Lepas dari perhatian media, konflik berdarah melanda di Ujung
Selatan Thailand.
Gerilyawan Pejuang Kebebasan Patani melakukan aksi perlawanan, militer membalas
dengan kekerasan brutal. Pemerintah tidak mampu bertindak.
Di empat provinsi selatan, yaitu Pattani, Yala Narathiwat dan sebagian
Songkla yang berbatasan dengan Malaysia, ada gerilyawan yang sudah beroperasi
selama bertahun-tahun. Mereka
menentang pemerintah pusat dan menuntut kemerdekaan. Mereka menyerbu kantor
polis, kem tentera dan melaku peledakkan bom.
Hampir setiap hari terjadi
insiden semacam ini. Daerah konflik ini terletak hanya beberapa ratus kilometer
dari daerah wisata Thailand yang terkenal seperti Puket dan tujuan-tujuan
wisata lain di pantai barat.
Di Thailand Selatan dilaporkan organisasi International Crisis Group (ICG)
dalam laporan yang dikeluarkan Desember lalu. Sejak rangkaian aksi kekerasan
mulai terjadi lagi tahun 2004, sudah sekitar 5.300 orang tewas.
Sekitar dua juta penduduk
hidup di ketiga provinsi selatan itu. Majority penduduknya, sekitar 80 persen,
berasal dari bangsa Melayu dan beragama Islam. Di Thailand yang berpenduduk
sekitar 66 juta orang, mereka adalah kelompok minoritas. Majority warga Thailand
beragama Budha. Dulunya, selama ratusan tahun kawasan selatan Thailand merupakan
wilayah Kesultanan PATANI yang berdiri sendiri. Sejak tahun 1902 Kesultanan
PATANI berada dibawah pengelolaan pemerintah kerajaan kolonial Thailand.
Jim Della-Giacoma dari ICG mengatakan, tujuan kelompok gerilyawan masih
belum jelas. Gerakan pejuang
itu memang terdiri dari beberapa kelompok. Tapi masih belum jelas, apakah
mereka menuntut kemerdekaan dari Thailand, suatu hal yang tidak realistis, atau
mereka ingin langkah demi langkah mencapai otonomi yang lebih besar.
Kepada
Deutsche Welle Della-Giacoma mengatakan: ”Yang kita lihat disini adalah gerakan
perlawanan kelompok-kelompok bangsa Melayu. Mereka berjuang di Selatan untuk
hak menentukan nasib sendiri.
Menurut penelitian yang
dilakukan ICG, gerakan perlawanan itu terdiri dari jaringan Komando Militer
yang aktif pada tingkat desa. Komite desa merekrut relawan dan membiayai
aksi-aksi mereka, meneruskan informasi rahasia kepada kelompok lain. Dengan
taktik gerilya ini, mereka mampu bergerak cepat.
Sejak dulu, pemerintah Thailand mengandalkan kekuatan militer untuk menghadapi geriliyawan di selatan. Sekitar 65.000 tentara, paramiliter dan polis ditempatkan di kawasan itu. Selain itu, militer juga mempersenjatai kelompok lokal Budha dan memberi pelatihan senjata kepada sekitar 80.000 relawan. Penampilan dan tindakan militer menghadapi para gerilyawan sangat brutal. Menurut organisasi Human Rights Watch, banyak warga muslim yang diculik, disiksa dan dibunuh. Militer bertindak di bawah undang-undang darurat dan undang-undang khusus lain, sehingga mereka luput dari sanksi hukum.
Organisasi hak asasi sejak lama mengkritik penerapan undang-undang darurat. Karena aturan ini memberi militer kekuasaan dan kewenangan yang terlalu besar. Penerapan undang-undang darurat mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Sunai Pathak dari Human Rights Watch dengan tegas mengatakan: ”Sejak sembilan tahun terakhir ada berbagai kasus yang tidak tuntas tentang pembunuhan ilegal, penyiksaan dan penculikan. Banyak orang diculik dan menghilang.
”Spiral kekerasan ini berputar makin lama makin cepat”, kata Sunai Pathak.
”Ini lingkaran setan.” Yang paling menderita adalah penduduk setempat yang
terperangkap di tengah lingkaran kekerasan ini. Sebanyak 90 persen korban
kekerasan adalah warga sipil. ”Pemerintah harus menjamin, bahwa praktek-praktek
ilegal semacam itu tidak dilakukan lagi. Dan kalau ini terjadi, pelakunya harus
dihukum”, tegas Pathak. Hanya dengan cara itu pemerintah pusat bisa
mengembalikan rasa percaya masyarakat.
Kebanyakan warga Melayu Muslim di Thailand Selatan berpandangan moderat.
Namun mereka sejak lama merasa menjadi warga kelas dua. Menurut pandangan
mereka, berbagai forum perundingan damai yang dibentuk pemerintah Thailand
di masa lalu sudah gagal menyelesaikan konflik.
Pada pemerinthan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra yang berkuasa sejak
Agustus 2011 mengambil kebijakan politik yang lebih moderat menghadapi para pejuang
Patani dibanding pemerintahan sebelumnya. Tapi pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa tanpa dukungan militer.
Sejak dulu, militer Thailand yang sangat berpengaruh menolak segala tuntutan otonomi
dari provinsi-provinsi Selatan. Mereka tidak ingin terjadi perpecahan. ”Militer
tidak akan melepaskan kendali,” demikian analisa Jim Della-Giacoma dari ICG. “Militer
melihat dirinya sebagai pelindung negara kesatuan Thailand, yang dilandaskan
pada raja, agama dan bahasa. Kalau kawasan selatan diberi otonomi, semua elemen
ini harus ditinjau lagi.”
Dalam laporannya tentang
konflik di Thailand, ICG menyebutkan, pemerintah sekarang harus menjadikan
krisis Patani di Selatan sebagai prioritas utama. Isu desentralisasi tidak
boleh menjadi tabu. ”Kekerasan yang terjadi berkembang sangat cepat, sehingga
pemerintah dipaksa untuk bertindak,” demikian rekomendasi laporan ICG. Jika
tidak, pemerintah di Bangkok akan kehilangan seluruh kendali, dan dampaknya
tidak bisa diramalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar