Ahli parlimen Malaysia mempersoaal tindakan pemerintah Malaysia selaku pengurusi ASEAN dalam membantu menyelsaikan masalah konflik di Patani, Thailand Selatan dalam Dewan Rakyat.
|
Datuk Kamarudin Jaffar |
Demikian disampaikan oleh Datuk Kamarudin Jaffar ahli parlimen Tumpat di negari Kelantan dalam Dewan Rakyat bahwa Kerajaan Malaysia perlu membentuk badan pemantaun di Thailand Selatan yang selaku sebagai badan fasilitator dalam proses dialog damai antara Thailand dan pejuang pembebasan Patani.
Persoalannya, apakan tindakan pemerintah Malaysia selaku pengurusi ASEAN dapat bisa membantu menyelsaikan masalah konflik di Patani, Thailand Selatan ?
“Menurut pemerintah Thailand yang dipilih secara demokrasi maupun pemerintah ala kudeta sekarang ini ia juga mengatakan hal yang sama bahwa “kerusuhan di selatan negaranya hanya masalah domestic”.
Dilema ASEAN, Nonintervensi Dalam Konflik Perang di PATANI Selatan Thailand
Di tengah upaya diplomasi oleh negara-negara ASEAN untuk meredam kecaman dan penolakan terhadap Myanmar atas kasus pelanggaran HAM dan prinsip-prinsip demokrasi, insiden penganiayaan di Thailand selatan tersebut memperberat beban ujian bagi ASEAN, terutama bagi kelangsungan dan relevansi dari pembentukan Comunity Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community).
Kasus yang terjadi di Thailand Selatan merupakan satu dari sekian banyak kasus konflik internal yang menimbulkan jatuhnya korban sipil. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pembentukan Comunity Keamanan ASEAN belum dapat diharapkan untuk mengakomodasi berbagai konflik yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.
Konflik Thailand perlu layak dibahas dalam forum ASEAN, karena memang menjadi perhatian masyarakat ASEAN. ASEAN telah memiliki fondasi yang baik untuk menjalani proses demokrasi, karena sudah terkandung dalam Piagam ASEAN, dan pencapaian itu tergantung pada pemerintah dan masyarakat sipil, perlunya proses dan pertemuan agar lebih melibatkan masyarakat sipil di ASEAN, guna menentukan bagaimana pemerintah dan masyarakat sipil dapat terfokus pada pengembangan demokrasi, HAM dan good governance di ASEAN, salah satu prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN.
Karena dengan masyarakat yang lebih terbuka dan demokratis, ASEAN memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk membangun komunitas kawasan. bahwa peran masyarakat sipil tersebut tidak serta merta bermaksud mengganggu permasalahan dalam negeri negara anggota ASEAN, melainkan untuk mengingatkan komitmen terhadap yang terkandung dalam piagam ASEAN.
Anda nanti ingatkan kepada komitmen pemerintah dalam mempromosikan demokrasi, HAM dan `good-governance`, dan itu bukanlah mengintervensi masalah dalam negeri mereka, tetapi mengingatkan terhadap komitmen mereka.
Namun demikian, sekali lagi ASEAN harus berhadapan dengan ujian yang berat. Konflik yang terus berlangsung ini telah banyak terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Thailand dalam tragedy pembantaian massal, penembakan sniper, terdiri kanak-kanan dan wanita menjadi mangsa kekerasan sehingga sampai sekarang masih berlaku 'hukum rimba'. Insiden yang menimbulkan dari 2004 hingga 2015 dah hampir sebelas tahun kekerasan banyak korban tewas di kalangan warga di Thailand Selatan yang telah menewaskan hampir 7.000 orang disengsarakan berbagai aksi kekerasan yang mengundang reaksi dunia internasional, yang meliputi kecaman dari negara-negara di luar kawasan dan juga ungkapan keprihatinan dari negara-negara anggota ASEAN atas kejadian tersebut.
Keberhasilan dari berbagai penyelesaian konflik secara damai antar negara anggota ASEAN tidak dapat dimungkiri menunjukkan indikasi keberhasilan arah dari pembentukan komuniti keamanan dalam mencegah eskalasi konflik. Namun, di sisi lain, potensi internal konflik di kawasan Asia Tenggara masih tidak terjamah oleh prakarsa-prakarsa kerja sama ASEAN, sedangkan berbagai indikasi konflik yang muncul di kawasan Asia Tenggara sebagian besar merupakan konflik yang bersifat internal (intra-states conflict).
Sudah jelas menurut Pemerintahan Bangkok, konflik yang berpuncak berlarut-larut di Selatan Thailand murni sebagai masalah dalam negeri dan juga menurut pemerintah yang dipilih secara demokrasi maupun pemerintah ala kudeta sekarang ini ia juga mengatakan hal yang sama bahwa “kerusuhan di selatan negaranya hanya masalah domestic”.
Konflik-konflik internal tersebut ditengarai selalu diwarnai oleh penggunaan kekuatan (force) oleh negara yang bersangkutan dalam penanganannya, yang kerap kali berpotensi besar mengarah pada penyalahgunaan kekuatan militer atau penggunaan kekuatan militer yang tidak proporsional. Demikian, seperti mana di Thailand dengan kebijakan pendekatan kegunaan kekuasaan dengan melalui Emengency Power Art, pendekatan Undang Undang Darurat yang mempunyai kewenangan bagi Pemerintahan Pusat megarahkan kekuatan militer menagani konflik di selatan Thailand. Juga karena gaya kepemimpinannya yang keras dan pendekatannya yang militeristik dalam menghadapi gelombang protes di Thailand Selatan.
Pada akhirnya, sering kali penggunaan kekuatan yang tidak proporsional tersebut menimbulkan jatuhnya korban di kalangan warga masyarakat sebagai pihak sipil, baik luka-luka maupun kematian yang berlanjut di Thailand Selatan.
Dengan munculnya perkembangan gejala-gejala baru tersebut sudah saatnya ASEAN melakukan penyesuaian sesuai dengan perkembangan tersebut. Komuniti keamanan ASEAN pada hakikatnya merupakan komuniti internasional yang menitikberatkan pada penanganan konflik secara damai di antara sesama negara anggota, dan hal ini merupakan karakter utama dari komuniti tersebut.
Pembentukan komuniti semacam ini pada hakikatnya tidak menghilangkan potensi konflik di antara sesama negara anggota. Akan tetapi, di saat potensi konflik muncul, penggunaan kekuatan dan ancaman bukan merupakan pilihan yang terpikirkan.
Sehubungan dengan hal itu, keberhasilan dalam pencegahan eskalasi konflik antarnegara di kawasan yang selama ini dihindari dan dicegah dalam konteks hubungan sesama anggota ASEAN seharusnya juga dapat berkembang pada konflik internal (suatu negara) di kawasan Asia Tenggara. Pemikiran semacam ini, di sisi lain terbentur pada salah satu prinsip dasar dalam ASEAN yang merupakan tembok besar dalam menyikapi masalah ini, yaitu prinsip nonintervensi (Non-intervensi: Kebijakan suatu negara untuk tidak turut campur tangan dengan negara-negara yang berperang atau salah satu negara yang terlibat perang).
Selama ini, dalam konteks hubungan antarnegara anggota ASEAN, jika permasalahan yang terjadi sudah mulai berkaitan dengan masalah dalam negeri, hal itu akan menjadi semacam hal yang tabu atau pantang sebagai larangan bagi negara tetangga lainnya untuk ikut membicarakan solusi pemecahannya dan bahkan ikut terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut.
Sudah saatnya dilakukan penyesuaian terhadap pelaksanaan dan penerapan prinsip nonintervensi dalam hubungan antarnegara di kawasan ini. Tidak perlu melangkah terlalu jauh dengan melakukan pemikiran yang mengarah pada eliminasi atau penyingkiran prinsip nonintervensi, tetapi yang perlu dikaji adalah sampai sejauh mana dan dalam hal apa prinsip tersebut harus diterapkan.
Tujuannya berharap pemerintah Bangkok dapat menyelesaikan konflik di Thailand Selatan secara damai dan minta Malaysia selaku fasilitator dalam dialog damai di Sealatan Thai untuk lebih membuka diri kepada negara-negara ASEAN tentang masalah tersebut.
Maka konsisten agar diselesaikan dengan baik. Perlu penjelasan lengkap kepada negara-negara sahabat di ASEAN agar bersemangat ASEAN Security Community bisa saling membantu. Setiap pertemuan membuahkan sesuatu yang konkrit selalu mendorong agar masalah di Thailand Selatan dapat diatasi dengan baik, damai, konstruktif sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah baru.
Dengan mengambil keputusan, menyepakati rencana aksi, dan memastikan rencana-rencana aksi kerja sesama negara ASEAN yang dijalankan dengan konsisten.