kasus pembunuhan terhadap tiga bocah meninggal dunia, pada senin, (07/09) Pengadilan Tinggi membebaskan terdakwa dua bekas perwira militer dengan jaminan mahkamah !!
Tragedi Kampung Belukar Perak adalah salah satu kasus pembunuhan terhadap warga sipil di Thailand Selatan oleh militer pada 2014. Salah satu kasus yang memilukan adalah kasus yang terjadi pada 3 Februari 2014, tiga bocah bersaudara ditempat oleh militer di rumah mereka sendiri. Kejadian tersebut terjadi ketika ketiga anak tersebut pulang dari masjid selepas salat isya bersama kedua orang tua mereka.
Dalam tragedi itu, tiga bocah tersebut meninggal dunia. Ibunya yang ketika itu sedang mengandung empat bulan terluka parah bersama ayahnya. Tiga bocah tersebut adalah Mujahid Makman yang berusia 11 tahun, Bahari Makman berusia 9 tahun dan Elyas Makman yang masih 6 tahun.
Sementara Chikmud ayah kepada anak mangsa disangka bagian dari pejuang BRN (Barisan Revolusi Nasional), sebuah gerakan bersenjata, yang jadi garda terdepan menuntut Patani merdeka.
"Tapi, saya sudah dinyatakan bersih oleh mahkamah (pengadilan, Red). Saya tak terlibat," tegasnya.
Kasus penembakan keluarga Chikmud itu lantas ramai disorot media asing dan menjadi isu besar di Thailand. Bahkan, di YouTube bisa ditemukan video berjudul Belukar Perak Tragedy. Lihat Clip "Find Them All" Voices from Belukar Perak (EngSub) di: https://www.youtube.com/watch?v=iVr6PaTt2HU.
Bangkok pun lantas angkat bicara. Mayor Jenderal Polis Pattanawut Angkanawin menuding pelakunya adalah BRN. Siapa kira, selang beberapa minggu kemudian, dua personel paramiliter pemerintah Thailand menyerahkan diri.
Pada Senin, (07/09) Pengadilan di Provinsi Narathiwat, penghakiman Pengadilan Tinggi telah membebaskan terdakwa dua bekas perwira militer dalam kasus ini.
Walau mereka mengaku sebagai pelaku tembak pada tragedi berdarah Belukar Perak tersebut. "Tak ada investigasi lebih lanjut. Keduanya dibebaskan dengan jaminan mahkamah," kata Tuwaedaniya Tuwaemaengae, salah seorang aktivis di Patani yang juga direktur Lembaga Patani Raya (LEMPAR).
Banyak pembunuhan serampangan yang dilakukan kepada penduduk sipil oleh paramiliter alias laskar sipil yang dipersenjatai tersebut. Mereka bukan polis. Bukan pula tentara.
Di Thailand, mereka disebut Thahan Phran. Mereka merupakan penduduk sipil yang menjadi sukarelawan untuk menjaga keamanan di tiga provinsi yang bergejolak di Thailand Selatan, yakni Pattani, Narathiwat, dan Yala. Konflik serupa meletup di sebagian Provinsi Songkhla.
Komando kendali laskar sipil tersebut berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, bukan angkatan bersenjata.
Perdamaian bagaikan enggan bersemayam di Thailand Selatan. Konflik bersenjata di sana berlangsung sejak 1948. Dari awalnya dipicu perbedaan kultur dan latar belakang sosial agama, konflik berkembang semakin kompleks sejak 2001.
Kelompok gerilyawan menuduh Bangkok menganaktirikan Thailand Selatan sehingga secara umum tertinggal dalam perekonomian.
Dalam sejarahnya, Pattani (Patani dalam bahasa Melayu, Red), Yala, dan Narathiwat dulu merupakan wilayah Kesultanan Patani. Wilayah kesultanan Melayu tersebut juga termasuk Kelantan yang kini masuk Malaysia. Kecuali Kelantan, Kerajaan Siam lantas menduduki kawasan tersebut sejak 1785 setelah menang perang.
Upaya perdamaian bukannya tidak pernah ada. Pada era kepemimpinan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva (6 Agustus 2011-8 Desember 2013), misalnya, Menteri Luar Negeri Kasit Piromya sempat optimistis bisa mengakhiri konflik bersenjata di Thailand Selatan. Tapi, ketegangan ternyata justru membesar dan rezim Abhisit akhirnya angkat tangan.
Seiring berjalannya waktu, konflik semakin berkembang. Salah satu bukti kompleksnya perseteruan di kawasan itu kini adalah dilibatkannya Thahan Phran tadi.
Rakyat sipil yang dipersenjatai itu mendapat gaji 10 ribu-15 ribu bath (Rp 3,9 juta-Rp 5,9 juta) per bulan dari pemerintah.
Ciri khas personel Thahan Phran adalah berpakaian hitam-hitam. "Mereka direkrut sebagai pasukan berani mati,"ungkap Tuwaedaniya saat mengantar Jawa Pos ke Narathiwat.
Bangkok, tampaknya, mendesain mereka untuk diadu dengan gerilyawan BRN. Dalam arti, keamanan domestik Pattani, Yala, Narathiwat, dan sebagian Songkhla diserahkan kepada laskar sipil bersenjata tersebut.
Karena itulah, ketika melewati daerah-daerah merah yang intens terjadi serangan dan kontak tembak, Jawa Pos tak pernah menemukan pos pemeriksaan yang dijaga polis atau tentara. Personel dua instansi resmi itu lebih ditempatkan untuk menjaga objek-objek vital di pusat kota.
Tuwaedaniya menyatakan, tak sedikit di antara anggota paramiliter itu adalah anak-anak muda yang punya jejak kriminal. Dibebaskan dari penjara dengan syarat harus mau diterjunkan ke daerah konflik. Hal itu pernah diungkap pakar militer Amerika Serikat Jim Morris dan dituangkan dalam buku The Devils Secret Name.
Faktor itulah yang memunculkan ego dan kesewenang-wenangan, khususnya kepada penduduk lokal, baik Melayu maupun Buddha.
Hamdam, aktivis sekaligus pengacara di Moslem Attorney Center Foundation (MACF) atau Lembaga Bantuan Hukum di Thailand Selatan, bertutur, sebanyak 80 persen kasus kekerasan sipil yang terjadi di Thailand Selatan melibatkan paramiliter.
Psikologis yang mudah panik berimbas pada mudahnya prajurit muda itu menarik pelatuk.
Dalam beberapa kasus, sipil sering ditembak saat hendak mendekati checkpoint atau pos pemeriksaan.
Sekitar 65.000 tentara, paramiliter dan polis ditempatkan di kawasan itu. Militer juga mempersenjatai dan memberi pelatihan militer kepada sekitar 80.000 relawan. Penampilan dan tindakan militer menghadapi para gerilyawan dinilai sangat brutal.
Sumber dari:
- Wartawan Aqwam Fiazmi Hanifan dari Jawapos.com,
- atjehpost.com,
- wartani.com
- wartani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar