Mengungkap fakta-fakta kekerasan kemanusiaan yang sadis dan kejam, justru apa yang terjadi dalam pendekatan Undang Darurat Militer (UDM) di PATANI, Thailand Selatan 2004 - 2015 yang berlangusung kekejaman di bahgian Selatan ini selalau membisu dari liputan media pemerintah Thai maupun media internasional. Selaku negara 'land of smlie' yang mengklaim dirinya penuh ramah-tamah dan berbudi pekerti luhur, nyatanya bias berubah menjadi monster-monster maut pembawa petaka.
Dengan perlakuan kejahatan kemanusiaan yang lama terpendam akhirnya terbongkar juga, maka sedikit demi sedikit segala kepalsuan dan kebohongan yang selama ini ditutupinya tercium baunya. Statistik data yang dikumpulkan oleh Deepsouth Wahct menjelaskan bahwa jumlah korban konflik perang internal di ujung selatan selama 10 tahun dari tahun 2004-2014 sudah mencapai 17,652 korban jiwa. Ada jumlah 6,286 orang tewas dan 11,366 orang lainnya mengalami cedera akibat konflik perang ini. Konflik perang internal di Thailand Selatan ini tidak hanya menjadi masalah HAM dalam negeri Thailand di sana saja, namun harus menjadi pembahasan dan solusi ke pentas dunia internasional.
Undang Darurat Militer atau UDM di Patani Selatan Thailand adalah salah satu ciptaan dari hasil kerja kolektif antara kesewenang-wenangan penguasa kerajaan Thailand, sehingga ribuan nyawa Melayu Patani 'terpaksa' atau 'dipaksa' menjadi korban. Justru yang minoritas Melayu di Selatan negeri ini mereka diperlakukan sebagai tumbal kesewenangan para penguasa yang haus darah. Ironisnya jika yang menjadi korban etnis Melayu justru media massa pemerintah yang berat mengungkapkannya. Bahkan LSM-LSM yang amat rajin bernyanyi, seolah-olah ikut membisu. Sungguh suatu ketidakadilan yang kasat mata.
Mengingatkan bahwa UDM yang disetujui oleh Raja Bhumibol Adulyadej dan Raja Siam telah mengubah dektrit ini menjadi sebuah undang-undang. Informasi tentang adanya persetujuan Raja atas penerbitan perintah darurat disampaikan juru bicara pemerintah, pada hari Minggu 17 Juli 2005. Bahwa Persetujuan Raja disampaikan Sabtu 16 Juli 2006. (Dengan demikian), perintah itu terjadi (mulai) hari ini.
Apa yang sesungguhnya terjadi di Patani tidak ada yang memperdulikannya, pun ketika sekarang Selatan Thailand termasuk satu daerah yang 'Konflik Perang Internal' di Thailand. Komunitas Melayu Patani tidak lebih dari kekerasan dan penindasan sepanjang abad.
Risiko penghilangan paksa, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya secara signifikan meningkat ketika orang ditahan tanpa komunikasi di lokasi resmi dan di bawah kontrol militer, yang tidak memiliki pelatihan dan pengalaman dalam penegakan hukum sipil. Mereka yang melakukan kejahatan harus terisi dengan baik, tetapi semua harus diperlakukan sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional dan proses hukum perdata.
Konflik yang terjadi sejak runtuhnya kerajaan Melayu Patani dari kekalahan perang dengan Siam tahun 1786 ini merupakan akibat dari wujud perjuangan berkepanjangan bangsa Melayu Patani di Thailand Selatan yang menuntut kebebasan bangsanya dari penjajah Siam-Thai.
Sejak pemerintah Thailand memasukkan kerajaan Melayu Patani ke dalam negara Thailand pada tahun 1909, telah berulang kali terjadi protes dan perlawanan bersenjata kedua belah pihak. Faktor utama yang telah membantu mendukung gerakan pembebasan Melayu Patani adalah etnis kemalayuan dan kesatuan nasional. Kedua factor itu juga membedakan mereka dari bagian utama penduduk Thailand. Nasional dan etnis Melayu digunakan untuk memobilisasi rakyat Melayu Patani menentang intervensi pemerintah colonial Siam-Thailand dalam urusan masyarakat Melayu Patani.
Andai komunitas bangsa Melayu Patani tidak menjadi bahgian taklukan paksaan pada tahun 1902 lalu oleh colonial Siam -Thailand, mungkin daerah ini akan menjadi salah satu Negara Federasi Melayu sekaya Singapura atau Brunei Darussalam. Andai kata tiga negeri Yala, Pattani, Narathiwat dan lima daerah bahgian wilayah Songkla, Sabayoi, Teba, Jenok, Danok dan Sadau, tidak dilebur menjadi satu dengan Negeri Selatan Thailand pada tahun 1909 dalam perjanjian Anglo yang ditanda tangan hanya sebelah pihak dari kolonoal Inggris dan Siam yang lalu tanpa ada jejak suara dari rakyat Melayu Patani, atau persetujuan dari Raja Patani mungkin wilayah paling Timur Malaysia (Malaya) ini tidak akan tertinggal seperti sekarang ini dan tidak akan ada sejarah per-'Benturan Peradaban' di kawasan asia tenggara yang perbatasan Malaysia dan Thailand.
Bangsa Melayu Patani, yang mengalami kesenjagan Sejarah, Politik Sosial dan Hukum Rimba yang panjang, dari perang yang melelahkan dengan pemerintah colonial Siam-Thailand, menuntut 'Kemerdekaan Darussalam', kemudian menjadi wilayah daerah Selatan, dan kini berpenduduk beretnis Melayu sekitar 4 juta jiwa ini kini betul -betul terpuruk.
Perubahan dan kecemburuan bangsa Melayu Patani yang muncul dimana negara serumpun Melayu dari Malaysia tahun 1957, Indonesia tahun 1945 masing-masing memerdekakan diri, telah mengubah wilayah-wilayah PATANI ini terus menjadi 'ladang pembantaian' (killing fields) sampai sampai abad ke-20 sekarang . Yang dapat dirasakan masyarakat bangsa rumpun Melayu di wilayah yang telah bebas independent hanya sebagai penonton keatas nasib bangsa Melayu Patani. Dengan kata lain lagi, rakyat Patani menjadi tamu di tanahnya sendiri.
Ketimpangan itulah, yang membuat salah satu faktor timbulnya gerakan angkatan bersenjata gurela (geriliya) yang memperjuangkan pembebasan bangsa Melayu karena gerakan ini merupakan gerakan membela amanah "Penderitaan Rakyat" dengan meningkatkan perjuangan agar menginternasionalisasikan nasib bangsa ini di masa lalu sampai sekarang masih terus dijajah oleh kolonial pemerintahan Bangkok.
Sedangkan gerakan teroris selatan atau pengganas selatan adalah bagian dari rekayasa militer dan pemerintah colonial Bangkok agar daerah Selatan dapat terus dihimpit dengan cara menyebarkan teror terus-menerus di kalangan rakyat bangsa Melayu yang kemudian mengundang datangnya tentara ke Patani, di bahgian wilayah Selatan Thailand.
Dengan adanya Tentara Thailand yang cenderung guna UDM atau Undang Darurat Militer di Patani, Thailand Selatan selama telah lebih satu dekade dari tahun 2004-2015, orang Melayu Patani terluka, dikhianati, merasa diinjak-injak harkat dan martabatnya. Apa yang terjadi di Patani merupakan symptom politik atau political decay (pembusukan sistem politik) yang cukup parah sebagaimana bangsa Melayu Patani alami sampai disaat ini.
Aksi militer jauh lebih tak bermoral. Mereka bertindak kejam, bahkan tanpa pandang bulu apakah sasarannya anak-anak atau orang-orang tua. Mereka dengan semena-mena masuk ke rumah-rumah, menangkap orang-orang tak berdosa secara brutal. Belakangan ini pemerintah Junta Militer telah mengerahkan tim untuk melakukan penangkapan besar-besaran dan menyebarkan ketakutan di kalangan etnis Melayu di Thailand Selatan. Tindakan itu telah menyebabkan banyak warga dan pemuda etnis Melayu tak berdosa meninggalkan rumah-rumah mereka.
Tiap kali kekuasaan di negara berjuta bhiksu ini berganti, pemerintahan yang naik miring mengulur-ulur masalah konflik Thailand Selatan yang merupakan salah satu konflik internal paling mematikan di Asia Tenggara ini. Tetapi respons pemerintah Thai selalu memakai konsep posisi negara yang usang dan diperkeruh perselisihan di dalam birokrasi pemerintah serta persaingan politik skala pemerintahan negara.
Sengketa politik internal Thailand yang tak kunjung usai antara masyarakat Thai pro demokrasi yang di kudeta militer tahun 2006 dan kini berada di pengasingan, dengan lawan-lawannya di dalam tubuh militer, birokrasi dan istana kerajaan telah menjadi kebengunggan.
Namun, wilayah Selatan itu masih menjadi arena permainan politik. Pemerintahan Junta Militer dan pemerintah istana Bangkok terkebiri oleh perlunya menghormati posisi militer di daerah itu dan terjebak dalam pencarian opsi yang dapat menghentikan konflik tanpa berkomitmen terhadap reformasi politik. Sayangnya implementasi dari inisiatif perdamaian di ujung Selatan ini terganggu oleh pergumulan politik dan birokasi.
Pengerahan sekitar 60.000 perwira militer bersenjata, perumusan berbagai undang-undang keamanan khusus dan anggaran miliaran dollar AS adalah langkah-langkah yang gagal menurunkan korban jiwa manusia di Ujung Selatan ini.
Akar masalah semua itu dipicu oleh kesenjangan. Realitas kesenjangan itu dijawab oleh pemerintah Siam Bangkok dengan melakukan operasi militer sampai Patani kian terpuruk dan porak-poranda.
Apa yang seharusnya pemerintah Junta Militer Siam Thailand sekarang lakukan adalah dengan membangun diplomasi perdamaian dilakukan ujung Selatan itu perlunya kemauan dari pemerintah junta untuk mendengarkan apa yang diinginkan masyarakat Melayu di sana. Yang mereka butuhkan adalah pengertian, simpati, dan kepekaan tentang apa yang mereka butuhkan. Karena persoalan yang muncul ke permukaan pemerintah Thailand hanya dilihat dari kacamata yang militerlistik, tanpa mau memperhatikan persoalan psikologis apa yang terjadi di sana.
Konflik 'Perang Internal' tidak ada alasan untuk pemerintah Junta militer Thailand sekarang menggunakan ringkasan dan tindakan kasar terhadap penduduk sipil Melayu di Selatan. Ini sangat mengkhawatirkan bahwa militer terus menangkap dan menahan orang yang mereka inginkan tanpa buktian yang jelas.
Bertitik tolak dari perjalanan panjang yang getir itu, ada baiknya orang Melayu Patani kini menggeliat: ingin menuntut 'hak menentukan nasib diri sendiri' atau mengadakan Jejejak Pungutan Suara (referendum) yang lebih adil, akan lebih meningkatkan dan mempercepat kemakmuran serta kedamaian di bahgian Ujung Selatan Thai atau di Utara Malaysia kini.
Tampaknya penderitaan rakyat Melayu Patani merupakan 'politik kesenjangan bangsa' yang sengaja terus diciptakan negara Thai secara mutlak. Patani menjadi seperti sekarang, karena Bangkok salah besar dalam mengambil keputusan sehingga logis etnis tidak pernah didengar. Karena kekuasaan pemerintahan pusat yang bertangan besi di Istana Bangkok, dengan darah dan air mata para Tumbalnya menciptakan "piramida korban manusia" yang meruntuhkan 'Peradaban Kemanusiaan' sampai sekarang.
Ironisnya kekuasaan istana pusat di Bangkok yang jauh kukunya mencengkam darah, bukan hanya dilihat di tubuh minoritas Melayu di Selatan saja, melainkan pada segala aspek kehidupan asimilasi paksaan keatas bangsa Melayu Patani. Secara sentralisasi yang diberikan pemerintah pusat Bangkok itu, sangat menyakitkan perasaan etnis Melayu di Selatan sampai kedewasa kini.
Siklus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan impunitas kontribusi untuk suasana di mana anggota keamanan Thailand menunjukkan kurang memperhatikan HAM dan telah melakukan banyak kekejaman. Sejak Januari 2004, wilayah perbatasan selatan Thailand Pattani, Yala, Narathiwat dan empat kabupaten di provinsi Songkla telah menjadi tempat konflik 'Perang Internal' secara kekerasan yang telah merenggut lebih dari 6.000 jiwa. Masyarakat telah menyumbang sekitar 90 persen dari kematian. Sampai saat ini, tidak ada satu anggota pasukan keamanan Thailand telah diambil tindakan untuk pelanggaran HAM yang serius di Selatan.
Tragedi sejarah yang terus mencucuri darah dengan pendekatan UDM colonial Siam yang terus tetap berjalan di Patani Selatan Thai jika tidak segera disebar ke publik atau masyarakat lokal mau masyarakat luar negeri akan terus menjadi kisah-kisah tragis dilindungi oleh liputan media lokal maupun media internasional atas perlakuan buruk lainnya secara signifikan yang akan terus meningkat lebih banyak di alami oleh masyarakat Melayu di Ujung Selatan negara 'the land of smile'.
Kebiadaban tentara colonial Thailand terhadap masyarakat Melayu Patani sebenarnya telah mengakar sejak berdirinya negara gajah putih itu. Ini tidak hanya menyankut ketegangan budaya tetapi soal ketegangan suku bangsa. Bangsa Thai yang mayoritas bersuku Siam kelihatannya belum menerima orang Melayu Patani sebagai masyarakat sebangsa. Secara giografis Patani di klaim sebagai wilayah pemerintah Thai, tetapi sebaliknya secara demografis dan cultural Patani selalu dilihat sebagai bangsa lain yang kehadiran di anggap mengangu keutuhan bangsa itu, akibatnya etnis Melayu Patani didiskriminasi karena berbeda ras dan suku bangsa dengan demikian juga beda kultur. Perbedaan itu yang membuat pemerintah kolonial Thai bersikap diskriminatif bahkan cenderung diekpresikan dengan tindakan kekerasan maupun masal.
Sikap inteleransi pemerintah colonial Thailand dan masyarakat Siam Budha di negeri itu pada umumnya terhadap masyarakat Melayu Patani terjadi karena mereka tidak bisa menerima pluralitas, menghendaki hegemoni tunggal oleh Siamisme. Sikap terungkap secara sadar atau tidak mengelola politik diprovinsi dibagian Selatan yang terdiri dari ras Melayu itu yang kemelayuan rupanya belum bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat di situ, ini terjadi karena belum tuntas orientasi kemanusiaan dikalangan mereka sehingga cenderung rasialis * (hak mempertahankan perbedaan suku-suku bangsa).
______________________________
* Menurut konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial tahun 1966, dapat menyatakan bahwa diskriminasi Rasialisme adalah: "Suatu perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang didasarkan pada suku bangsa, warna kulit, keturunan, atau asal ras atau suku yang memiliki tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan, pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki dalam politik, ekonomi, social, budaya atau sesuatu bidang kehidupan masyarakat "(Pasal 1 ayat 1 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial).