BAB II: MENGENAL LEBIH DEKAT HAJI SULONG
A. Biografi Haji Sulong bin Abdul Kadir
Patani
sebagaimana tercatat dalam sejarah, adalah termasuk di antara negeri-negeri
semenanjung Malaysia yang banyak memainkan peranan dalam bidang kegiatan
Agamwan dan banyak pula melahirkan ulama-ulama dalam mengarang kitab dari
berbagai bidang disiplin ilmu. Umumnya ulama-ulama ini dalam mengarang kitab
mengakhiri namanya dengan kata 'Al-Fathoni', ini menunjukan dengan secara jelas
bahwa beliau berasal dari Patani. Di antaranya adalah Tuan guru Haji Sulong bin
Abdul Kadir Al-Fathoni.
Haji Sulong Al-Fathoni atau Muhammad bin Haji Abdul Kadir bin Muhammad bin Tuan Minal dilahirkan di kampung Anak Ru, Patani pada tahun 1895. Beliau merupakan anak tunggal dari Haji Abdul Kadir dengan istrinya yang pertama, Syarifah (dipanggil Che' Pah). Ibunya meninggal dunia pada tahun 1907 ketika Haji Sulong baru berusia 12 tahun. Gelaran Haji Sulong adalah karena beliau merupakan anak sulung dalam keluarganya.[1]
Sebagaimana
tradisi masyarakat Melayu Patani, kanak-kanak diasuh sejak kecil dengan
pelajaran agama. Pendidikan awal yang diterima oleh Haji Sulong ialah pelajaran
membaca Al-Qur'an. Gurunya ialah Ayah beliau sendiri, Haji Abdul Kadir. Selain
itu tidak banyak yang diketahui tentang Haji Sulong pada masa kecilnya, kecuali
sedikit maklumat bahwa beliau adalah seorang kanak-kanak yang banyak humor
tetapi cerdas dan pintar.
Di
usia 8 tahun, ayahnya mengirimkan dia untuk belajar agama di pondok Haji Abdul
Rashid, kampung Bandar, Sungai Pandan Patani. Pada waktu itu beliau sudah
mengenal huruf Jawi (arab melayu) dan bisa membaca Al-Qur'an – dua syarat yang
wajib dimiliki seseorang sebelum menjalani pendidikan di pondok.
Ketika berusia 12 tahun, beliau meninggalkan tanah air untuk belajar agama di Makkah al-Mukarramah. Oleh karena di Makkah waktu itu terdapat banyak pelajar dari Kelantan (Malaysia) dan Patani, maka kehadiran beliau disana dalam usia masih kecil tidak masalah. Apalagi pada tahun beliau berangakat ke Makkah ini (1907), Tuan Guru Haji Wan Ahmad bin Muhammad Zaid bin Mustafa al-Fathoni seorang tokoh ulama Patani yang sangat terkenal dan bertalian dua pupu dengan beliau, masih ada di Makkah.[2]
Surin
Pitsuwan menjelaskan tentang latar belakang pendidikan Haji Sulong ketika
berada di Makkah sebagai berikut:
Seperti kebanyakan ulama di Asia Tenggara, Haji
Sulong mula-mula masuk sebuah sekolah menengah Indonesia yang terkenal, yang
didirikan bagi pelajar-pelajar yang berbahasa melayu di dekat Ka'bah, di Masjid
Haram, yang diberi nama Dar al-Ulam (rumah ilmu pengetahuan). Di sana
diberikan pelajaran mengenai ilmu-ilmu tradisional seperti: Tafsir al-Qur'an,
Hadits, asas-asas ilmu hukum (ushul al-fiqh), ilmu hukum (fiqh),
dan tata bahasa arab (nahwi). Haji Sulong bergabung dengan
lingkaran-lingkaran skolastik (halqah) yang berbahasa Melayu di Masjid
Haram, di mana dia menjadi seorang lektor yunior mengenai hukum Islam mazhab
Syafi'i. Pada tahun 1927, ia berkenalan dengan gagasan-gagasan pembaharu dari
Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1905-1925) selama tiga
tahun belajar di Mekkah, ketika ia mendapat kesempatan untuk bergaul dengan
beberapa ulama dari mesir. Dari pengalamannya di Mekkah dan pergaulannya dengan
ulama-ulama lain yang berbahasa melayu yang juga mulai menyadari potensi dan
kemungkinan Islam sebagai suatu kekuatan politik, Haji Sulong merupakan suatu
keyakinan yang semakin kuat terhadap keterlibatan politik dan aktivitas sosial.[3]
Tidak diketahui dengan jelas
siapakah guru-gurunya semasa beliau berada di Makkah. Dari beberapa literatur
mengatakan bahwa kebanyakan guru-guru beliau adalah orang-orang Arab, termasuk
Mesir.
Haji
Sulong mulai mendirikan rumah tangga dengan Cik Sofiah binti Omar. Setahun saja
berumah tangga, istrinya meninggal dunia sebelum sempat mendapat cahaya mata
(anak). Dua tahun kemudian, Haji Sulong menikah lagi dengan Hajah Khadijah
binti Haji Ibrahim, Mufti Kelantan. Haji Sulong terkenal alim dalam bahasa arab
dan menguasai sastra arab di mana kebolehannya diakui oleh orang-orang yang
ahli di kalangan masyarakat arab sendiri. Haji Sulong menimba ilmu di Makkah
selama 20 tahun.
Pada
tahun 1924, Haji Sulong pulang ke tanah airnya dengan rencana menetap selama
dua tahun untuk menghibur hati istrinya yang amat sedih atas kehilangan anak
pertamanya yang bernama Mahmud yang meninggal dunia dalam usia dua tahun.[4]
Pada mulanya Haji Sulong tidak
bermaksud melibatkan diri ke dalam perjuangan rakyat Patani, namun kecerdasan
beliau dalam beberapa pertumbuhan keagamaan dan kebijakan, sedikit demi sedikit
membuat beliau sadar akan kondisi rakyat dan keadaan negeri Patani yang memprihatinkan.
Kegiatan awal Haji Sulong
mendirikan sekolah dengan corak baru. Beliau adalah orang pertama yang merubah
sistem pondok menjadi sistem sekolah dimana kurikulum pelajaran menjadi
teratur. Sekolah itu diresmikan pada akhir tahun 1933 oleh Perdana Menteri Thai
dengan nama Madrasah al-Maarif al-Wataniyah Fatani.
Selain mendirikan sekolah,
Haji Sulong pun terlibat aktif dalam percaturan politik setempat dimana ia
bertindak sebagai “penghubung” antara comunity Melayu dan pejabat-pejabat Thai.
Ia menyadari perannya sebagai pengajar yang menarik murid-murid dari seluruh
pelosok wilayah melayu.
Meski memiliki hubungan erat
dengan pejabat tinggi pemerintah di propinsi dan disegani oleh mereka, Haji
Sulong tidak ingin terlibat dalam upaya pengkodifikasian dan penterjemahan
hukum Islam. Ia berpendapat bahwa bidang tersebut harus sepenuhnya berada di
bawah yurisdiksi orang muslim sendiri.
Di tahun 1945, Haji Sulong
menjabat sebagai ketua Majlis Agama Islam Patani. Ketika kepemimpinannya, ia
bersikap demokratis dengan mengizinkan seluruh anggota majlis yang berjumlah 15
orang untuk saling kritik dan menegur.
Semasa di Majlis Agama Islam
Patani ia dihadapkan dengan kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak dan
kebebasan umat Islam. Korupsi dan pemerasan yang dilakukan secara leluasa oleh
pejabat-pejabat pemerintah adalah hal yang sering ia tangani. Karena
kekesalannya akan ketidak adilan yang dialami rakyat Patani ia pernah berkata, “tak seorang pun
yang masih punya rasa kemanusiaan akan bertoleransi terhadap perlakuan yang
begitu kejam dari pejabat-pejabat pemerintah”.
Pada 3 April 1947, golongan Melayu Patani Raya di bawah pimpinan Haji Sulong menyampaikan rencana tujuh pasal yang membahas tentang otonomi daerah kepada pemerintahan Thai. Namun, Pemerintah Thai tidak bersedia merundingkan soal pembentukan daerah otonom. Pemenuhan tuntutan golongan Melayu Patani dikhawatirkan akan mencetuskan tuntutan-tuntutan serupa dari berbagai minority etnik dibagian-bagian lainnya di negeri Thai. Bagi pemerintah Thai, Patani akan tetap dianggap sebagai suatu bagian integral dari negara kesatuan dengan birokrasi yang dikontrol dari pusat dan dengan sistem hukum tunggal, kecuali bidang hukum perorangan dan kebiasaan-kebiasaan di bidang hukum warisan yang sudah disahkan sebelumnya.
Keengganan pihak pemerintah
untuk berunding, menyebabkan Haji Sulong dan para pendukungnya melakukan
tekanan yang lebih besar dengan jalan mengancam akan memboikot pemilihan umum
yang direncanakan pada akhir januari 1948. Haji Sulong dan rekan-rekannya[5] ditangkap pada tanggal 16 januari 1948
dengan tuduhan sedang mempersiapkan dan berkomplot untuk merubah pemerintahan
kerajaan yang tradisional, serta mengancam kedaulatan dan keamanan nasional.
Penangkapan Haji Sulong
menyebabkan pemerintahan Thai mendapat tekanan internasional yaitu dari Liga
Arab dan PBB. Selain itu terbentuk koalisi internasional yang terbentuk
mendukung perjuangan Melayu yaitu
Gabungan Melayu Patani Raya (GAMPAR) yang terbentuk bulan Maret 1948. Persoalan
Haji Sulong baru dapat diselesaikan pada tahun 1952 setelah empat tahun dia
meringkuk di penjara.
Selepas di penjara Haji Sulong
kembali ke Patani dan menjadi pangajar (da'i). Setiap beliau memberikan kuliah
atau ceramah selalu dipadati oleh masyarakat dari berbagai daerah Selatan
Thailand (Patani).
Keadaan
tenang dan aman ia alami selama dua tahun, sehingga tiba suatu hari, ketua penyiasat
polis Thai, Letkor Bundert Lethpricha, memanggil Che Ali Che Wook, Wan Utsman
bin Wan Ahmad, Che Ishak bin Abbas, dan Haji Sulong hadir ke kantornya di
senggoro (Songkla). Menurut keterangan, Che Ali telah mengambil inisiatif
terlebih dahulu bersendirian ke Songkla. Setelah sampai di sana, tidak ada
tindakan apa-apa terhadap Che Ali hanya perbincangan singkat saja. Kemudian Che
Ali diizinkan pulang ke Patani dengan membawa pesan "Suruh
Tok Guru Datang".
Pada hari jumat, 13 Agustus
1954, berlakulah takdir Allah SWT atas hambanya. Haji
Sulong bersama rekan-rekan, dan anaknya Ahmad bin Haji Sulong hadir ke Songgoro memenuhi panggilan Letkol Bundert Lertpricha. Tidak diketahui apa yang terjadi setelah pertemuan tertutup itu, tetapi yang jelas sejak pertemuan itu Haji Sulong, dan rekan-rekannya hilang dan tidak kembali ke rumah mereka di Patani sampai sekarang. Apabila ditanyakan ke kantor polis di Senggoro, jawabannya adalah Tok Guru sudah diizinkan untuk pulang. Buku catatan polis yang berisi tanda tangan Haji Sulong beserta rekan-rekan dijadikan sebagai bukti bahwa mereka sudah dibebaskan. Belakangan, dari informasi terkumpul yang diperoleh di Patani, Jambu, Yala, Palas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa Haji Sulong dan rekan-rekannya telah ditangkap kembali "Tanpa Undang-Undang" setelah mereka menandakan tanda tangan untuk pulang ke Patani. Mereka kemudian dibunuh dan dibuang ke laut Senggoro berdekatan dengan pulau Tikus (Samila Beach) pada malam Sabtu, 13 Agustus 1954.[6]
Sulong bersama rekan-rekan, dan anaknya Ahmad bin Haji Sulong hadir ke Songgoro memenuhi panggilan Letkol Bundert Lertpricha. Tidak diketahui apa yang terjadi setelah pertemuan tertutup itu, tetapi yang jelas sejak pertemuan itu Haji Sulong, dan rekan-rekannya hilang dan tidak kembali ke rumah mereka di Patani sampai sekarang. Apabila ditanyakan ke kantor polis di Senggoro, jawabannya adalah Tok Guru sudah diizinkan untuk pulang. Buku catatan polis yang berisi tanda tangan Haji Sulong beserta rekan-rekan dijadikan sebagai bukti bahwa mereka sudah dibebaskan. Belakangan, dari informasi terkumpul yang diperoleh di Patani, Jambu, Yala, Palas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa Haji Sulong dan rekan-rekannya telah ditangkap kembali "Tanpa Undang-Undang" setelah mereka menandakan tanda tangan untuk pulang ke Patani. Mereka kemudian dibunuh dan dibuang ke laut Senggoro berdekatan dengan pulau Tikus (Samila Beach) pada malam Sabtu, 13 Agustus 1954.[6]
Meski
tidak memperoleh keterangan dari pemerintah, Haji Muhm. Amin – putra Haji
Sulong – berusaha mendapatkan kabar dari orang kampung. Cara ini membuahkan
hasil dengan diperolehnya berita dari seorang pemuda berusia 30 tahun yang
bernama Husen – seorang tukang perahu – yang perahunya disewa polis Senggora
untuk membuang mayat-mayat, yang kemudian diketahui sebagai Haji Sulong, Ahmad,
Wan Utsman, dan Encik Ishak.[7]
Oleh keluarga Haji Sulong,
Husen, diambil dan dilindungi untuk dijadikan satu-satunya
saksi dalam pengusutan kasus Haji Sulong yang akan disidangkan. Akan tetapi, sebelum pengusutan dilakukan, Husen telah dibunuh oleh pembunuh bayaran ketika ia keluar dari rumah perlindungan untuk melihat istri dan anak-anaknya di Panarik, Patani.[8]
saksi dalam pengusutan kasus Haji Sulong yang akan disidangkan. Akan tetapi, sebelum pengusutan dilakukan, Husen telah dibunuh oleh pembunuh bayaran ketika ia keluar dari rumah perlindungan untuk melihat istri dan anak-anaknya di Panarik, Patani.[8]
Dengan
demikian, kasus 'kehilangan' Haji Sulong tidak pernah sampai ke muka
pengadilan. Ketiadaan saksi dan tidak adanya kerja sama pihak polis, ditambah
dengan rasa takut yang menghantui masyarakat Patani akibat tragedi yang menimpa
Haji Sulong dan rekan-rekannya, telah menyebabkan tidak ada pernyataan yang
dapat dikumpulkan untuk dijadikan bukti dan keterangan seandainya kasus ini mau
disidangkan. Maka sampai disinilah riwayat hidup seorang ulama Patani yang
selalu berjuang demi Masyarakat Muslim Melayu Patani.
B. Konteks Sosial Politik
Chulalongkorn
V mangkat pada tahun 1910 setelah meletakkan Siam pada suatu kedudukan yang
kukuh dan selamat, Di kalangan para sejarawan, chulalongkurn ayahandanya, Raja
mungkut, dianggap sebagai raja-raja Siam yang sangat Berjaya dan bertanggung jawab
memaju serta modenkan Siam sekaligus menyelamatkan Siam daripada bahaya
imperialism Ingris dan Perancis.
Khusus bagi negeri Malayu Patani
pula, nama chulalongkurn tidak bagitu desenangi. Ada dua sebab utama kenapa hal
itu terjadi:
Pertama: Kerana
semasa chulalongkurn suatu dasar penyusunan semula wilayah telah diperkenalkan.
System ini yang bernama thesaphiban, seperti
yang dijelaskan oleh Tej Bunnag, adalah bertujuan untuk mewujudkan integrasi
kebangsaan serta mengukuhkan kedudukan wangsa Chakri. Ia dikendalikan oleh kementerian
dalam negeri dibawah pimpinan Putera Damrong Rajanubhab dan dilancarkan pada waktu
pembesar-pembesar tempatan Patani sedang berusaha mendapatkan bantuan asing
bagi memperjungkan hak dan kuasa Otonominya. Kejayaan system ini telah memaksa
kuasa raja-raja Melayu di Patani menyingkir untuk menberi laluan kepada kuasa
baru Pesuruh Jaya yang bertanggung jawab kepada menteri dalam negeri. Lanjutan
daripada system ini ialah menghapusan langsung institusi raja-raj Melayu dalam
tujuh buah negeri Patani pada tahun 1902 seperti yang dikisahkan di muka.
Kedua: kerana system
Chulalongkurn yang sama juga telah menyebabkan Patani
“terserap” masuk menjadi sebagian daripada wilayah kemaharajaan Siam sehingga sekarang boleh dikatakan kegagalan Ingris mendapatkan patani lewat Perjanjian Bangkok 1909 adalah berpunca daripada kejayaan Siam mengintegrasi patani terlebih dahulu menjadi sebagian wilayahnya pada tuhun 1902. Dalam hal ini seorang pengamat sejarah menulis. ”Alasan yang penting bagi ketinggalan Patani di dalam perjajian 1909 tidak boleh dinafikan adalah akibat kejayaan Siam pada tahun 1902 apabila mereka dapat menawan raja patani. Setelah peristiwa ini Ingris memang mengakui bahwa Patani lebih bergantung kepada Siam”.[9]
“terserap” masuk menjadi sebagian daripada wilayah kemaharajaan Siam sehingga sekarang boleh dikatakan kegagalan Ingris mendapatkan patani lewat Perjanjian Bangkok 1909 adalah berpunca daripada kejayaan Siam mengintegrasi patani terlebih dahulu menjadi sebagian wilayahnya pada tuhun 1902. Dalam hal ini seorang pengamat sejarah menulis. ”Alasan yang penting bagi ketinggalan Patani di dalam perjajian 1909 tidak boleh dinafikan adalah akibat kejayaan Siam pada tahun 1902 apabila mereka dapat menawan raja patani. Setelah peristiwa ini Ingris memang mengakui bahwa Patani lebih bergantung kepada Siam”.[9]
Setahun setelah perjanjian
1909 sangat mengecewakan orang Patani ini ditandatangani. Chulalongkurn
mangkat, meskipun dalam perjanjian yang sama. Siam terpaksa melepaskan
negeri-negeri Perlis, Kedah, Kelantan dan Terengganu kepada Ingris, tetapi keadaan
sudah sangat “melegakan” Siam oleh negeri-negeri ini sesungguhnya, Vajiravudh
adalah juga berpendidikan barat dan penganut faham kebangsaan Siam yang kuat.
Dibawa baginda, Siam mengubah faham patriotisme barat tentang “Tuhan, Raja dan Negara kepada simbol tradisional Siam”
Bangsa, Agama (Budha Thraveda) dan Raja” dengan ketiga-tiga simbol ini, Vajiravudh meneruskan
usaha ayahnya membentuk sebuah kemaharajaan kebangsaan Siam yang bersatu dan
kuat.
Policy Thai Rhatniyom |
Setelah pemberontakan Nasa 1922 yang gagal, pemerintah pusat di Bangkok
terpaksa menyemak kembali beberapa dasarnya yang dilaksanakan di Patani yang
rupanya tidak disenangi rakyat Melayu Patani. Antaranya ialah dasar mengenakan
pendidikan wajib atas rakyat berdasarkan Educational
Act 1921 yang menghendaki anak-anak orang Melayu belajar di sekolah Thai,
birokrasi pentadbiran dan campur tangan pusat dalam usaha social dan ekonomi
wilayah-wilayah selatan. Pada bulan Juli 1923, melalui menteri dalam negeri,
raja mengarahkan supaya:
1. Amalan-amalan yang tampaknya
bertentangan dengan agama dihentikan dengan segera dan nama-nama peraturan baru
yang hendak dikenakan tidak boleh
melanggar Agama Islam.
2. Tarif cukai yang dipungut
dari orang Melayu di Patani tidak boleh lebih tinggi daripada tarif yang
dipungut di negeri-negeri Melayu bersempadan yang di bawa Ingris.
3. Pegawai-pegawai pemerintah
yang ditugaskan di Patani mestilah jujur, sopan dan tegas. Pegawai yang sedang
dikenakan tindakan disiplin kerena kesalahan di tempat lain tidak boleh
ditempatkan di Patani.
1. Sistem Politik Sebelum Kedatangan Haji Sulong
Dimasukkannya
Wilayah Patani Raya secara final ke dalam Negara Thai pada tahun 1902 disambut
dengan perlawanan sengit oleh kaum bangsawan dan elit keagamaan, yang secara
berangsur-angsur dan sistematis dicopot dari kedudukannya yang berpengaruh dan
yang merupakan sumber kekayaan mereka. Sementara ancaman dari luar – dari
Negara-negara colonial, terutama inggris – berkurang, pemerintah pusat Bangkok
melancarkan programnya untuk mengkonsolidasi kekuasaannya di provinsi-provinsi
Melayu itu.
Raja Chulalongkorn |
Kekhawatiran
yang mula-mula dirasakan bahwa mereka akan diperlakukan sebagai warganegara
kelas dua, menjadi suatu kenyataan. Program wajib mengikuti pendidikan Thai,
yang dimulai di masa pemerintahan raja yang sebelumnya, sudah mulai menampakkan
pengaruhnya terhadap masyarakat tradisional Melayu. Madrasah-madrasah yang
diselenggarakan di masjid, didorong untuk mengubah kurikulumnya sehingga
mencakup pelajaran bahasa dan indoktrinasi kewargaan Thai yang telah dirancang
oleh Bangkok. Yang paling meresahkan penduduk setempat adalah semakin besarnya
pengawasan Thai atas segala dimensi kehidupan sehari-hari. Sebuah kebudayaan
yang khas, dengan sejarah yang berkesinambungan, untuk pertama kali kehilangan
hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Bahasa, agama dan nilai-nilai budaya
mereka lainnya telah ditempatkan di bawah kekuasaan yang semakin besar dari
sebuah Negara yang didominasi oleh orang-orang yang mereka anggap sebagai
kafir. Selain itu, hilangnya pemerintahan sendiri mempunyai makna yang khusus
bagi orang Melayu-Patani, yang selama itu hidup berdasarkan Syari’ah. [10]
Sejak
mulanya, perlawanan terhadap kekuasaan Thai mengambil bentuk
pemberontakan-pemberontakan kebangsaan yang berusaha menghalau kekuasaan
politik asing dari daerah itu. Para ulama yang karismatik memimpin
pengikut-pengikutnya memboikot pembayaran pajak, berdasarkan keyakinan agama
bahwa mendukung sebuah rezim yang bukan-Islam merupakan perbuatan haram.
Tengku Abdul Kadir, Raja Patani |
Walaupun
tidak dibentuk suatu organisasi yang resmi untuk memperjuangkan kepentingan
Patani, Raja Abdul Kadir telah berhasil meratakan jalan dan membina kontak-kontak
di kalangan unsur-unsur pro-Melayu di kesultanan-kesultanan Malaya Utara, yang
akan merupakan sekutu alami dalam perjuangan kemerdekaan Patani di masa-masa
mendatang. Dukungan dan simpati yang telah berhasil ia kerahkan dalam tahun
1922, sudah cukup untuk menghentikan – untuk sementara waktu – kampanye Thai
untuk “men-Thai-kan” provinsi-provinsi Melayu
dibagian Selatan negara itu.[11]
2. Sistem Politik Semasa Haji Sulong di Patani
1. Rakyat
Patani dalam keadaan tertindas oleh pegawai kerajaan Siam di mana siapa yang
tidak bersetuju atau membantah di tangkap kemudian dibawa kesuatu tempat. Bila
sampai separuh jalan lalu ditembak dengan alasan coba melarikan diri atau coba
melawan. Peristiwa seperti itu telah meragut puluhan nyawa rakyat yang tidak
bersalah. Penduduk tidak berani membuat laporan kepada pihak yang lebih kuasa
karena mereka akan diseksa dengan lebih buruk lagi.[12]
2. Berlakunya
penipuan dan pemerasan harta rakyat oleh pegawai atasan serta membunuh siapa
yang melawan.
Rombongan jawatankuasa
penyiasat berjanji akan menyampaikan surat permohonan 7 perkara itu kepada
kerajaan Bangkok. Namun selama empat bulan tidak ada jawapan. Pada 9 Agustus
1947 melalui surat kementrian kehakiman Bangkok Bil. 5385/2490 jelas memberikan
jawapan bahwa kerajaan Bangkok tidak menerima tuntutan untuk memisahkan
mahkamah syariah dari mahkamah sivil dengan alasan ia mengubah perlembagaan
negeri. Setelah mendapat jawapan itu, Haji Sulong bertindak balas menentang
polisi kerajaan berkenaan pelantikan kadhi (Datuk Yutitam) dan mulai mengumpul
kekuatan rakyat dan menyusun struktur politik.
Akhir
tahun 1947, di Patani berlaku haru hara dimana 200 buah rumah orang-orang Siam
serta pos-pos polis dibakar di sekitar bandar Patani. Dan tersebar
poster-poster anti Siam yang berbunyi “Hidup Melayu,
Mampus Siam”.
Tahanan keatas warga Bangsa Melayu |
Setelah
mendapat kebebasan pada 15 Juni 1952M Haji Sulong kembali ke Patani dengan
disambut lebih dari seribu orang rakyat Patani. Setelah kembali ke Patani haji
Sulong menyambung mengajar semula di bangunan Madrasah Al-Maarif Al-Wataniah.
Pada hari beliau mengajar, Bandar Patani penuh sesak dengan manusia para
pendengar di setiap penjuru. Sambil itu Haji Sulong terus bergiat di dalam
memperjuangkan nasib rakyat Patani.
Pada
akhir bulan Juli 1954 ketua polisi Patani menjemput Haji Sulong, Wan Othman
Muhammad, Encik Ali Encik Wok dan Encik Ishak Yusof pergi ke balai polis Patani. Mereka berempat pergi berjumpa dengan ketua polis itu yang bernama
Mejar Lek Kamnudngaam. Dalam perjumpaan itu, ketua polis Patani menjelaskan
bahwa CID bagian 9 Senggora meminta mereka berempat menemuinya pada 10 Agustus
1954 dengan membawa gambar masing-masing dan hendak memberi tahu pihak polis
Senggora terlebih dahulu secara telegram sebelum mereka pergi.
Pada hari Jumaat 13 Agustus 1954 bersamaan 14 Zulhijjah 1373 berlaku takdir Allah Taala keatas hamba-hambaNya yaitu Haji Sulong bersama-sama Wan Othman Ahmad, Encik Ishak Yusof dan Ahmad Haji Sulong hadir ke Senggora karena di panggil oleh pemerintah Siam. Ahmad Haji Sulong ialah anak beliau yang turut sama sebagai juru bahasa karena mereka bertiga tidak fasih berbahasa Siam. Dari tarikh tersebut hilanglah Haji Sulong bersama-sama rekannya. Terdapat berbagai-bagai cerita dikaitkan dengan kehilangan Haji Sulong dan rekan-rekannya. Apa yang pasti ialah kehilangan Haji Sulong tetap menjadi tanda Tanya.[13]
3. Sistem Politik Setelah Haji Sulong Wafat
Dalam
tahun 1954, perjuangan umat Melayu Patani menemui kemerosotan berikutan dengan kematian
pemimpinnya yang terkemuka, Tengku Mahmud Mahyiddin dan pembunuhan kejam keatas
tuan Guru Haji Sulong dan para pengikutnya. Turut sama menjadi mangsa
pembunuhan yang tidak berprikemanusiaan itu ialah anak Haji Sulong bernama
Muhammad, Haji Wan Muhammad Amin, Haji Wan Osman Wan Ahmad dan Lebai Ishak
Abbas.[14]
Pada
tahun 1957 muncul pergerakan sulit bawah tanah yang dipimpin oleh pejuang Melayu
Patani yang tidak berhenti mendesak Kementerian Dalam Negeri menubuhkan sebuah
Universiti Melayu bertempat di Wilayah-wilayah Selatan Thai. Mereka juga
mendesak supaya menukarkan para pegawai pentadbir Thai yang bukan beragama
Islam. Akhirnya pergerakan ini mendesak supaya setiap tahun mesti dikosongkan
sekurang-kurangnya 10 tempat bagi pelajar Islam memasuki Akademi Polis dan
Tentara, menerusi satu ujian yang bersaingan di bawah system kuota khas.
Tuntutan paling baru ini dibuat setelah melihat kejayaan orang-orang Melayu
umat Islam di Malaya yang telah mendapatkan kemerdekaan mereka pada 13 Agustus
serta menggagalkan hasrat orang-orang Melayu Patani untuk bersama-sama
menikmati kemerdekaan menerusi percantuman. [15]
Pada
September 1957, panglima Sarit Thannarat telah melakukan rampasan kuasa
terhadap kerajaan Phibun Songkram dengan alasan kerajaan Phibun Sudah hilang
kepercayaan rakyat dan tidak lagi mampu menjaga keselamatan dan keamanan
Negara.[16]
Dengan
rampasan kuasa itu, perlembagaan Negara, dewan perlemen, dan partai politik
telah di bubarkan. Sarit melantikkan dirinya menjadi perdana menteri yang
mempunyai kuasa penuh untuk menentukan arah politik Negara. Ini karena tentara
menyokongnya secara langsung. Bagi Sarit, pada saat kenaikan beliau, politik
Negara berada dalam keadaan yang tidak setabil. Keamanan Negara terancam.
Masyarakat Melayu Patani di Selatan sedang giat bergerak menentang politik kerajaan
Thai. Suasana politik dan keadaan yang terjadi ini menyebabkan Sarit
meningkatkan usaha dan menumpukan kepada politik perpaduan nasional dengan
mengambil institusi monarki sebagai simbul perpaduan.
Dalam
usaha mengasimilasikan masyarakat Islam di Selatan, pondok menjadi sasaran
utama karena pondok dipandang sebagai pusat agama dan institusi pendidikan
penting yang memainkan peranan melahirkan dan menghidupkan ciri budaya
tersendiri yang berbeda dari pada budaya Negara. Mengawasi pondok berarti mengawasi
kubu budaya masyarakat Melayu. Keadaan ini akan memberi kesan yang besar pada
watak keperibadian dan kehidupan mereka.
Memandang
pentingnya dasar menguasai pondok, maka pada 1959 di bentuk ahli jabatan kuasa
pembangunan pendidikan. Walaupun pada dasarnya akta itu tidak di paksa, tetapi
dalam pelaksanaannya telah memaksa pendaftaran pondok berkenaan. Suasana
politik pada ketika itu memaksa To’ Guru mendaftarkan segera pondoknya dengan
kerajaan. Oleh itu untuk membolehkan mereka meneruskan pengajian, mereka
terpaksa mendaftarkan pondok mereka.
Memandang
kedudukan wilayah di sempadan Selatan berjauhan dari pusat pemerintah di
Bangkok serta mempunyai masalah tersendiri yang mengakibatkan sering timbulnya
masalah kelancaran pentadbiran, pada 2 Juni 1964 kerajaan mengambil langkah
membentuk pusat penyelarasan pemerintahan ialah:
1. Memberi
penerangan untuk mewujudkan persepahaman dan mendapatkan kepercayaan di
kalangan masyarakat di wilayah sempadan selatan.
2. Menjalankan
orientasi terhadap para pegawai kerajaan di setiap peringkat dan di setiap
jabatan kemeterian yang terlebih dalam melaksanakan tugas di wilayah sempadan
selatan.
3. Melaksanakan
kerja khusus yang dirancang oleh jabatan pemerintahan, kementerian dalam
negeri.
Pusat menyelaraskan ini
dianggap sebagai unit pemerintahan yang terpenting untuk mengawal dan
memerintah masyarakat Islam di Selatan. Dengan tumbuhnya pusat ini, pengawasan
terhadap kedudukan dan pergerakan masyarakat Melayu adalah lebih mudah dan
berkesan.[17]
Sejak
tahun 1957, kekuasaan Thailand berada ditangan kekuasaan tentera yang
dipimpin
oleh Sarit Thanarat, beliau telah merancang dan melaksanakan politik asimilasi
secara paksa terhadap masyarakat Melayu di Thailand Selatan, masyarakat Melayu
Patani pada ketika itu tidak berdaya dan tidak ada kesempatan untuk berbantah
dan menahan tekanan politik itu. Maka atas dasar kekerasan dan paksaan itulah
para pemimpin dan para ulama Patani tidak berani untuk menampil bergerak
seperti mana tokoh-tokoh yang sebelumnya seperti Haji Sulong, Tengku Mahmud Mahyiddin
dan sebagainya. Keadaan seperti ini terpaksa masyarakat Melayu Patani yang
dipimpin oleh para ulama, tokoh politik dan cendikiawan bergerak dan berperan
secara illegal.
Sarit Thanarat |
Sejak awal tahun 1960-an
pemimpin masyarakat Patani yang terdiri tokoh politik, bangsawan dan ulama
telah sepakat untuk bergerak dan berperan membentuk organisasi perjuangan yang
bertujuan menentang kerajaan Thai. Gerakan itu yang beroperasi di daerah Patani
Raya terdapat 3 organisasi yang utama. Sementara mereka sama-sama mengejar
tujuan akhirnya yang sama, yakni pemerintahan sendiri, malah dari segi
orientasi, ideologis, taktik dan lingkup operasi ada beberapa perbedaan,
tergantung kepada latar belakang dan komposisi pemimpin serta keanggotaannya.
Adapun organisasi itu ialah Barisan Revolusi Nasional (BRN), Patani United
Liberation organization (PULO), Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP).
1. Barisan Revolusi Nasional (BRN)
Tengah-tengah
masyarakat Patani sedang menghadapi dengan beberapa kebijakan dan pelaksanaan
kebijakan Sarif Thanarat. Pada 13 Maret 1960, para pemimpin Patani yang terdiri
dari beberapa kalangan baik itu dari tokoh politik, tokoh ulama dan bangsawan
mengambil langkah untuk menumbuhkan sebuah organisasi perjuangan yang dinamakan
Barisan Revolusi Nasional (BRN).[18] Antara mereka yang sebagai pengasas adalah, Ustaz
Karim Hasan, Muhammad Amin, Tuan Guru Haji Yusuf Capakiya dan Tengku Abdul
Jalal. BRN adalah salah satu organisasi politik yang berjuang menuntut
kemerdekaan dengan cara Revolusi bersenjata.[19]
BRN
merupakan organisasi pertama setelah dua orang tokoh terkenal (Haji Sulong,
Tengku Mahmud Mahyiddin) meninggal dunia, maka BRN mendapat dukungan dan
partisipasi yang sangat banyak dari masyarakat. Dalam masa singkat BRN bias
berkembang dan berkuasa hampir seluruh daerah dalam empat wilayah Selatan Thai
dan khususnya bagi generasi-generasi muda.
Tujuan
Barisan Revolusi Nasional (BRN) ialah untuk mempersatukan kumpulan pejuang yang
ada supaya menjadi sebuah pertumbuhan yang satu untuk sama-sama meraih dan
usaha untuk sampai cita-cita yang dicita-citakan yaitu kemerdekaan Patani.[20]
2. Patani United Liberation Organization (PULO)
Sekian banyak organisasi yang berada di
Selatan Thai. BRN yang kita sudah bicarakan diatas dan merupakan organisasi
tertua di masyarakat Patani, namun BRN tidak selamanya utuh dan bisa bersatu.
BRN mengalami perpecahan di kalangan para pemimpin yang berlainan ideologi.
Pada
tahun 1968, Patani United Liberation Organization (PULO) dibentuk, PULO
dianggap oleh masyarakat Patani merupakan organisasi yang mengordinasikan
banyak kelompok gerilya untuk memerangi pemerintah Thai. PULO dianggap lebih
praktis, senjata lebih meluaskan dan imbauannya kepada semua pihak/unsure dalam
masyarakat Patani.[21]
Patani
United Liberation Organization (PULO), Tengku Bira dan teman-temannya berusaha
membangunkan dengan organisasi yang bernama dengan bahasa Inggris, sebagai
usaha pendekatan kearah antara bangsa. Penumbuhan PULO akan memperjuangkan
dengan perjuangan yang berlandaskan kepada empat prinsip, yaitu: Agama, Bangsa,
Tanah air dan prikemanusiaan. Yang mana prinsip prikemanusiaan merupakan
prinsip penting sebagai reaksi dan sebagai prinsip dasar pertumbuhan
bangsa-bangsa bersatu.[22]
Dengan
peranan yang aktif ini, PULO dengan waktu yang singkat berkembang dan berjaya
mendapatkan dukungan yang kuat baik itu dari dalam maupun luar negeri. PULO
dipimpin oleh para cendikiawan muda yang kelulusannya dari berbagai Universitas
dan berbagai perguruan tinggi baik itu di Timur Tengah maupun di Asia Tenggara.
3. Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP)
Setelah
organisasi yang pertama di Patani tidak bisa bersatu hingga terusnya dan ada
retakan pihak atasan, maka dengan perpecahan BRN itulah munculnya BNPP. Bagi
mereka yang tidak setuju dengan pemahaman ideology Ustaz Karim, mereka itu
membangun sebuah organisasi baru yang bernama Barisan Nasional Pembebasan
Patani (BNPP).
BNPP
sebagai wadah perjuangan yang kumpulannya kebanyakan yang memisahkan diri dari
BRN atas dasar perbedaan ideology. BNPP didirikan pada tanggal 20 Mai 1972 di
Malaysia, BNPP di pimpin oleh beberapa orang terkemuka diantaranya: Idris
Pakyeh, Cekgu Umar, Tengku Abdul Jalal. Markas besarnya terletak di kawasan
bukit besar Budur di wilayah Naratiwat.[23]
BNPP
mendapat dukungan kuat dari pada kalangan elit, guru agama dan kalangan
intelektual, serta mendapatkan dukungan moral secara meluas dari pada
masyarakat Patani pada umumnya. Perjuangan BNPP berdasarkan pendekatan kearah
kebangsaan Melayu dan Islam, maka dengan itulah BNPP mendapatkan dukungan yang
cukup banyak. Tujuan perjuangan BNPP ialah:
- Menuntut kemerdekaan hak bangsa
Melayu Patani, yaitu tanah air, agama Islam, bahasa, kebudayaan dan
kedaulatan pemerintahan Melayu Patani.
- Berusaha
menyatukan pejuang-pejuang Patani supaya berada dibawah satu puncak pimpinan.
- Mewujudkan
sebuah Negara dan masyarakat yang didalamnya nilai-nilai kehidupan yang
Islami dan hukum yang menuju Mardhotillah.
- Mengorganisasikan
kekuatan rakyat kearah perjuangan yang tersusun.
- Menjadi
suara rakyat Patani keperingkat internasional.
- Menegakkan
konsep hidup bersama dengan Negara lain dan menjunjung tinggi piagam
bangsa-bangsa bersatu.
Demikian, selain daripada
organisasi yang sebut diatas masih ada beberapa organisasi yang bergerak dan
berperan di Patani dan diantara organisasi inilah yang membawa dan berjuang
untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Patani yang lebih baik, namun
ketiga-tiga inilah yang sangat berperan dan sangat dominant dalam masyarakat
Patani, dan selalu mencemaskan oleh pemerintah Thailand.
C. Karya-karyanya
Selama
hidupnya beliau menjadi lilin yang menerangi masyarakat Muslim Patani. Bahkan
setelah beliau meninggalpun, meninggalkan khazanah yang berharga, yang
diketahui, terdapat hanya tiga buah buku karya beliau yang telah diterbitkan
selama ini (tidak termasuk yang belum dicetak). Tiga buah karya ini ialah Khazanah al-Jawahir, Cahaya Islam, dan Gugusan Cahaya Keselamatan. Buku pertama
ialah sebuah buku mengenai Ushuluddin sementara buku kedua adalah mengenai
Maulid Nabi. Tidak banyak keistimewaan pada kedua ini. Kandungannya mengulangi
perkara-perkara biasa dalam bidang Ushuluddin dan Sirah Rasul, kecuali tentunya
dengan perbedaan dari segi penyusunan dan pengolahan karangan.
Bukunya yang paling terkenal dan yang sangat dicari-cari
ialah buku ketiga: Gugusan Cahaya
Keselamatan. Buku ini menjadi masyhur karena nilai-nilai sejarah yang
dikandungnya; pertama, karena ia
ditulis dalam tahanan (penjara) di Ligor ketika menunggu rayuan pembicaraan
Mahkamah Besar Bangkok (San Utun) bagi kasus penahanannya dan kedua, karena buku ini diterbitkan oleh
anaknya, Haji. Muhm. Amin pada tahun 1958 telah diharamkan oleh pemerintah
Thai. Buku-buku yang telah beredar di toko-toko telah ditarik kembali,
sementara sisanya yang sedang dalam proses percetakan di Saudara Press Patani telah
dimusnahkan.
Menurut keterangan, Kyai atau Tok guru Patani yang
diketahui ahli dalam bidang tafsir kebanyakan
merupakan murid-murid Haji Sulong. Beberapa diantaranya, Haji. Mustafa bin Haji.
Abdul Rashid (kampung Bandar Patani), Haji. Abdul Kadir Wamud (Nad Tanjung), Haji.
Hasan Mak Enggol, Haji. Muhammad Nor Chenak, Haji. Muhammad Pauh (Bendang
Jelapang), dan Haji. Abdul Rahman
Padang Ru (Jaha).[24]
Gugusan Cahaya Keselamatan
Buku ini mengandung lima bab dan satu khatimah:-
Bab Pertama: Kenyataan ayat Qur’an dan do’a yang berthabit dengan minta lepas
daripada seteru dan bala.
Bab Kedua: Kenyataan khasiat Surat al-Waqiah serta do’a dan lain-lain yang
berthabit dengan minta murah rezeki dan kaya dan menghilangkan papa.
Bab Ketiga: Kenyataan aturan sembahyang hajat dan do’a menunaikan hajat.
Bab Keempat: Kenyataan hendak ketahui pekerjaan yang akan dibuat baik atau tidak
dengan jalan istikharah.
Bab Kelima: Kenyataan berbagai do’a dan wirid yang bertaburan yang lain-lain
tujuan dan khasiat.
Khatimah: Kenyataan wirid yang sangat berkat dunia dan akhirat bagi wali
Allah yang besar Habib Abdullah al-Haddad dan ratib baginya.
Yang paling menarik dari pada buku
ini dan yang dipercayai menjadi sebab bagi keharamannya ialah “Muqaddimah”
penulis yang menceritakan latar belakang kepada penangkapannya di Patani pada
16 Januari 1948 sehinggalah apabila beliau dibawa ke Ligor karena “bimbang takut jadi kekacauan kalau saya duduk di dalam jel
Patani ini”. Selain dari itu, muqaddimah yang agak panjang ini juga,
iaitu dari halaman 1 hingga halaman 15, turut memuat senarai tuntutan rakyat
Patani kepada kerajaan Siam sebagaimana yang dipersetujui pada pertemuan ulama’
dan pemuka masyarakat Patani pada 1 April 1947 dulu.
Akhirnya, rasanya perlu dicatat
disini maksud penulisan buku ini menurut penulisnya: “supaya boleh jadi
petaruhan bagi diri saya sendiri serta mencadangkan kepada anak-anak saya dan
zuriah saya boleh beramal wirid dan do’a yang dibentangkan di dalam buku ini,
maka minta Allah SWT. memberi taufiq kepada saya dan kepada anak-anak saya dan
zuriah saya dan Muslimin semuanya pada meamalkan amalan yang ada dalam buku ini
dengan berkekalan selama-lamanya supaya boleh menjadi bekal daripada masa
sekarang hingga sampai kepada penghabisan hari”.[25]
Sambungan Bab: III - http://dangerofpatani.blogspot.com/2014/09/bab-iii-perjuangan-kemasyarakatan-haji.html,
[2]
Ismail Che'Daud, Tokoh-tokoh
Ulama Semenanjung Malayu, (Kota Baru: Majlis Ugama Islam san Adat Istiadat
Melayu Kelantan, 1988), h.340-341
[3]
Surin Pitsuwan, Islam di
Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patan, (Jakarta: LP3ES, 1989), h.
114
[9]
Pitsuwan Surin,Islam di
Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani (Jakarta : LP3ES), 1989. h. 24.
[14] Malek Moh. Zamberi, Umat Islam Patani Sejarah dan Politik (Malaysia:
Hisbi Shah Alam), 1993. h. 224
[15]
Malek Moh. Zamberi, Umat
Islam Patani Sejarah dan Politik (Malaysia: Hisbi Shah Alam), 1993. h. 226
[16] Chapakia Ahmad Omar, Politik dan Perjuangan Masyarakat Islam di Selatan Thailand ( Malaysia :
University Kebangsaan Malaysia), 2001. h. 131
[18] Al-Fathoni Ahmad Fathy, Pengantar Sejarah Patani ( Alor Star :
Pustaka Darussalam),1994. h. 126
[19] Chapakia Ahmad Omar, Politik dan Perjuangan Masyarakat Islam di Selatan Thailand ( Malaysia :
University Kebangsaan Malaysia), 2001. h. 139
[21] Pitsuwan Surin,Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani (Jakarta
: LP3ES), 1989. h. 179
[24] Ismail Che’ Daud, Tokoh-tokoh Ulama
Semenangjung Melayu h 358-362.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar