak boleh berbicara Melayu dalam acara resmi. Bagi para warga Patani, dekrit Thai Ratthanyom tak pernah benar benar dicabut, bahkan hingga era saat ini. Mereka merasa teraniaya secara politik, ekonomi, dan kultural. Meski mengalami pasang surut, pergerakan di Patani tak pernah berhenti. Bangsa Patani terus bangkit lawan. Mereka menuntut haknya secara independent berlandasan piagam internasional bahwa memberi hak kebebasan sebuah negara yang berada dibawah kolonial.
Bangsa Patani Dalam Hak Menentukan Nasib Sendiri
Pada saat ini, hukum internasional telah mengakui (“recognized”) hak untuk menentukan sendiri (“right to self-determination”) sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) dan berdasarkan hak ini semua bangsa (“peoples”) bebas untuk menentukan status politik dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.”(a) Namun, dalam konteks hukum internasional kemerdekaan sebagai wujud dari hak untuk menentukan nasib sendiri “right to self-determination” (dalam bidang ekonomi, politik, dsb.) dimaksudkan untuk membebaskan diri dari penjajahan dan dominasi/kekuasaan asing. Hak tersebut hanya dapat digunakan sekali dan tidak dapat diterapkan terhadap bangsa (“peoples”) yang telah terorganisasi di dalam bentuk suatu negara yang tidak berada dalam penjajahan dan dominasi asing.
Masalah hak untuk menentukan nasib sendiri ‘Bangsa Patani’ merupakan suatu fenomena yang menarik untuk didiskusikan. Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah pertanyaan dapat dikemukakan, antara lain, yaitu: bagaimana hukum internasional mengatur masalah hak untuk menentukan nasib sendiri; bagaimana legalitas untuk menentukan nasib sendiri Bangsa Patani menurut hukum internasional; apakah ada keharusan bagi negara-negara lain untuk mengakui ‘Bangsa Patani’ sebagai negara baru; bagaimana hukum internasional mengatur masalah pengakuan bagi negara baru.
Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu prinsip hukum internasional yang dapat ditemukan sebagai norma dalam berbagai perjanjian internasional tentang hak asasi manusia (HAM) tertentu dan hak ini menyatakan bahwa semua negara (“all states”) atau bangsa (“peoples”) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya sendiri dan memiliki aturan internalnya sendiri; secara bebas untuk mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri; dan untuk menggunakan sumber daya alam mereka yang dianggap cocok. Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak dari suatu masyarakat kolektif tertentu seperti untuk menentukan masa depan politik dan ekonominya sendiri dari suatu bangsa, tunduk pada kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional.
Dalam berbagai literatur hukum internasional belum didefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan bangsa (“peoples”) dalam rangka menuntut (“claiming”) hak untuk menentukan nasib sendiri. Terdapat banyak kontroversi dan kebingungan dalam hal ruang lingkup (“scope”) dan penerapan dari hak ini.
Namun demikian hak untuk menentukan nasib sendiri secara normatif telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, antara lain, yaitu: Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB; Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and Political Rights” dan “International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights”; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Bangsa dan Negara Terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) 24 Oktober 1970 mengenai Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kerjasama dan Hubungan Bersahabat di antara Negara-negara dan Hubungan Bersahabat sesuai dengan Piagam PBB.
Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514/1960 dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (CCPR) memang tidak dibedakan antara “right to” dan “right of self-determination”. Juga dalam praktek, keduanya digunakan secara rancu. Sebenarnya terdapat dua jenis atau tingkatan penentuan nasib sendiri, yaitu: 1. “Right to self-determination”, yang merupakan hak yang bersifat sekali dan tidak dapat dipecah, untuk membentuk suatu negara (atau integrasi atau asosiasi); 2. “Right of self-determination”, yang merupakan hak yang bersumber dan merupakan konsekuensi dari “right to self-determination”, yaitu hak untuk menentukan bentuk negara (republik atau kerajaan), sistem pemerintahan (presidensiil atau parlementer), sistem ekonomi (“centrally planned economy” atau “market economy”, liberal atau terkontrol dan terkontrol) atau sistem budaya tertentu, yang semuanya bersifat pengaturan ke dalam atau urusan dalam suatu negara.(a)
Dengan demikian maka, pelaksanaan “right to self-determination” yang diwujudkan melalui kemerdekaan dalam rangka membentuk atau mendirikan negara (“state”), baik untuk membebaskan diri dari penjajahan, maupun untuk berintegrasi atau berasosiasi dengan negara yang lain. Hal itu dilakukan hanya sekali dan untuk selamanya.
Sedangkan, pelaksanaan “right of self-dertermination” dapat diwujudkan melalui berbagai tindakan negara yang ditujukan ke dalam yang merupakan wewenang dari suatu negara berdaulat. Contohnya, integrasi negara Jerman Timur dengan Jerman Barat. Pemisahan dengan negara induk (“seccession”) juga dimungkinkan berdasarkan suatu perjanjian bilateral (“bilateral agreement”), tetapi bukan dalam rangka disintegrasi sebagai akibat dari tindakan separatisme. Hal itu misalnya, disintegrasi dari 15 negara yang awalnya tegabung dalam Uni Soviet dan kemudian memisahkan diri menjadi negara yang berdiri sendiri dan tergabung dalam kelompok Persemakmuran Negara-negara Merdeka (“Commonwealth of Independent Sates”/CIS).
Kemerdekaan merupakan salah satu perwujudan dari hak untuk menentukan nasib sendiri. Menurut Charkes G. Fenwick kemerdekaan dapat diartikan dalam dua pengertian yaitu, kemerdekaan ke dalam dan keluar. Kemerdekaan ke dalam (“internal independence”) meliputi dua aspek, yaitu kemerdekaan yang berkaitan dengan kebebasan dari negara untuk mengurus masalah-masalah dalam negerinya dan masalah-masalah lainnya mengenai kebebasan yang dilakukannya dengan negara-negara lain. Adapun kemerdekaan keluar (“external independence”), yaitu berkaitan dengan kekuasaan terbesar dari negara untuk menentukan hubungan yang dikehendaki dengan negara lain tanpa campur tangan dari negara ketiga.(c)
Negara di samping mempunyai hak kedaulatan maupun kemerdekaanya ia juga mempunyai yurisdiksi sepenuhnya terhadap wilayah atau wilayah-wilayahnya sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Dengan demikikan maka negara tersebut mempunyai hak yang penuh dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya (“territorial integrity”) dari segala ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Karena itu dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh kekuasaan negara atau yurisdiksinya terhadap berbagai wilayahnya tersebut merupakan kelengkapan dan eksklusif. Dikatakan lengkap karena negara tersebut dapat mempunyai akses terhadap semua wilayah negara, termasuk semua penduduk yang berada di wilayah itu, tanpa memandang nasionalitasnya. Di samping itu, yurisdiksi terhadap wlayahnya bersifat eksklusif, artinya tidak ada pihak manapun termasuk negara lain yang mempunyai hak untuk memaksakan yurisdiksinya terhdap wilayahnya. Dengan demikian, tanpa mengurangi prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku, wlayah suatu negara tidak bisa diganggu-gugat (“the inviolability of territories of states”).(d)
-----------------------------
(a) Hal tersebut, antara lain, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and Political Rights”/ICCPR, yaitu: “All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”
(b) Hassan Wirajuda, Indigenous People Internal Self-Determination (Pribumi dan Otonomi dalam Mengatur Urusan Sendiri), dalam Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, (edit.), Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta: Komnas HAM, 1999, hlm. 126-127. Dijelaskan pula, bahwa pembedaan antara “right to self-determination” dan “right of-determination” merupakan pemikiran dari Prof. Leo Gross dari “Fletcher School of Law and Diplomacy”.
(c) Charkes G. Fenwick, International Law, 4th Edition, New York: Appleton Century Croft, 1965, hlm. 296-297.
(d) Sumaryo Suryokusumo, Hak Negara untuk Mempertahankan Keutuhan Wilayahnya menurut Hukum Internasional, makalah yang disampaikan pada: “Seminar Nasional tentang Kewenangan Negara dalam Menjaga “National Unity” dan “National Integrity” menurut Hukum Internasional”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, tanggal 15 Juli 2002, di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar