Enam tentara Thailand terluka pada Jumat (13/12) pagi dalam
serangan bom di provinsi perbatasan selatan Narathiwat, kata Kantor Berita
Thailand, TNA Patroli tentara itu disergap ketika bergerak menyusuri jalan di
Kabupaten Cho Ai Rong, Narathiwat, dalam kendaraan lapis baja.
Korban yang cedera langsung dilarikan ke rumah sakit. Alat
peledak, berat sekitar 50 kilogram, ditempatkan di dalam sebuah tabung gas.
Menurut penyelidikan awal, penjaga militer sedang melintasi
jembatan ketika bom dikendalikan dari jarak jauh dan disembunyikan di bawah
tanah itu meledak. Ledakan kuat tersebut membentuk kawah selebar tiga meter dan
kedalaman dua meter. Polis percaya bahwa para gerilyawan melakukan serangan.
Sementara
di provinsi Pattani sekitar 40 pria bersenjata dengan seragam gaya militer hari
Sabtu (8/12/2012) menyerbu sebuah pos pasukan paramiliter Thailand di distrik
Kapho Patani dan merampas lima senapan serbu.
Pos
tersebut, di depan sekolah Ban Bango di Tambon Karubi, dikepung oleh
orang-orang bersenjata tersebut pukul 5,30 pagi.
Para
geriliyawan Patani itu mengikat tangan dan kaki para anggota paramiliter
sebelum mengambil empat senjata AK-47 dan satu senjata M16 beserta lima rompi
anti peluru, radio komunikasi dan sejumlah ponsel milik para anggota paramiliter
Thailand tersebut.
Para pria
bersenjata itu pergi tanpa melukai para anggota pasukan paramiliter tersebut.
Lebih dari
5.000 orang Budha dan Muslim-Siam dan Melayu telah tewas dan lebih dari 9.000
terluka dalam lebih dari 11.000 insiden.
Sebanyak
3,5 insiden terjadi dalam sehari, di tiga provinsi perbatasan Thailand selatan
- Yala, Pattani dan Narathiwat - dan empat kabupaten di Songkhla sejak
kekerasan meletus pada Januari 2004, menurut Tonton Deep South, yang memantau
kekerasan regional.
Solusi dalam Pendekatan Dialog
Lengahnya
Pemerintah Thailand dalam menangani gerakan ‘Revolusi Rakyat Patani’ di
provinsi-provinsi paling selatan yang maority penduduknya bersuku Melayu dan beragama Islam dalam satu dasawarsa ini telah memberi ruang konflik politik
yang hanya menguatkan pihak Pejuang Kebebasan Patani.
Bangkok
berdalih penanganan butuh kesabaran namun nyatanya serangan geriyawan telah
makin canggih. Tiap kali
kekuasaan di negara berjuta bhiksu ini berganti, pemerintahan yang naik condong
mengulur-ulur isu Thailand Selatan yang merupakan salahsatu konflik internal
paling mematikan di Asia Tenggara ini.
Respons
mereka selalu memakai konsepsi kedudukan negara yang ketinggalan zaman dan
diperkeruh perselisihan di dalam birokrasi serta persaingan politik skala
nasional.
Untuk
pertamakalinya kebijakan keamanan baru yang mengakui dimensi politik dalam
konflik di kawasan itu diterbitkan tahun ini. Kebijakan ini juga
mengidentifikasi desentralisasi dan dialog dengan Pejuang Kebebasan Patani
sebagai bagian dari solusi.
Namun, kebijakan
ini butuh niat dari politisi-politisi Thailand untuk mendepolitisasi masalah
Selatan ini, merangkul masyarakat sipil, membangun mufakat tentang devolusi
kekuasaan politik dan mempercepat usaha untuk berdialog.
Dialog dan
desentralisasi mungkin adalah solusi-solusi yang enggan diterapkan para
elit politik Bangkok sekarang namun perubahan yang diperlukan ini akan semakin
sulit terjadi seiring perjalanan waktu.
Sengketa
politik yang tak kunjung usai antara mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra,
yang dikudeta tahun 2006 dan kini berada di pengasingan, dengan lawan-lawannya
di dalam tubuh militer, birokrasi dan istana kerajaan telah mengalihkan
perhatian dari konflik di Thailand Selatan.
Namun,
wilayah itu masih menjadi arena permainan politik. Pejabat sipil wilayah
selatan dan di Bangkok terkebiri oleh perlunya menghormati kedudukan militer di
kawasan itu dan terjebak dalam pencarian opsi yang dapat menghentikan kekerasan
tanpa berkomitmen terhadap reformasi politik.
Pengerahan sekitar
60.000 aparat bersenjata, perumusan berbagai undang-undang keamanan khusus dan
penganggaran miliaran dollar AS adalah langkah-langkah yang gagal menurunkan
korban jiwa atau memangkas gerakan Pejuang Kebebasan Patani ini.
Dalam dua
tahun belakangan ini, kekerasan terus berlangsung namun skalanya belum
mengundang publik untuk menuntut pendekatan baru. Kadangkala ada peristiwa
hebat yang sesaat merebut perhatian publik seperti yang terjadi tahun ini.
Pada 31
Maret lalu, serangkaian bom meledak pada hari yang sama di Pattani, Yala dan
Hat Yai.
Media juga
telah menyiarkan rekaman CCTV yang menunjukkan betapa beraninya geriliyawan
menembak empat tentara pada siang bolong di distrik Mayo, provinsi Pattani pada
28 Juli lalu.
Tayangan
sadis yang menunjukkan bagaimana 16 geriliyawan tak hanya menembaki
prajurit-prajurit itu tetapi juga melucuti senjata mereka itu memberi umpan
bagi publik untuk mempertanyakan keabsahan kebijakan pemerintah selama ini.
Dengan
mendinginnya sengketa politik nasional di Bangkok, isu Thailand Selatan kini
naik kembali menjadi topik panas bagi media, birokrasi dan politisi. Sayangnya,
perhatian baru ini belum mengerucut kepada pemikiran segar dalam mengatasi
masalah yang ada.
Ketiadaan Komitmen
Pemerintahan
Yingluck Shinawatra, adik Thaksin yang mulai berkuasa Agustus 2011, berharap
Kolonel Polis Thawee Sodsong, yang pro-Thaksin, dapat memberi darah segar pada
Pusat Administrasi Provinsi-Provinsi Perbatasan Selatan(SBPAC) yang kini
dipimpinnya.
Thawee
sebenarnya telah diterima dengan baik di wilayah itu karena kerja kerasnya dan
pengerahan bantuan langsung tunai.
Kabinet
Yingluck setuju membentuk satgas tingkat tinggi untuk mengkoordinasi 17
kementerian yang memiliki tanggung jawab disana. Sayangnya, langkah ini
dicederai oleh kebiasaan mengutak-utik birokrasi dengan adanya tuntutan dari
pihak militer untuk meletakkan SBPAC yang merupakan insitusi sipil itu di bawah
kendali Komando Operasi Keamanan Internal (ISOC) yang didominasi militer.
Bentuk
dasar dari solusi politik untuk konflik di Selatan Thailand ini sudah lama
diketahui publik namun Bangkok tak punya komitmen untuk mengambil pendekatan
yang tegas dan menyeluruh.
Kebijakan
yang ditelurkan Dewan Keamanan Nasional awal tahun ini mengenai suatu skema
penyelesaian konflik sebenarnya cukup menjanjikan karena mengakui dimensi
politik dari konflik ini dan memasukkan dialog dan desentralisasi sebagai
strategi resmi. Sayangnya implementasi dari inisiatif ini terganggu oleh
pergumulan politik dan birokasi.
Pemerintah
Bangkok seharsnya menghentikan militerisasi disana, menghapus undang-undang
keamanan yang represif and mengakhiri impunitas terhadap kelakuan aparat
bersenjata karena semua ini telah jadi stimulus untuk para geriliyawan.
Selama
Bangkok gamang, para geriliyawan pun akan menjadi lebih cakap dan berani. Serangan-serangan mereka telah mendatangkan perhatian
tambahan yang mungkin memang disengaja demikian.
Untungnya, pihak militer memiliki kepentingan strategis
untuk membatasi konflik ini di wilayah yang jelas.
Namun, apabila kekerasan
dibiarkan berevolusi dengan percepatan yang ada kini, ini akan menantang sejauh
mana kemampuan pemerintah untuk merespon dengan ketentuan-ketentuannya sendiri.
Tanpa adanya pemikiran yang kreatif dan aksi yang pintar, Bangkok beresiko
kehilangan kendali inisiatif. Yang akhir Bangkok
mungkin akan kehilangan wilayah Selatan (Pattani, Yala, Narathiwat dan sebagian
Songkhla). Patani akan Memerdekakan Diri.
Matt Wheeler - Analis
Asia Tenggara di International Crisis Group (ICG)