Tata dunia hari ini yang memuja demokrasi dan sistem negarabangsa terbukti telah mengaborsi rasa kemanusiaan para penguasa etnis untuk menolong kaum lemah dan berhasil membutakan mata mereka akan salah satu kezaliman kemanusiaan terbesar abad ini.
Ibarat pepatah, lepas dari mulut harimau lalu masuk ke mulut buaya. Begitu kira-kira nasib para pengungsi warga etnis Rohingya saat ini. Melarikan diri dari ancaman dan diskriminasi sektarian di tanah asal, Myanmar, tak lantas membuat mereka aman. Bahkan, ketika menyeberang ke negeri orang, mereka masih harus bertaruh nyawa.
Penemuan 26 mayat etnis Rohingya dari 32 kuburan massal yang digali di sebuah kamp perdagangan manusia di daerah Sadao, provinsi Songkhla, Thailand Selatan, yang disusul penemuan berikut ratusan kamp dan kuburan massal tergempar masyarakat dunia.
Pada tanggal 22 Juli, koran South China Morning Post melaporkan bahwa 18 Muslimah dan anak-anak Rohingya telah melarikan diri perlindungan pengungsi Phang Nga di Phuket, Thailand, menuju Malaysia. Kondisi di kamp-kamp pengungsi Thailand yang melebihi kapasitas ini digambarkan lebih dahsyat dari penjara Thailand. Salah satu pengungsi yang melarikan diri dilaporkan sedang mengandung.
Sehari sebelumnya, Phuketwan melaporkan bahwa mereka tidak mungkin dapat melarikan diri tanpa bantuan pelaku perdagangan manusia (human trafficking); hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa para perempuan dapat menjadi korban sindikat perdagangan manusia. Pepatah Melayu, yakni keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau - sangat tepat untuk menggambarkan penderitaan kaum etnis Rohingya, yang terus berlanjut tanpa akhir di negara-negara yang baru mereka datangi untuk mencari perlindungan, termasuk di Thailand dimana mereka telah menjadi korban perdagangan manusia dan penganiayaan oleh pemerintah Thailand. Meskipun ada beberapa laporan bahwa polisi Thailand telah terlibat dalam perdagangan perempuan Rohingya dari kamp-kamp pengungsi.
Tidak sedikit dari etnis Rohingya terjebak perangkap pelaku dan sindikat perdagangan manusia. Para penjahat terorganisir itu tak segan-segan menyakiti, bahkan membunuh, para korban demi mendapatkan uang tebusan.
Sindikat perdagangan manusia tak segan bertindak kejam demi menjamin kesinambungan bisnis haram tersebut. Kondisi itu semakin diperparah dengan ketidakpedulian negara setempat akan nasib para pengungsi Rohingya tersebut.
Dalam investigasi stasiun televisi BBC, beberapa waktu lalu terungkap, banyak pejabat aparat keamanan, baik polisi maupun tentara, ikut terlibat. Dalam liputan itu diketahui, Pengawai keamanan asal Thailand ikut andil terlibat menyelundupkan para warga pengungsi Rohingya dari perbatasan Thailand Selatan untuk masuk ke Malaysia.
Para pengungsi Rohingya harus membayar hingga 200 dolar AS untuk sampai ke Malaysia kepada pedagang manusia. Mereka lalu dibawa dengan kapal yang penuh sesak, sering tanpa makanan dan minuman. Mereka biasanya dibawa lebih dulu ke kamp-kamp penampungan gelap di Thailand dan diperlakukan seperti budak.
Sementara dalam konteks Malaysia, Pengawai polisi kerap terkesan menutup mata dan enggan bersikap serius terhadap keluhan terkait warga Rohingya.
Setiap tahun, ribuan pengungsi Rohingya asal Myanmar dan pencari suaka asal Bangladesh berlayar menuju Malaysia dan Indonesia dengan kapal-kapal dari sindikat perdagangan manusia. Dalam tiga bulan pertama 2015, PBB memperkirakan ada 25.000 pengungsi yang berangkat, kebanyakan dari kamp gelap di Thailand.
Penderitaan tak henti etnis Rohingya menunjukkan kegagalan tata dunia liberal-kapitalis dalam menyelesaikan masalah ini. Myanmar menganggap warga Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan menolak memberi mereka status warga negara, sekalipun mereka telah tinggal puluhan tahun di negara itu. Banyak warga Rohingya melihat pengungsian sebagai satu-satunya jalan untuk mendapatkan suaka politik di tempat lain. Tujuan akhir mereka adalah Australia.
Tata dunia hari ini yang memuja demokrasi dan sistem negarabangsa terbukti telah mengaborsi rasa kemanusiaan para penguasa etnis untuk menolong kaum lemah dan berhasil membutakan mata mereka akan salah satu kezaliman kemanusiaan terbesar abad ini.
Sistem dunia yang penuh standar ganda ini, meninggalkan hanya upaya kerjasama regional yang lemah seperti ASEAN dan dialog basa-basi yang sama sekali mandul dalam menyelesaikan tragedi etnis Rohingya. Para penguasa Bangladesh, Malaysia dan Indonesia telah mendehumanisasi ratusan ribu etnis Rohingya.
Oleh penguasa seagama Rohingya hanya dianggap mereka hanya sebagai pengungsi yang memberatkan, membiarkan mereka hidup terkatung-katung dan diperdagangkan oleh sindikat perdagangan manusia, hal ini tidaklah mengerankan karena para penguasa ini sebenarnya adalah penguasa boneka hasil produksi Kapitalisme sekuler.
Melihat kondisi semua ini, masyarakat internasional dan masyarakat muslim hanya diam dan menonton, sambil tetap melanjutkan hubungan persahabatan dan ekonomi mereka dengan rezim Burma penindas. Atau sekadar menawarkan solusi tumpul yang dangkal seperti menempatkan masyarakat Rohingya di kamp-kamp dan tempat perlindungan di mana mereka terus hidup sebagai orang-orang yang tanpa kewarganegaraan (stateless), dengan hak-hak dasar dan kehidupan yang bermartabat mereka telah dirampas. Hal ini menggambarkan bahwa tatanan dunia saat ini, yang didominasi oleh sistem negara-bangsa yang kapitalis, sekuler, dan demokratis, tidak memberi perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat Rohingya atau terhadap penderitaan manusia, sebaliknya lebih memilih untuk melindungi kepentingan ekonomi dan politik.
Kita berharap masyarakat internasional dan masyarakat Negara Islam harus segera adakan resolusi penderitaan dari etnis Rohingya, melalui konsultasi bersama dan upaya kolektif antara semua pemerintah masyarakat dunia berdasarkan keadilan dan hak-hak sah rakyat.
Tentang pengungsi dan pekerja asing untuk meratifikasi Konvensi 1951 Berkaitan dengan Status Pengungsi, Protokol 1967 perusahaan, 1954 Konvensi Mengenai Status Orang Tanpa negara, Konvensi 1961 tentang Pengurangan Kewarganegaraan dan Konvensi Internasional tahun 1990 Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
Hatta, Asia Tenggara selama beberapa tahun terakhir terus menjadi salah satu daerah transit pengungsi, dipicu oleh konflik dan penindasan di beberapa tempat. Di kawasan Asia Pasifik diperkirakan ada sekitar 11,7 juta pengungsi yang jadi korban sindikat perdagangan manusia, terutama di wilayah Mekong Besar, Kamboja, Cina, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam.
Sementara, Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) di Malaysia, Juru bicara perwakilan UNHCR di Malaysia, Yante Ismail, mengakui menerima sejumlah laporan ada penyiksaan, intimidasi, dan eksploitasi terhadap pengungsi Rohingya.
Lihat berita yang berkaitan: Kaget Ketemukan Kuburan Massal 32 Mayat Rohingya di Songkla Thailand Selatan, http://dangerofpatani.blogspot.com/2015/05/kaget-ketemukan-kuburan-massal-32-mayat.html
Sememangnya negara2 seperti Malaysia dan Indonesia juga punyai masalah rakyatnya sendiri yang masih belum ditangani, hidup di Malaysia sendiri membutuhkan uang yang banyak...semuanya mahal di sini.Rakyatnya juga bukan semua orang kaya, ada juga yang hidup gelandangan di kota kerna sewaan rumah terlalu mahal. Pekerjaan tidak mudah untuk semua kerna ada toko besar hanya pilih ras kaumnya sendiri dan alasan tidak tahu berbahasa Inggeris.Lantas itu, desakan kesempitan hidup ini bisa membuatkan manusia bikin apa saja untuk bertahan nyawa. Bagaimana bisa mau bantu jutaan Rohingya, jika yang di desa masih tidak terbela?
BalasHapus