BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Untuk sebagian orang, PATANI
(wilayah Thailand bagian Selatan) mungkin hanya sebuah kenangan Negeri Melayu.
Orang-orang yang memperhatikan peta Asia Tenggara sekarang akan mengetahui
bahwa sebuah kerajaan Melayu yang dulu berjaya kini telah hilang dan tinggal
kenangan.
Dari sekian banyak kerajaan
Melaayu di Asia Tenggara pada abad ke 14-17 M, Patani adalah salah satu
kerajaan yang sangat maju karena letaknya yang sangat strategis antara jalur
perdagangan Cina dan India. Kemasyhuran dan kebesaran itu mencapai puncaknya
pada zaman pemerintahan para Ratu.[1]
Hanya saja, kemegahan sebuah
kerajaan tidak pernah lepas dari ancaman penjajah, hal ini pun dialami Patani.
Kerajaan Siam-Thai yang berasal dari wilayah utara mulai masuk dan menguasai
sistem pemerintahan, Kesultanan Melayu Patani yang awalnya bebas independent,
berubah menjadi negara bagian atau di bawah pemerintahan kolonial. Patani yang
awalnya merupakan wilayah dengan majority penduduk berbansa Melayu yang beragama
Islam berbalik menjadi minority dalam kekuasaan Siam-Thai yang penduduknya
sebagian besar berbagsa Siam dan beragama Budha.[2]
Comunity melayu Patani mulai
terpisah dari kesatuan dunia melayu Asia Tenggara dan membentuk sebuah minority
etnis keagamaan dalam kekuasaan kolonial Muang Thai. Ketika kaum melayu
dipandang sebagai "masalah" oleh pemerintah Thai (Siam), orang-orang
melayu yang berada di Malaysia justru memandang mereka sebagai "saudara
yang terjajah". Meski jumlah penduduk melayu Patani minority – di
Muangthai – namun tetap menjadi majority
di empat propinsi Muang Thai yang berada di bagian selatan.[3]
Perubahan yang paling
dirasakan oleh Comunity Melayu Patani dalam periode siamisasi[4] dan asimilasi budaya ialah mereka harus
menjalankan hidup dan tradisi dengan gaya yang biasa diterapkan masyarakat Thai
di bagian utara yang sangat tidak sesuai dengan adat istiadat Melayu apa lagi
dengan ajaran pengangan agama. Dalam hal pakaian misalnya, pakaian yang
dikenakan oleh orang Thai adalah pakaian yang tidak menutup aurat, seperti
pakaian laki-laki yang berupa celana pendek dan pakaian perempuan yang harus
menanggalkan jilbab serta tidak longgar dalam arti cukup ketat.
Keadaan inilah yang sampai sekarang masih terus berlanjut. Meskipun
pemerintahan Thai mengakui bahwa minority di selatan beridentity Melayu –
tepatnya etnis melayu –, tetapi kebijakan kultural yang ditetapkan pemerintah
mengharuskan mereka – etnis melayu – mengubah orientasinya pada kebudayaan
Thai. Misalnya dengan peletakan patung-patung Budha di masjid dan sekolah serta
keharusan menggunakan bahasa Thai diikuti pelarangan pemakaian bahasa Melayu di
lembaga pemerintah seperti kantor dan sekolah.
Masyarakat Melayu Patani
merasa tidak senang dan tertekan dengan pembauran yang dilakukan majority Thai.
Tidak adanya perhatian terhadap perasaan kebangsaan (Melayu) dan keagamaan
penduduk, membuat penderitaan itu semakin bertambah. Pemerintah mensiamkan
sekolah-sekolah Melayu dengan memasukkan kurikulum yang mengacu pada agama
Budha atau malah menggantikan status sekolah Melayu muslim menjadi sekolah
Thai. Pemerintah juga mencoba menghilangkan pengaruh bahasa melayu di kalangan
penduduk Patani, tidak peduli terhadap perayaan hari besar Islam, menganiaya,
menahan, dan kadang-kadang membunuh para pemimpin agama dan politik yang
berasal dari etnis melayu. Antara tahun 1973 sampai 1975, sekitar lima ratus
melayu Patani di wilayah selatan dibunuh oleh pemerintah, dan terakhir,
pemerintah memaksa umat Melayu untuk mengambil nama Thai yang non-Muslim, demi
menipiskan identity kemelayuan mereka.
Meskipun demikian, nasib etnis melayu di Patani tidak selalu hidup dalam masa kegelapan dan penderitaan. Pada tahun 1924 telah pulang seorang tokoh ulama karismatik dari kota suci Makkah al-Mukarramah, yaitu Haji Sulong bin Abdul Kadir. Semula Haji Sulong pulang ke tanah airnya untuk tinggal selama dua tahun dengan tujuan menghibur hati isterinya yang sangat sedih atas kehilangan anak sulungnya, Mahmud, yang meninggal dunia dalam usia dua tahun. Setelah mengetahui situasi di Patani, Haji Sulong mulai terlibat dalam perjuangan politik.
Haji Sulong adalah seorang
tokoh ulama Patani yang memimpin masyarakat untuk menghadapi sepak terjang
“politik siamisasi” yang dilaksanakan oleh pemerintah Thai. Sejak tinggal di
Patani, beliau berusaha mengembangkan dakwah bernuansa Islam di tengah
masyarakat. Beliau pun berhasil menyatukan dan membangkitkan semangat umat
Melayu Patani. Haji Sulong tidak hanya terkenal dengan kitab-kitab karangannya
tapi juga karena mendirikan pondok yang menghasilkan banyak murid dan pendakwah
yang aktif untuk menegakan keadilan di kalangan masyarakat melayu. Kemasyhuran
beliau, sebanding dengan tokoh-tokoh ulama Patani sezaman, bahkan beliau pun berpartisipasi dalam perjuangan rakyat Patani pada
tahun-tahun sekitar Perang Dunia kedua.[5] Haji Sulong tergolong kelompok cendekiawan Melayu
yang memimpin pembaharuan agama dan gerakan nasionalis di Malaya dan Indonesia
pada dasawarsa pertama abad ke-20.[6]
Haji Sulong berkhidmat dengan
keyakinan yang mantap dalam kegiatan politik dan aktivity sosial. Dalam hal
politik, ia berpendapat bahwa campur tangan politik dalam soal-soal hukum sejak
masa Raja Chulalongkon (pada tahun 1868-1910) merusak kemurnian Islam. Hal ini
dapat dibuktikan dengan lemahnya penerapan hukum agama di masyarakat, dalam
kasus hak waris[7] dan penutupan aurat misalnya. Dalam hal sosial,
aktivity beliau tak lepas dari dakwah tentang Islam. Kedua hal inilah yang
sering kali dicurigai oleh pemerintah.
Aspirasi masyarakat melayu
Patani terealisasi dalam sebuah kesepakatan pada tanggal 3 April 1947, golongan
melayu Patani di bawah pimpinan Haji Sulong menyampaikan rencana tujuh pasal
tentang pembentukan otonomi daerah kepada pemerintah Thai. Rencana itu
mencerminkan gagasan-gagasan politik Haji Sulong dan upaya untuk mempertahankan
kemandirian dan kemurnian Islam.
Rencana 7 pasal yang
diutarakan masyarakat Patani -- melalui
Haji Sulong dan rekan-rekan – mengundang ketidak puasan dan kecurigaan
pemerintah kepada Haji Sulong dan rekan-rekan. Kecurigaan tersebut diungkapkan
melalui tuduhan bahwa Haji Sulong adalah pemberontak yang berencana
memerdekakan Patani.[8] Padahal, inti dari rencana 7 pasal bukan untuk
pembentukan sebuah negeri merdeka, yang lebih tepat adalah pembentukan wilayah
otonom yang memiliki hak untuk mempertahankan identity Melayu.
Dengan otonomi daerah,
masyarakat melayu Patani dapat mempertahankan cara hidup tradisional sesuai
dengan agama yang mereka anut. Meski
begitu, Haji Sulong tidak memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai sifat
jabatan orang yang akan dipilih untuk memerintah Patani. Tentunya orang
tersebut harus berfungsi sebagai sebuah lambang komunity yang berdasarkan
syariat agama dan merupakan bagian dari pemerintahan di daerah itu, tidak lagi
diperlakukan sebagai sesuatu yang terpisah dari proses pemerintahan.
Kematian Haji Sulong yang
masih merupakan misteri – berdasarkan pengakuan seorang tukang perahu, pada
tanggal 13 Agustus 1954 ia diperintahkan petugas keamanan untuk mendayung
perahu ke pulau Tikus, kemudian di tengah perjalanan, para petugas membuang 4
karung yang diperkirakan membungkus mayat –[9] semakin menambah kemasyhuran beliau di kalangan
rakyat Patani. Hal ini sekaligus menandai berakhirnya pemberontakan umum yang
dipimpin ulama yang dimulai setelah Perang Dunia ke-2. Koalisi oposisi Melayu
yang mempunyai landasan yang luas, yang telah ia – Haji Sulong – bangun,
melanjutkan kegiatan-kegiatan anti pemerintah dengan menggunakan berbagai
bentuk aktivitas kemasyarakatan.[10]
[1] Ada empat ratu yang pernah memerintah, yaitu Ratu Hijau
(1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu Ungu (1624-1635), dan Ratu Kuning
(1635-1686). Lihat: Ahmad Fathy Al-Fathoni, Pengantar Sejarah Patani (Alor Star: Pustaka Darussalam, 1994), h. 19-23.
[2] Wan Kamal Mujani, Minoritas Muslim: Cabaran
dan Harapan Menjelang Abad ke-21 (Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2002),
h. 34.
[3] Saiful Muzani (ed.), Pembangunan dan
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1993), h. 325.
[4]
Siamisasi berarti proses,
cara, perbuatan menjadikan sesuatu terutama kebudayaan tertentu (Melayu)
menjadi terwarnai oleh kebudayaan Siam, atau malah tergeser oleh kebudayaan
Siam.
[5] Abdul Halim Bashah, Raja Campa Dinasti Jembol
dalam Patani Besar (Kelantan : Pustaka Reka, 1994), h.46.
[6]
Surin Pitsuwan, Islam di
Muang Thai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani (Jakarta: LP3ES, 1989)
Cet. Ke-1, h. 114.
[7]
Penyelesaian penulisan Hukum
Islam tentang Keluarga dan Warisan yang seharusnya berada dalam tanggung jawab
orang Islam, malah berada dalam tanggung jawab seorang hakim Thai yang beragama
Budha. Lihat: Surin Pitsuwan, Islam di Muang Thai: Nasionalisme Melayu
Masyarakat Patani (Jakarta: LP3ES, 1989) Cet. Ke-1, h. 108.
[8] Abdul Halim Bashah, Raja Campa Dinasti…,
h. 75.
[9] Ismail Che Daud, Tokoh-tokoh Ulama’ Semenanjung Melayu I (Kelantan:
Majlis Ugama Islam Kelantan, 1988), h. 357.
[10] Surin Pitsuwan, Islam di Muang Tha:
Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani (Jakarta: LP3ES, 1989) Cet. Ke-1, h.
114.
[11] Ismail Che Daud, Tokoh-tokoh Ulama Semenanjung
Melayu, (Kota Baharu: Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan,
1988), h. 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar