BAB III
PERJUANGAN POLITIK HAJI SULONG
A. Pendirian Wadah - Lembaga
Tengah-tengah masyarakat Patani sedang mengalami
kekonflikan dengan pemerintah kolonial Thai, maka dianugrah oleh Ilahi seorang
tokoh yang bernama Haji Sulong. Haji Sulong adalah seorang tokoh ulama Patani yang memimpin masyarakat
Patani dalam menghadapi dasar kebudayaan Thai Rathaniyum yang diciptakan
oleh Perdana Menteri Phibul Songgram, sehingga Haji Sulong terkenal, Haji
Sulong dianggap sebagai Bapak Perjuangan Patani. Beliau adalah termasuk
golongan ulama yang terlibat dalam politik dan menentang keras terhadap campur
tangan pemerintah penjajah Thai dalam urusan kultural, Kemalayuan dan agama.
Sebelum
Haji Sulong terlibat dalam masalah politik di negaranya, beliau adalah seorang
guru pengajar dengan mendirikan sebuah Madrasah Al-Maafif al-Wathoniyah dan
sebagai seorang ulama dalam ilmu tafsir dan ilmu Ushuluddin. Namun tidak
berjalan lama, Madrasah yang didirikan oleh Haji Sulong tersebut kemudian
ditutup oleh pemerintah Thai karena menduga dan berbahaya dan mempunyai maksud
untuk mempersiapkan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Thai. Akhirnya
selain beliau melaksanakan dakwah agama juga terlibat dalam masalah politik.
1. Pendirian Sekolah Pesantren
Pesantren yang terdapat di
Thailand tertumpu di Selatan Thailand , khususnya Patani, Yala dan Narathiwat.
Yang paling banyak di Patani. Disana di sebut Pondok (Pesantran) . Namun Pondok
ini berfungsi sebagai insitusi pengajian agama tradisional. Bahawa di Selatan
Thailand terutama Patani adalah pusat kegemilangan tamadun Islam dimana disana
terletak pusat-pusat pengajian agama terkenal.
Menurut Azyumardi Azra bahwa
tradisionalisme pondok Patani mempunyai sejarah panjang. Kaum Melayu Patani
mengklaim, pondok merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara, meski
sumber-sumber sejarah umumnya menyebutkan, Islam datang dan berkembang di
wilayah ini baru pada abad ke-16. Terlepas dari kondisi itu, pondok Patani
mengirimkan lulusan terbaiknya ke Haramayn yang kemudian menjadi ulama besar
seperti Daud bin Abdullah al-Patani (abad ke-19), Ahmad bin Muhammad Zayn
al-Patani, dan Zayn al-Abidin bin Muhammad al-Patani (abad 20).[1] Mereka juga punya pondok sebagai asas
untuk memainkan peranan sebagai pendakwah dalam menyebarkan syiar Islam
sendiri.
Pada tahun-tahun awal
kepulangan Haji Sulong, beliau membangun sebuah Madrasah, Madrasah al-Ma'arif
al-Wathoniah. Menurut keterangan yang sempat diperoleh, sekolah ini adalah
sekolah agama yang pertama sepertinya pernah didirikan di Patani. Walaupun
demikian, masyarakat Patani yang pada waktu itu, malah sampai sekarang pun,
yang lebih mengenal institusi "Pondok" sebagai tempat belajar agama,
menerima baik penubuhan sekolah ini.[2]
Madrasah ini merupakan sekolah
agama pertama di Patani. Struktur organisasi dan disiplin pelajar teratur.
Disini pelajar-pelajar diperkenalkan dengan system kelas, sukatan pelajaran dan
pelajar pula menjalani latihan berbaris.[3] Para pemerhati beranggap bahwa ada maksud lain
bagi Haji Sulong dibalik pembaharuan dalam sistem dan corak pendidikan yang
diperkenalkan kepada masyarakat Patani ini. Keadaan ini menjadi lebih dipahami
apabila mengingat adanya kalimat al-Wathoniah, yang bermaksud "Kebangsaan" pada papan tanda nama sekolah
ini.
Meskipun mendapat sambutan
baik daripada masyarakat, tetapi sekolah ini ditakdirkan tidak berusia lama.
Setelah berjalan antara 2 hingga 3 tahun, sekolah ini menerima perintah
penutupan dari pihak berkuasa kerajaan Thai yang sangat merasa curiga atas
sambutan dan perkembangannya.[4]
2. Pendirian Lembaga Politik
Tidak
lama setelah Phibul menjadi perdana mentri dan melancarkan semboyan Thai Rathaniyumnya, Haji Sulong mendirikan al-Hai'ah
al-Tanfiziah li al-Ahkam al-Shar'iyyah (Lembaga Pelaksanaan Hukum Syari'ah)
pada tahun 1939. Tujuannya ialah untuk mendidik masyarakat Patani agar memahami
hukum agama secara tepat. Hal ini dilakukan sebagai upaya tandingan terhadap
kegiatan pemerintah Siam yang ingin men-Siamkan orang Melayu dan menodai
kesucian ajaran agamanya; keduanya termasuk dalam agenda Pan Thai atau Thai Raya
yang didalangi oleh Phibul. Sebelas orang dilantik untuk menjadi pengurus dalam
lembaga ini, diantaranya ialah Haji Mat Pauh, Haji Hasan Mak Enggol, Haji Abd.
Majid Embong (Chaok), Tok Guru Bermin dan lain-lain. Sampai sejauh ini belum
diketahui sejauh manakah peranan yang telah dimainkan oleh Lembaga ini
sehubungan dengan slogan Thai Rathaniyum ini.
Sudah
dipahami bahwa kedatangan Haji Sulong, pada awalnya, tidak ingin terlibat
dengan perpolitikan di Patani. Kondisi ketidakadilanlah yang membuat Haji
Sulong tidak sanggup untuk berdiam diri; ia pun mulai berpartisipasi dalam
bidang politik.
Pada
tahun 1944, Phibul terlibat dalam kepengurusan Hakim Agama (Qadhi) dan
membubarkan undang-undang keluarga serta pembagian harta waris (faraidh) Islam.
Kemudian Phibul menggantikannya dengan undang-undang sipil kerajaan.[5] Setiap ada masalah yang menyangkut kedua
aturan agama tersebut – undang-undang keluarga dan pembagian harta waris – maka
akan diputuskan berdasar undang-undang sipil kerajaan.
Merasa
tidak puas dengan keadaan ini, masyarakat Melayu Patani mendirikan
Majlis-Majlis Agama Islam di keempat wilayah selatan: Patani, Yala, Narathiwat
dan Setun. Di Patani, Haji Sulong terpilih menjadi Ketua, sementara di Yala,
yang terpilih sebagai ketua adalah Haji Mustafa Awang, di Narathiwat
terpilihlah Haji Daud Mat Diah dan di Setun adalah Haji Abdullah Lang Putih
(kemudian Anggota Perlemen Setun dan Menteri Kesehatan Thai).
Meski
tidak diketahui dengan pasti siapa pencetus ide dibalik lahirnya majlis-majlis
ini, kehadiran lembaga-lembaga ini diharapkan menjadi penghubung antara rakyat
Melayu Patani dengan Bangkok tanpa terikat dengan birokrasi yang rumit dan
kepentingan golongan. Dalam keadaan-keadaan tertentu, majlis menjadi wadah bagi
orang-orang Melayu Islam Patani– di empat wilayah – untuk menyampaikan suara
dan cita-cita kepada kerajaan menyangkut setiap permasalahan umat Melayu Patani.
Haji
Sulong termasuk golongan ulama yang mencurigai keterlibatan kerajaan dalam
urusan agama. Ia berpendapat bahwa campur tangan politik dalam soal-soal hukum
agama sejak masa Raja Chulalongkorn telah merusak kemurnian dan kesucian Islam.
Terlepas dari ada tidaknya kerjasama antara orang Islam dengan kerajaan, Haji
Sulong berpendapat bahwa hukum Islam seharusnya diurus oleh lembaga kehakiman
Islam tersendiri.
Pada
14 Februari 1944, Tengku Abd. Jalal bin Tengku Abdul Muttalib – Ahli Parlemen
Narathiwat – atas nama masyarakat Melayu, memberikan masukan terhadap
pemerintah tentang slogan pemerintah yang dikhawatirkan mengancam kehidupan
beragama dan berbudaya masyarakat Melayu. Namun pemerintah tidak menghiraukan
masukan tersebut dengan tetap melakukan upaya men-Siamkan masyarakat Melayu
Patani.
Phibul Songkram |
Setelah Phibul jatuh pada bulan Juli 1944, barulah tekanan-tekanan ini – upaya pensiamisasian – sedikit berkurang. Pemerintahan baru Thai (pada Juni 1946) memberikan kesempatan bagi orang Melayu Patani untuk turut mengirimkan wakil di pemerintahan. Pridi dan Kuang Aphiwong merupakan dua orang yang diutus pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Selatan. Hasilnya adalah pengembalian otonomi hukum Islam, seperti sebelum kekuasaan Phibul, diserahkan kepada masyarakat Melayu. Pada saat bersamaan, orang-orang Melayu membentuk sebuah kelompok yang bertujuan untuk mendesak kerajaan agar memenuhi beberapa tuntutan, antara lain penggunaan undang-undang Islam secara lebih meluas dan taraf kedudukan yang lebih baik bagi orang-orang Melayu Patani, sekurang-kurangnya di empat wilayah Selatan.
Namun,
sedikit kelonggaran ini tidak dapat dinikmati dalam waktu yang lama. Pada 8
November 1947, Phibul kembali berkuasa setelah melancarkan satu kudeta yang
memaksa Pridi lari keluar negeri. Akibatnya adalah lembaga yang baru saja
dibentuk – oleh Pridi – tidak difungsikan. Phibul kembali turut campur dalam
urusan agama dan budaya masyarakat Melayu. Pemimpin-pemimpin Melayupun
melayangkan permohonan kepada pemerintahan Inggris di London agar tidak mensahkan
rezim Phibul dan memohon supaya terlibat lebih dalam tentang kepengurusan
masalah Patani.
Dalam
banyak hal Pridi dapat dianggap sebagai Perdana Mentri yang sangat toleran.
Hubungan eratnya dengan Chularajamontri (Shaikhul Islam) Haji Shamsuddin telah
menyebabkan beliau sangat toleran dalam menangani masalah-masalah orang Melayu
di selatan. Kepemimpinan beliau menjadi tumpuan harapan bagi golongan Melayu
Patani untuk memperoleh otonomi politik dan budaya dalam sebuah kemaharajaan
Budha yang sangat konservatif di dunia. Tidak lama setelah memegang jabatan
pada bulan Maret 1946, Pridi membujuk Raja Ananda Mahidol untuk memberikan
bantuan dari kas kerajaan demi memajukan kesejahteraan agama dan pendidikan
orang Islam.
Pridi Phanomyong |
Pada 1 April 1947, diadakan pertemuan di antara pemimpin-pemimpin masyarakat Melayu wilayah Selatan di Patani. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan untuk menyerahkan sebuah memorandum – yang mengandung beberapa tuntutan dari masyarakat Melayu di Selatan – kepada wakil-wakil kerajaan Thai sewaktu mereka melakukan kunjungan ke Patani. Pada tanggal 24 Agustus 1947, Haji Sulong (Ketua Majlis Agama Islam Patani) dan Wan Uthman Wan Ahmad (selaku Pengurus Persekutuan Semangat Patani) secara resmi menyerahkan memorandum tersebut kepada 7 orang utusan pemerintah yang berkunjung ke Patani. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada tanggal 3 April 1947, Haji Sulong mengirimkan secara langsung memorandum tersebut kepada Perdana Mentri.
Memorandum
ini berisi rencana tujuh perkara yang mengarah pada pemberian otonomi daerah di
Empat wilayah Selatan. Tujuh tuntutan ini yang nantinya dikenal dengan nama "Tujuh Tuntutan Haji Sulong"[6] meliputi:
- Pengangkatan
seorang komisaris tinggi untuk memerintah Daerah Patani Raya dengan
wewenang penuh untuk memecat, menskors, atau mengganti semua pejabat
pemerintah yang bekerja di daerah itu; orang itu harus putra daerah dan
dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang diadakan khusus untuk
tujuan itu.
2. Delapan
puluh persen (80%) dari pejabat pemerintah di daerah itu harus Melayu Patani
(untuk mencerminkan rasio penduduk).
3. Bahasa
Melayu dan Bahasa Siam akan menjadi bahasa resmi.
- Bahasa
Melayu akan diajarkan di sekolah dasar.
- Hukum
Islam akan diberlakukan di empat wilayah – Patani, Yala, Narathiwat, dan
Setun – dengan pengadilan-pengadilan Islam yang terpisah dan bebas dari
sistem peradilan pemerintah.
- Semua
hasil pajak di empat wilayah – Patani, Yala, Narathiwat, dan Setun – akan
digunakan untuk kesejahteraan rakyat selatan.
- Majlis Agama Islam propinsi akan diberi wewenang penuh atas perundang-undangan menurut hukum Islam mengenai semua urusan Melayu dan kebudayaan Melayu, dibawah wewenang Komisaris Tinggi seperti yang disebut dalam No. 1.[7]
7 tuntutan dalam bahsa Saim |
Semula,
ada keoptimisan dalam benak Haji Sulong mengenai tuntutan-tuntutan ini agar
dapat dipertimbangkan oleh Bangkok, meski tidak seluruhnya. Perdana Menteri
Pridi yang diketahui terpengaruh dengan bentuk ’Federalisme
Switzerland’, diyakini bersedia memberikan otonomi kebudayaan bagi etnik
Melayu dalam lingkungan bangsa Thai. "Pridi lah yang oleh Haji Sulong
sebagai pemimpin de factor kepada Comunity Melayu, begitu diharapkan
untuk memberikan dokongan politik kepada perjuangan untuk memperoleh otonomi
politik".
Sayangnya
harapan-harapan ini segera buyar dan sirna ketika Phibul kembali berkuasa pada
tanggal 8 November 1947, tidak lama setelah memorandum diserahkan. Meski Pridi
telah pergi, Haji Sulong yang sudah terlibat dalam perpolitikan, tidak dapat
menghentikan langkahnya demi memperjuangkan otonomi politik yang sudah
berjalan. Belakangan, setelah peristiwa ini, beliau banyak terlibat dengan YM
Tengku Mahmud Muhyiddin, putera Raja Patani yang terakhir, di Kelantan, dan ini
juga yang menjadi sebab bagi penangkapan kali pertama Haji Sulong pada hari
Jum'at tanggal 16 Januari 1948.
Haji
Sulong dibebaskan empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1952. Selama dalam
tahanan di Ligor, beliau menulis ”Gugusan Chahaya Keselamatan” yang kemudian
diterbitkan oleh anaknya, Haji Mohd Amin pada tahun 1958, tetapi segera
dilarang – penerbitan dan peredaran buku tersebut – oleh kerajaan. Setelah
dibebaskan, Haji Sulong kembali ke Patani dan meneruskan pekerjaan awalnya
yaitu menjadi "Tok Guru".[8]
GEMPAR
atau lengkapnya Gabungan Melayu Patani Raya,
didirikan di kota Bharu, Kelantan pada 5 Maret 1948 (bersamaan 24 Rabi'ul Akhir
1367), tidak lama setelah Haji Sulong ditangkap. Meskipun ada selentingan kabar
yang menyatakan bahwa ide pendirian badan ini dipelopori oleh PKMM (Partai
Kebangsaan Melayu Malaya), namun sangat jelas terlihat bahwa pendirian badan
ini sangatlah tergesa-gesa dan lebih merupakan reaksi spontan terhadap
peristiwa penangkapan Haji Sulong.
Menurut
Pengamat, di pagi hari tepatnya pada hari Jum'at, tanggal 11 Maret 1948,
pendirian GEMPAR telah disahkan di Madrasah Muhammadiah, Majlis Agama Islam dan
Istiadat Melayu Kelantan, dengan dihadiri oleh sekitar 200 orang Melayu Patani
serta orang-orang Kelantan dan lain-lain lagi.
Setidak-tidaknya
ada tiga tujuan utama dari pendirian GEMPAR:
- Hendak
menyatukan empat wilayah yaitu Patani, Yala, Naratiwat dan Setun sebagai
satu Negara Melayu Patani dan melepaskan kaum Melayu yang ada di dalam
empat wilayah tersebut dari ketidak-adilan dan ketertindasan pemerintahan
Thai.
- Mengadakan
pemerintahan di dalam negeri yang sesuai dengan semangat kebangsaan Melayu
dan adat-istiadat Melayu Patani.
- Mempertinggi
taraf kehidupan bangsa Melayu agar terwujud Kemanusiaan, Keadilan, Kebebasan
dalam memperoleh ilmu pelajaran yang sesuai dengan kondisi kekinian.[9]
B. Reaksi Terhadap Perjuangan Haji Sulong
1.
Tanggapan dari pemerintah
Ketegangan yang semakin meningkat di keempat-empat
wilayah di Selatan Thai Setelah penahanan Tuan Guru Haji Sulung serta
kritikan-kritikan tajam dari Tanah Melayu berhubung dengan dasar kerajaan Thai
terhadap orang-orang Melayu itu telah menimbulkan keresahan kepada kerajaan
Aphaiwong dan memaksanya bertindak bagi mengawal keadaan itu. Kerajaan Thai
telah menghantar Phraya Ramajbhakdi, Ketua pengarah Kementerian Dalam Negeri,
untuk membuat penyiasatan. Dalam satu kenyataan yang dikeluarkannya, Menteri
Dalam Negeri menafikan bahawa kekacauan besar telah berlaku di keempat-empat
wilayah di selatan, seperti yang didakwa oleh akhbar-akhbar dan pertubuhan
politik Semenanjung Tanah Melayu.[10]
Beliau mengakui bahawa beberapa kekacauan kecil telah
berlaku di Selatan Thai. Bagaimanapun, tegasnya lagi, kekacauan itu dicetuskan
oleh kelompok minoriti untuk kepentingan diri sendiri. Beliau menyalahkan
akhbar-akhbar Tanah Melayu kerana secara sengaja membesar besarkan keadaan di
Selatan Thai.
Kenyataan Menteri Dalam Negeri itu telah dibantah oleh
Tengku Abdul Kadir Petra, salah seorang ahli Jawatankuasa GEMPAR. Dalam sepucuk
kawat kepada Perdana Menteri Khuang Aphaiwong, Tengku Abdul Kadir Petra
menegaskan bahawa: Kenyataan ini tidak benar dan
menjejaskan maruah dan integriti kami. Kami mencabar pihak tuan mengemukakan
bukti kepada dunia dengan mengadakan pungutan suara dengan dipengerusikan oleh
pegawai-pegawai Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu tetapi kehadiran pegawai
tentera dan awam di kawasan yang hanya akan menakutkan penduduk yang tertindih
itu.
Kenyataan Phraya Ramabhakdi itu juga telah dicabar oleh
Senator Nai Banchong Sricaroon atau Haji Wahab dalam perbahasan di parlimen di
Bangkok pada 5 Mac 1948. Inilah kali pertamanya isu Patani dibangkit dan
dibahaskan di sidang parlimen. Senator Banchong menyalahkan pegawai-pegawai
tadbir Thai di atas kekacauan di wilayah selatan.[11]
Para pegawai tersebut bersikap keras dan menindas
penduduk-penduduk tempatan sehingga mencetuskan perasaan tidak puas hati
orang-orang Melayu terhadap kerajaan. Beliau menganggap pegawai-pegawai
tersebut "tidak lebih daripada pengganas".
Penduduk-penduduk tempatan telah ditindas dan diperas, harta-benda mereka
dirampas secara paksa, rumah mereka dibakar hangus; manakala bahasa, adat-resam
dan agama mereka dicabuli. Tidak ada seorang pun daripada mereka berani untuk
mengadukan kejadian ini kepada pihak kerajaan kerana bimbang pegawai-pegawai
berkenaan membalas dendam.
Beliau menambah: Saya tahu bahawa saya dikehendaki
membuktikan dakwaan saya itu tetapi sebagai seorang Melayu dan anggota
Jawatankuasa Majlis Islam Pusat, menjadi tanggungjawab saya untuk memberitahu
Kementerian dalam Negeri tentang kedudukan sebenar bagi membolehkan mencari
jalan untuk mengatasi keadaan itu. Bila saya diberitahu tentang keadaan di Selatan,
adalah sukar bagi saya untuk mempercayainya. Kementerian Dalam Negeri tidak
mengambil apa-apa tindakan untuk mengatasi bila saya mengemukakan kepadanya. Setengah
daripada mereka yang memberi laporan itu kepada saya telah dibunuh dalam keadaan
yang penuh misteri, setengahnya pula melarikan diri ke Tanah Melayu dan
menyebarkan berita bahawa penduduk-penduduk di Patani telah diberi layanan
buruk oleh kerajaan penjajah Thai. Ini bukanlah persoalan gerakan pemisahan
atau rusuhan. Ini adalah soal ketidakadilan di pihak pegawai-pegawai kerajaan.
Memang benar sesuatu mestilah dibuat bagi mengatasi masalah
itu, tetapi itu tidak memadai. Ekoran daripada dakwaan ini, Nai Banchong
Sricharoon mendesak kerajaan supaya mengambil langkah-langkah segera dan
positif bagi mengatasi masalah yang dikemukakan itu. Beliau juga meminta
kerajaan mengisi jawatan Chularajamontri yang telah dikosongkan oleh Chaem
Promyong. Khuang Aphaiwong, dalam jawapannya, mengakui bahawa kekacauan sememangnya
wujud di wilayah-wilayah Selatan Thai, Beliau memberi jaminan bahawa sebuah
jawatan kuasa khas akan dibentuk oleh kerajaan bagi mengkaji punca kekacauan di
wilayah tersebut. Menjawab dakwaan Nai Banchong tentang kezaliman pada pegawai
kerajaan, beliau menegaskan bahawa kerajaan perlu membuat penyiasatan rapi
sebelum sebarang tindakan diambil. Selain itu, beliau berjanji akan
memperkenalkan reformasi di keempat-empat wilayah tersebut bagi mengatasi
perasaan tidak puas hati penduduk-penduduk Melayu. Beliau memberi jaminan
bahawa kebebasan beragama akan dihormati dan bahasa Melayu akan dibenarkan
untuk diajar di sekolah-sekolah kerajaan. Beliau juga berjanji akan menukar
pegawai-pegawi yang mengambil rasuah, di samping melantik seorang Melaayu yang
dihormati sebagai Chularajamontri bagi menasihati kerajaan dalam hal-ehwal
agama Islam.
Ekoran daripada itu, Khuang Aphaiwong telah melantik Seni
Pamoj, Menteri Pelajaran, untuk mengetuai Jawatankuasa Penyiasat bagi menyiasat
keadaan di Selatan Thai. Beliau juga bercadang untuk mengadakan rundingan
dengan Tengku Mahmud Mahyideen jika masa mengizinkan. GEMPAR, dalam ulasannya
mengenai pembentukan Jawatankuasa Penyiasat, meragui sama ada jawatankuasa itu
akan dapat memperoleh fakta-fakta sebenar daripada penduduk-penduduk tempatan
mengenai keadaan di Patani.[12] Pengalaman yang lalu
telah menunjukkan bahawa sebelum ketibaan satu-satu Jawatan kuasa penyiasat
seumpama itu, penduduk-penduduk tempatan telah ditekan dan diugut oleh pihak
polis Thai tempatan supaya berbohong. Dengan sebab itulah GEMPAR dengan lantang
menganggap pembentukan jawatan kuasa penyiasat itu sebagai satu propaganda
murah Kerajaan Thai. GEMPAR mengingatkan orang-orang Melayu supaya berhati-hati
agar tidak tertipu dengan helah dan muslihat pihak Thai. Sehubungan isu
tersebut, antara lain GEMPAR menegaskan, Rakyat adalah diingatkan bahawa ini
(perlantikan Suruhanjaya Khas) adalah tindak-tanduk diplomatik yang licin di
pihak kerajaan Thai bagi tujuan mengambil hati orang-orang Melayu. Tawaran itu
hendaklah ditolak oleh kerana apa yang kita tuntut ialah kebebasan beragama.
Kita akan melayan mereka yang menerima tawaran itu sebagai pengkhianat bangsa.
Bagaimanapun, sebelum sempat Jawata kuasa Penyiasat
menjalankan penyiasatannya, Khuang Aphaiwong telah diminta oleh pihak tentera
yang diketuai oleh Jeneral Phin Chunhawan supaya meletakkan jawatan dengan
alasan bahawa kerajaan pimpinannya telah gagal untuk mengatasi masalah dalam
negeri. Khuang Aphaiwong pada awalnya enggan tunduk kepada tuntutan pihak
tentera itu tetapi beliau akhirnya bersetuju meletakkan jawatan itu. Pibul
Songgram, Ketua Turus Angkatan Tentera Darat, telah dilantik sebagai Perdana
Menteri oleh Majlis Pemangku Raja. Dengan perlantikan ini, Pibul Songgram telah
menjadi Perdana Menteri Thai bagi kali kedua.[13]
2.
Tanggapan dari Masyarakat Melayu Patani
Apabila berita penangkapan
Haji Sulong tersebar luas, maka timbullah reaksi dari pada masyarakat Melayu
didalam dan diluar negeri. Pada 19 Januari 1948, terjadilah demontrasi di
hadapan balai polis teluban, tempat penahanan Haji Sulong. Para hadirin yang
datang berkumpul menuntut ikat jamin dibenarkan bagi membebaskan Haji Sulong
dari pada penjara. Tetapi ternyata tuntutan itu tidak mendapat layanan. Haji Sulong
di pindahkan ketahanan di Patani. Pada 22 Januari 1948, terjadi lagi
perhimpunan dan kali ini pemimpin agama yang terdiri dari pada To’Guru dan To’Imam,
berjumlah ratusan orang datang berkumpul di pejabat Majlis Agama Islam wilayah
Patani menyatakan kesetiaan dan kebimbangan terhadap pemimpin mereka yang
sedang berada di dalam tahanan. Reaksi masyarakat Melayu ini menyebabkan
kerajaan merasa bimbang dan khawatir terhadap perkembangan ini. Lantaran itu,
pembicaraan hal Haji Sulong itu di pindahkan ke Mahkamah wilayah Nakhonsitamarat
(legor).
Walau bagaimanapun, ada di kalangan
pemimpin masyarakat Melayu yang berada
dalam negeri masih berpandangan bahwa masalah di Selatan perlu diselesaikan secara damai. Antara langkahnya ialah meneruskan rancangan rundingan secara langsung antara Tengku Mahmud Mahyiddin dengan kerajaan pusat di Bangkok.[14] Pertemuan secara tidak resmi berlaku antara Tengku Mahmud Mahyiddin dengan Ci’Abdullah Long Putih bertempat di Kota Baru, Kelantan. Dalam pertemuan ini telah dicadangkan supaya Tengku Mahmud Mahyiddin menjadi wakil masyarakat Melayu Patani di Selatan Thai untuk berunding dengan pihak kerajaan pusat di Bangkok. Pada dasarnya, cadangan itu di terima oleh Tengku Mahmud Mahyiddin, tetapi beliau mengemukakan tiga syarat utama yaitu:
dalam negeri masih berpandangan bahwa masalah di Selatan perlu diselesaikan secara damai. Antara langkahnya ialah meneruskan rancangan rundingan secara langsung antara Tengku Mahmud Mahyiddin dengan kerajaan pusat di Bangkok.[14] Pertemuan secara tidak resmi berlaku antara Tengku Mahmud Mahyiddin dengan Ci’Abdullah Long Putih bertempat di Kota Baru, Kelantan. Dalam pertemuan ini telah dicadangkan supaya Tengku Mahmud Mahyiddin menjadi wakil masyarakat Melayu Patani di Selatan Thai untuk berunding dengan pihak kerajaan pusat di Bangkok. Pada dasarnya, cadangan itu di terima oleh Tengku Mahmud Mahyiddin, tetapi beliau mengemukakan tiga syarat utama yaitu:
1.
Hendak
dibebaskan Haji Sulong dari pada tahanan dan di benarkan mengambil bagian dalam
rundingannya.
2.
Hendak
di panggil kembali semua ketua Melayu yang telah berhijrah dari Selatan Siam.
3.
Kerajaan
Siam memberitahu kepada wakil kuasa besar di Bangkok tentang adanya rundingan
itu.[15]
Tetapi syarat tersebut tidak
di terima oleh kerajaan Thai. Dengan itu, rancangan perundingan berhenti.
Sebagai langkah meneruskan politik menantang kerajaan Thai, Tengku Mahmud
Mahyiddin mengambil tindakan berhubungan dan bekerja sama dengan para wartawan
asing seperti Miss Barbara Wittinghem
Jones dalam menyiarkan masalah Patani kepada masyarakat antara bangsa. Keadaan
ini membuatkan suasana di Selatan makin tegang. Untuk menghadapi suasana ini,
pihak kerajaan telah bertindak menghantar polis dan tentara ke Selatan dengan
jumlah yang banyak sebagai langkah berjaga-jaga terhadap sebarang kemungkinan.
Masyarakat yang berada di luar negeri telah mengambil beberapa tindakan sebagai
reaksi terhadap penangkapan Haji Sulong. Bahkan ini di jadikan sebagai bukti
kezaliman kerajaan yang bertindak menangkap Ulama’, hal ini disiarkan kepada
badan dunia dan masyarakat antar bangsa, khususnya di kalangan Negara Islam.
Tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian dunia terhadap politik di Selatan
dan mengharapkan supaya kerajaan Thai memberi kebebasan kepada masyarakat
Melayu.
Sebagai lanjutan dari pada
perkembangan itu, pada pertengahan Februari 1948, masyarakat Melayu Selatan yang
berada di tanah Melayu telah mengambil tindakan menubuhkan badan perjuangan
yang di namakan Gabungan Melayu Patani Raya atau ringkas GAMPAR. Tujuan utama menubuhan tersebut ialah:
1. Menyatukan
masyarakat Melayu yang berada di Selatan Thai dan tanah Melayu.
2. Membentuk
hubungan erat di kalangan masyarakat Melayu yang berada diluar negeri dengan
yang berada di dalam negeri serta meningkatkan kehidupan yang bermutu.
3. Mewujudkan
kerja sama dan tolong menolong antara satu dengan yang lain.
4. Memajukan
pendidikan dan menghidupkan budaya Melayu (Manifesto GAMPAR 1948).[16]
Walaupun GAMPAR sebagai badan
politik, tetapi perjuangnya tidak bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan
politik secara muthlak. Ini dapat dilihat pada rangkaian pertama dalam
manipsitunya yang berbunyi:
Adalah perjuang anak Melayu
yang sedang di bawah pemerintahan Siam itu adalah semata-mata berdasarkan Keimanan,
Keadilan dan Kemanusiaan, bukan pula kita bertakabbur hendak berdiri sendiri.
Bahkan dengan segala tujuan dan dasar undang-undang tubuh (Rattamanun) kerajaan
Siam sendiri yang mengaku kepada segala hak kerakyatan dan Demokrasi sebagai
mana yang di pahami oleh sekalian penduduk dunia ini maka terpaksalah kita
mengambil langkah yang tersebut di bawah ini.
Peranan penting yang di
mainkan oleh GAMPAR ialah membuat hubungan dengan badan perhubungan dunia dan
kuasa besar serta memberikan penerangan tentang keganasan para pegawai kerajaan
Thai untuk mengubah sikap dan dasarnya terhadap masyarakat Islam di selatan.[17]
C. Hasil Perjuangan Politik Haji Sulong
Sebelum Haji Sulong terlibat
dalam masalah politik, beliau adalah seorang guru pengajar dengan mendirikan
sebuah Madrasah Al-Maarif al-Wathoniyah dan sebagai seorang ulama dalam ilmu Tafsir
dan ilmu Ushuluddin. Namun tidak berjalan lama, Madrasah yang didirikan oleh
Haji Sulong tersebut kemudian ditutup oleh pemerintah Thai karena menduga dan
berbahaya dan mempunyai maksud untuk mempersiapkan sebuah pemberontakan
terhadap pemerintah Thai. Akhirnya selain beliau melaksanakan dakwah Islam juga
terlibat dalam masalah politik.
Dakwah
Islam Haji Sulong mengikuti irama politik pemerintah Thai. Ketika pemerintah
Thai bersikap lunak, toleran dan terbuka, hal ini dibuktikan langsung dengan
adanya rumusan Tuntutan Tujuh Perkara yang melalui perundingan dan beliau
bertanggung jawab penuh terhadap yang telah dilakukannya. Namun dalam hal
menghadapi pemerintah yang dictator, Haji Sulong juga bisa secara ekstrim
mengkader generasi muda Patani untuk bangkit menentang pemerintah Thai. Hal ini
telah di buktikan pada awal karirnya di Patani dengan mendirikan sekolah
sebagai basis kekuatan non komperatif dengan Thai bersama dengan Tengku Mahmud
Mahyiddin dan kawan-kawannya mendirikan beberapa lembaga seperti Ha’iah
al-Tanfiziah al-Ahkam al-Syari’at, Semangat Patani, GAMPAR, dan beliau
dengan kawan-kawannya terlibat langsung didalamnya hingga titik darah
penghabisan. Maka beliau dianggap sebagai Bapak Perjuangan Kemerdekaan Patani
Darussalam.
Haji Sulong memperjuangkan bangsa Melayu Patani sehingga sampai detik beliau meninggal dunia. Meninggal beliau itu sangat luar biasa sehingga menjadi satu peristiwa yang sangat mengerikan bagi masyarakat Patani. Dan setelah meninggalnya Haji Sulong, maka bangkitlah beberpa organisasi pembebasan Patani. dari sekian banyaknya organisasi yang berperan di Masyarakat Patani, namun yang paling dominan diantara organisasi itu hanya ada 3 organisasi, dan ketiga-tiga organisasi itu selalu di segani dan selalu dipikirkan oleh pemerintah Thai. Adapun ketiga organisasi itu adalah: Barisan Revolusi Nasional (BRN), Patani United Leberation Organization (PULO), Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP).Sambungan Bab IV - http://dangerofpatani.blogspot.com/2014/09/bab-iv-kesimpulan.html,
[2] Al-Fathoni Ahmad Fatah,Ulama
Besar Pathoni ( Malaysia: UKM),
2001. h.143
[3] Muhammad Kamal K.Zaman, Fathoni
13 Ogos ( Kelantan: tp), 1996. h. 8
[4]Al-Fathoni Ahmad Fathy, Pengantar
Sejarah Patani ( Alor Star : Pustaka Darussalam),1994. h. 83
[5] Pembagian harta waris pada hukum Islam untuk bagian
perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki. Sementara dalam undang-undang
sipil kerajaan pembagian harta waris bagi perempuan dan laki-laki adalah sama.
[7] Pitsuwan Surin,Islam di Muangthai Nasionalisme
Melayu Masyarakat Patani (Jakarta : LP3ES), 1989. h. 117
[9] Al-Fathoni Ahmad Fathy, Pengantar Sejarah Patani.
h. 101
[10] Utusan Melayu 31 Ogos 1948.
[16] Chapakia Ahmad Omar, Politik dan Perjuangan
Masyarakat Islam di Selatan Thailand (
Malaysia : University Kebangsaan Malaysia), 2001. h. 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar