Right Of Self Determination: hak untuk menentukan nasib sendiri atas wilayah yang kini di duduki asing.
Pada saat ini, hukum internasional telah mengakui (“recognized”) hak untuk menentukan sendiri (“right to self-determination”) sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) dan berdasarkan hak ini semua bangsa (“peoples”) bebas untuk menentukan status politik dan mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.”(a) Namun, dalam konteks hukum internasional kemerdekaan sebagai wujud dari hak untuk menentukan nasib sendiri “right to self-determination” (dalam bidang ekonomi, politik, dsb.) dimaksudkan untuk membebaskan diri dari penjajahan dan dominasi/kekuasaan asing. Hak tersebut hanya dapat digunakan sekali dan tidak dapat diterapkan terhadap bangsa (“peoples”) yang telah terorganisasi di dalam bentuk suatu negara yang tidak berada dalam penjajahan dan dominasi asing.
Masalah hak untuk menentukan nasib sendiri ‘Bangsa Patani’
merupakan suatu fenomena yang menarik untuk didiskusikan. Berkaitan dengan hal
tersebut, sejumlah pertanyaan dapat dikemukakan, antara lain, yaitu: bagaimana
hukum internasional mengatur masalah hak untuk menentukan nasib sendiri;
bagaimana legalitas untuk menentukan nasib sendiri Bangsa Patani menurut hukum
internasional; apakah ada keharusan bagi negara-negara lain untuk mengakui ‘Bangsa
Patani’ sebagai negara baru; bagaimana hukum internasional mengatur masalah
pengakuan bagi negara baru.
Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu
prinsip hukum internasional yang dapat ditemukan sebagai norma dalam berbagai
perjanjian internasional tentang hak asasi manusia (HAM) tertentu dan hak ini
menyatakan bahwa semua negara (“all states”) atau bangsa (“peoples”) mempunyai
hak untuk membentuk sistem politiknya sendiri dan memiliki aturan internalnya
sendiri; secara bebas untuk mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya
mereka sendiri; dan untuk menggunakan sumber daya alam mereka yang dianggap cocok.
Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak dari suatu masyarakat kolektif
tertentu seperti untuk menentukan masa depan politik dan ekonominya sendiri
dari suatu bangsa, tunduk pada kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional.
Dalam berbagai literatur hukum internasional belum
didefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan bangsa (“peoples”) dalam
rangka menuntut (“claiming”) hak untuk menentukan nasib sendiri. Terdapat
banyak kontroversi dan kebingungan dalam hal ruang lingkup (“scope”) dan
penerapan dari hak ini.
Namun demikian hak untuk menentukan nasib sendiri
secara normatif telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional,
antara lain, yaitu: Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB; Pasal 1 ayat (1)
“International Covenant on Civil and Political Rights” dan “International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights”; Resolusi Majelis Umum PBB
Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada
Bangsa dan Negara Terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) 24
Oktober 1970 mengenai Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional
tentang Kerjasama dan Hubungan Bersahabat di antara Negara-negara dan Hubungan
Bersahabat sesuai dengan Piagam PBB.
Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514/1960 dan Kovenan
Hak-hak Sipil dan Politik (CCPR) memang tidak dibedakan antara “right to” dan
“right of self-determination”. Juga dalam praktek, keduanya digunakan secara
rancu. Sebenarnya terdapat dua jenis atau tingkatan penentuan nasib sendiri,
yaitu: 1. “Right to self-determination”, yang merupakan hak yang bersifat
sekali dan tidak dapat dipecah, untuk membentuk suatu negara (atau integrasi
atau asosiasi); 2. “Right of self-determination”, yang merupakan hak yang
bersumber dan merupakan konsekuensi dari “right to self-determination”, yaitu
hak untuk menentukan bentuk negara (republik atau kerajaan), sistem
pemerintahan (presidensiil atau parlementer), sistem ekonomi (“centrally
planned economy” atau “market economy”, liberal atau terkontrol dan terkontrol)
atau sistem budaya tertentu, yang semuanya bersifat pengaturan ke dalam atau
urusan dalam suatu negara.(a)
Dengan demikian maka, pelaksanaan “right to
self-determination” yang diwujudkan melalui kemerdekaan dalam rangka membentuk
atau mendirikan negara (“state”), baik untuk membebaskan diri dari penjajahan,
maupun untuk berintegrasi atau berasosiasi dengan negara yang lain. Hal itu
dilakukan hanya sekali dan untuk selamanya.
Sedangkan, pelaksanaan “right of
self-dertermination” dapat diwujudkan melalui berbagai tindakan negara yang
ditujukan ke dalam yang merupakan wewenang dari suatu negara berdaulat. Contohnya,
integrasi negara Jerman Timur dengan Jerman Barat. Pemisahan dengan negara
induk (“seccession”) juga dimungkinkan berdasarkan suatu perjanjian bilateral
(“bilateral agreement”), tetapi bukan dalam rangka disintegrasi sebagai akibat
dari tindakan separatisme. Hal itu misalnya, disintegrasi dari 15 negara yang
awalnya tegabung dalam Uni Soviet dan kemudian memisahkan diri menjadi negara
yang berdiri sendiri dan tergabung dalam kelompok Persemakmuran Negara-negara
Merdeka (“Commonwealth of Independent Sates”/CIS).
Kemerdekaan merupakan salah satu perwujudan dari hak
untuk menentukan nasib sendiri. Menurut Charkes G. Fenwick kemerdekaan dapat
diartikan dalam dua pengertian yaitu, kemerdekaan ke dalam dan keluar.
Kemerdekaan ke dalam (“internal independence”) meliputi dua aspek, yaitu
kemerdekaan yang berkaitan dengan kebebasan dari negara untuk mengurus
masalah-masalah dalam negerinya dan masalah-masalah lainnya mengenai kebebasan
yang dilakukannya dengan negara-negara lain. Adapun kemerdekaan keluar
(“external independence”), yaitu berkaitan dengan kekuasaan terbesar dari
negara untuk menentukan hubungan yang dikehendaki dengan negara lain tanpa
campur tangan dari negara ketiga.(c)
Negara di samping mempunyai
hak kedaulatan maupun kemerdekaanya ia juga mempunyai yurisdiksi sepenuhnya
terhadap wilayah atau wilayah-wilayahnya sebagai satu kesatuan yang menyeluruh.
Dengan demikikan maka negara tersebut mempunyai hak yang penuh dalam
mempertahankan keutuhan wilayahnya (“territorial integrity”) dari segala
ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Karena itu dikatakan bahwa apa yang
dilakukan oleh kekuasaan negara atau yurisdiksinya terhadap berbagai wilayahnya
tersebut merupakan kelengkapan dan eksklusif. Dikatakan lengkap karena negara
tersebut dapat mempunyai akses terhadap semua wilayah negara, termasuk semua
penduduk yang berada di wilayah itu, tanpa memandang nasionalitasnya. Di
samping itu, yurisdiksi terhadap wlayahnya bersifat eksklusif, artinya tidak
ada pihak manapun termasuk negara lain yang mempunyai hak untuk memaksakan
yurisdiksinya terhdap wilayahnya. Dengan demikian, tanpa mengurangi
prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku, wlayah suatu negara tidak
bisa diganggu-gugat (“the inviolability of territories of states”).(d)
(a) Hal tersebut, antara lain, secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on Civil and
Political Rights”/ICCPR, yaitu: “All peoples have the right of
self-determination. By virtue of that right they freely determine their
political status and freely pursue their economic, social and cultural
development.”
(b) Hassan Wirajuda, Indigenous People Internal
Self-Determination (Pribumi dan Otonomi dalam Mengatur Urusan Sendiri),
dalam Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, (edit.), Hak Asasi Manusia
Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta: Komnas HAM, 1999,
hlm. 126-127. Dijelaskan pula, bahwa pembedaan antara “right to
self-determination” dan “right of-determination” merupakan pemikiran dari Prof.
Leo Gross dari “Fletcher School of Law and Diplomacy”.
(c) Charkes G. Fenwick, International Law, 4th
Edition, New York:
Appleton Century Croft, 1965, hlm. 296-297.
(d) Sumaryo Suryokusumo, Hak Negara untuk Mempertahankan
Keutuhan Wilayahnya menurut Hukum Internasional, makalah yang disampaikan
pada: “Seminar Nasional tentang Kewenangan Negara dalam Menjaga “National
Unity” dan “National Integrity” menurut Hukum Internasional”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum
Humaniter dan Hak Asasi Manusia (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti,
tanggal 15 Juli 2002, di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar